Dalam konferensi pers hari Rabu (26/4) Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana BNPB Willem Rampangilei mengatakan penetapan 26 April sebagai Hari Kesiapsiagaan Bencana dilatarbelakangi oleh keluarnya Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penangulangan Bencana pada 26 April 2007.
Penetapan ini untuk membudayakan latihan secara terpadu, terencana dan berkesinambungan guna meningkatkan kesadaran, kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat menuju Indonesia Tangguh Bencana.
Kegiatan utama pada Hari Kesiapsiagaan Bencana adalah latihan atau simulasi serentak di seluruh wilayah Indonesia, seperti latihan evakuasi mandiri, simulasi kebencanaan, uji sirene peringatan dini, uji shelter dan lainnya.
"Maksud dan tujuan serta sasaran kita melaksanakan HKB (Hari Kesiapsiagaan Bencana) membangun kesadaran masyarakat, membangun kesiapsiagaan masyarakat, membangun budaya aman, membangun naluri untuk selamat dari ancaman bencana. Itu adalah tujuan kita melaksanakan ini. Sasaran akhirnya sehingga tidak banyak korban lagi akibat ancaman bencana tersebut," kata Willem.
Willem menambahkan dalam dua bulan terakhir ini kegiatan simulasi terkait peringatan Hari Kesiapsiagaan Bencana ini diikuti oleh sekitar 10,5 juta peserta di seantero Indonesia. Simulasi ini berlangsung di sekolah-sekolah dan gedung perkantoran. Ditambahkannya, simulasi kesiapsiagaan bencana ini akan dilaksanakan tiap tahun untuk memelihara semangat dan komitmen pasca tsunami, mengingat bencana ini berpotensi menimbulkan kerusakan sangat besar.
Selain itu, menurut Willem, BNPB juga akan menetapkan Hari Pengurangan Risiko Bencana yaitu pada 13 Oktober, yang juga telah diperingati di seluruh dunia. Jika simulasi dan pelatihan menghadapi bencana dilakukan secara rutin, diyakini hal ini akan membangun budaya dan perilaku siaga bencana dalam masyarakat.
Willem menekankan tidak ada anggaran APBN yang dipakai untuk peringatan Hari kesiapsiagaan Bencana tiap tahun nantinya. Dana simulasi dan pelatihan kesiapsiagaan menghadapi bencana alam ini merupakan hasil sumbangan semua lembaga terkait. “Yang penting bukan anggaran, tapi programnya,” tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Chris Keysa dari Pacific Disaster Center mengatakan tingkat kesiapsiagaan bencana di sejumlah wilayah di Indonesia berbeda-beda. Di beberapa wilayah di Indonesia kesipasiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana sudah bagus. Misalnya warga yang bisa memetakan asap atau memasang sistem peringatan dini menjelang letusan gunung api secara mandiri.
"Saya kira juga masih ada masalah terkait sistem teknologi komunikasi. Di daerah terpencil mereka belum mendapat keuntungan dari sistem tekonologi komunikasi tersebut. Tapi selangkah demi selangkah akan ada kemajuan," papar Keysa.
Ditambahkannya latihan kesiapsiagaan bencana ini mesti dilakukan rutin agar masyarakat sadar pentingnya perilaku dan budaya untuk siaga dari musibah. Keysa mencontohkan Jepang yang dikenal sebagai negara paling siap siaga menghadapi bencana rutin karena kerap melakukan latihan dan simulasi penanganan bencana alam.
Willem menambahkan tahun lalu terjadi 2.384 bencana yang mengakibatkan 521 jiwa meninggal dunia dan hilang. Ini belum termasuk 3.164 juta orang yang terpaksa mengungsi.
Berdasarkan hasil kajian risiko bencana BNPB pada 2015, lima jenis bencana yang paling banyak menimbulkan dampak pada warga adalah :
* Puting Beliung berdampak pada 244 juta jiwa
* Kekeringan berdampak pada 228 juta jiwa
* Banjir berdampak pada 100 juta jiwa
* Gempa bumi berdampak pada 86 juta jiwa,
* Tanah longsor berdampak pada 14 juta jiwa.
Sedangkan untuk potensi kerugian fisik tertinggi untuk ancaman gempa bumi sebesar 467 miliar, dan banjir sebesar 176 miliar, tanah longsor sebesar 78 miliar.
Potensi dampak ekonomi tertinggi adalah kekeringan sebesar 192 miliar, diikuti dengan bencana gempa bumi sebesar 182 miliar, dan bencana banjir sebesar 140 miliar. [fw/em]