Setiap tahun pada Hari Bumi, 22 April, orang-orang berkumpul untuk meningkatkan kesadaran mengenai masalah lingkungan hidup. Tahun ini mereka akan berfokus pada percepatan transisi ke ekonomi hijau atau sadar lingkungan yang sejahtera.
Dalam acara itu, yang juga dikenal sebagai Hari Ibu Pertiwi Internasional, sekitar 1 miliar orang di 190 negara ambil bagian dalam berbagai aktivitas yang kerap mencakup menanam pohon, menyingkirkan sampah di daratan dan perairan, dan memberi penyuluhan mengenai lingkungan hidup.
Sementara upaya mengurangi dampak perubahan iklim masih menjadi agenda utama agenda lingkungan global, Hari Bumi tahun ini berfokus pada aspek bisnis dari target tersebut: berinvestasi di planet kita ini.
Semakin banyak bisnis yang perlu ditarik ke upaya untuk mengamankan planet Bumi, khususnya untuk memerangi perubahan iklim, kata lembaga nirlaba Earthday.org yang berbasis di Washington.
Menurut situs Earthday.org, “perusahaan-perusahaan pintar mendapati bahwa mereka tidak lagi memiliki pilihan antara sadar lingkungan dan menumbuhkan laba jangka panjang – keberlanjutan merupakan jalur menuju kemakmuran.”
“Jika Anda ingin menyelesaikan masalah perubahan iklim, ikuti uangnya, karena uang sebagian besar bergerak menuju solusi teknologi, penelitian dan pengembangan, yang semuanya sadar lingkungan,” kata presiden Earthday.org Kathleen Rogers dalam wawancara dengan VOA.
Perusahaan-perusahaan minyak dan gas yang mengandalkan bahan bakar merasakan tekanan itu.
Perusahaan-perusahaan yang tidak sadar lingkungan menghadapi “risiko sangat besar,” kata Rogers memperingatkan, karena seruan untuk membatasi bahan bakar fosil terus berkembang.
Ilmuwan iklim Michael Mann di Pennsylvania State University sependapat, seraya mengatakan bahwa “transisi menuju energi besar telah terjadi.”
“Revolusi besar abad ini adalah energi bersih, dan perusahaan-perusahaan energi yang menerapkan energi bersih terbarukan akan makmur dalam jangka panjang,” katanya kepada VOA.
Namun, Rogers menambahkan, sementara sejumlah perusahaan “mungkin tidak mengekstraksi minyak untuk karbon,” mereka menggunakan bahan bakar fosil untuk membuat plastik, ancaman lainnya bagi lingkungan.
Sebagian besar plastik – tas, botol, wadah, dan sebagainya – tidak didaur ulang, ujar Rogers. Alih-alih, plastik memenuhi tempat pembuangan sampah atau mengambang di lautan.
“Ada dampak menghancurkan dari penggunaan plastik,” kata Rogers. Satwa liar kerap keliru mengiranya sebagai makanan, dan riset telah menunjukkan bahwa partikel plastik kecil telah ditemukan dalam aliran darah manusia, lanjutnya.
“Sekarang kita menyadari bahaya plastik sebagaimana kita menyadari perubahan iklim,” kata Rogers. Karena itu, penting sekali untuk menemukan pengganti plastik. [uh/ab]