Presiden Joko Widodo juga mengatakan bahwa seluruh pihak terkait harus melindungi hak buruh dan pekerja serta meningkatkan produktivitas dan daya saing nasional.
Ia mengklaim, salah satu langkah yang dilakukan oleh pemerintah untuk mewujudkan hal tersebut adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) melalui program kartu prakerja.
“Upaya peningkatan kualitas SDM terutama melalui pengembangan pendidikan vokasional terus harus dilakukan. Upaya upskilling dan reskilling buruh dan tenaga kerja juga harus terus dilakukan melalui program Prakerja serta melalui balai latihan kerja yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat dan industri,” ungkap Jokowi dalam siaran YouTube Sekretariat Presiden, Senin (1/5).
Selain itu, guna memperluas kesempatan kerja bagi masyarakat, pemerintah katanya akan terus mengundang para investor untuk menanamkan modal di Tanah Air.
“Untuk itu, pemerintah berusaha untuk mengundang investasi dari dalam dan luar negeri dalam rangka menambah kesempatan kerja, mengurangi pengangguran serta meningkatkan kesejahteraan buruh dan tenaga kerja,” tegasnya.
Tuntutan Buruh
Setidaknya lima puluh ribu buruh turun ke jalanan. Berdasarkan pantauan VOA pada Senin (1/5) pukul 10.00 WIB, massa mulai memadati area sekitar Monumen Nasional (Monas), Jakarta dan melakukan berorasi menyampaikan berbagai tuntutan mereka kepada pemerintah. Para buruh yang berunjuk rasa tersebut tidak diizinkan oleh pihak kepolisian menyampaikan aspirasi mereka di halaman Istana Negara.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan dalam May Day atau peringatan Hari Buruh Internasional 2023 kali ini ada enam isu yang menjadi tuntutan para buruh kepada pemerintah.
Said mengatakan pihak buruh menginginkan pemerintah mencabut Omnibus Law, Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, mencabut parliamentary threshold empat persen, presidential threshold 20 persen dari suara sah nasional, mengesahkan RUU PPRT dan menolak HOSTUM atau hapus outsourcing, tolak upah murah.
“Reforma agraria dan kedaulatan pangan antiimpor, tolak RUU kesehatan, dan pilih calon Presiden 2024 yang pro kepada buruh, yang menolak Omnibus Law Cipta Kerja, dan yang peduli pada persoalan kelas pekerja,” ungkap Said.
Khusus mengenai Omnibus Law, pihaknya menekankan pada sembilan poin yang dianggapnya sangat merugikan kaum buruh dan pekerja, yakni upah murah, sistem outsourcing seumur hidup, karyawan kontrak seumur hidup, PHK yang dipermudah, pesangon murah dan rendah, pengaturan jam kerja yang kembali ke 12 jam kerja.
“Lalu pengaturan cuti seperti cuti panjang hilang, buruh perempuan yang melaksanakan cuti haid dan cuti melahirkan tidak ada kepastian diberikan upah, tenaga kerja asing (TKA) atau buruh kasar China bekerja di sektor-sektor yang bisa dikerjakan oleh buruh lokal, sanksi pidana di UU No 13 banyak yang dihapus di Omnibus Law,” tambahnya.
“Bilamana pemerintah dan DPR tidak mau mencabut UU Cipta Kerja maka bisa dipastikan Partai Buruh akan mengorganisir mogok nasional sebanyak lima juta buruh di hampir 100 ribu perusahaan, di 38 provinsi,” tegasnya.
Buruh Perempuan
Sementara itu, Elly Rosita Silaba, Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) menyoroti UU Cipta Kerja yang dianggap sangat tidak memihak kepada buruh perempuan. Padahal, katanya, sebanyak 75 persen buruh di sektor manufaktur diisi oleh kaum perempuan.
“Lalu soal ada wacana pemerintah yang membuat 75 persen upah, 25 persen bisa dipotong dan ini mayoritas (di sektor) manufaktur yang di mana (buruh) perempuan banyak di sana. Lalu kontrak yang berkepanjangan sehingga akan meniadakan buruh permanen. Ini buruh perempuan mereka melahirkan sehingga mereka tidak mau hamil hanya untuk supaya kontraknya diperpanjang, karena ada di kontrak mereka tidak boleh hamil, tidak boleh melahirkan, tidak boleh menikah,” ungkap Elly.
Dalam kesempatan ini, Elly juga mengatakan pihaknya menentang keberadaan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak. Dalam peraturan tersebut, katanya, tidak ada kejelasan perempuan yang mengambil cuti untuk melahirkan tetap digaji dan kelak bisa kembali untuk bekerja. Hal tersebut, menurut Elly, jelas sangat merugikan kaum buruh perempuan. Ia berharap ke depan, perlindungan terhadap buruh khususnya buruh perempuan bisa lebih dijamin oleh negara.
“Mereka (harus) disamakan haknya dengan laki-laki, kontrak jangan berkepanjangan, lalu kalau mereka cuti tetap dibayar, cuti melahirkan atau cuti keguguran, jangan (sampai) mereka setelah cuti melahirkan, mereka tidak dapat kedudukan lagi di sana. Jadi mereka tetapi digaji," katanya.
"Jadi kenapa kami tidak welcome dengan RUU Ibu dan Anak? Karena mereka bilang enam bulan perempuan melahirkan itu cuti, kami menganggap itu sama saja kami diam di rumah dan tidak boleh kembali, tidak ada gaji. Jadi, kami mau perempuan dijamin dalam keadaan melahirkan atau hamil, tidak boleh mereka diancam dengan kontrak yang terus menerus, sehingga persyaratan yang mereka bilang tidak boleh hamil, tidak boleh menikah, tidak boleh punya anak, itu tidak boleh ada di UU,” pungkas Elly. [gi/lt]
Forum