Meski tanggal 16 Juni sudah diperingati di tingkat sebagai Hari Pekerja Rumah Tangga Sedunia, nasib mereka di dalam dan luar negeri masih memprihatinkan. PRT rentan menjadi korban kekerasan majikan, gaji yang ditunggak atau bahkan tidak dibayarkan, hingga perdagangan manusia. Mereka dibutuhkan, tapi nyaris diabaikan dan tak mendapat perlindungan hukum.
Sudah sejak tahun 2004 RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (dikenal sebagai RUU PPRT) bolak-balik masuk ruang sidang Dewan Perwakilan Rakyat DPR. Berbagai RUU yang baru diajukan, bahkan sudah lebih dulu diloloskan menjadi undang-undang. Tetapi hingga hari ini RUU PPRT masih jalan di tempat.
Para aktivis yang memperjuangkan RUU PPRT ini tidak kenal menyerah. Memperingati Hari Pekerja Rumah Tangga Sedunia 16 Juni, mereka kembali menggelar diskusi yang menghadirkan beberapa pekerja rumah tangga yang mengisahkan langsung kesulitan yang mereka alami ketika bekerja di dalam dan luar negeri tanpa aturan hukum yang melindungi mereka. Salah seorang di antaranya adalah Fajar, pekerja rumah tangga di Taiwan.
"Beberapa kasus PRT di Taiwan, mereka sudah ratusan juta rupiah untuk modal bekerja ke Taiwan, ternyata tidak sesuai ekspektasi. Banyak potongan gaji dan pungutan. Sama seperti PRT di Indonesia, kita tahu PRT di Taiwan pun belum ada UU yang melindungi mereka. Kita di sini tidak punya kekuatan, pekerja migran sebagai pembantu rumah tangga di sini juga dianggap rendah dan sering menjadi korban,” jelas Fajar dalam diskusi daring Forum Peringatan Hari PRT Sedunia, yang digelar organisasi buruh migran dan PRT, Kamis (16/6).
Lebih lanjut Fajar mengungkapkan sebagai buruh migran, pekerja rumah tangga di luar negeri juga membutuhkan perlindungan hukum, terlebih karena mereka rentan menjadi korban kekerasan oleh majikan, gaji yang tidak dibayarkan atau ditunda untuk dibayar, dan bahkan berpotensi menjadi korban perdagangan manusia.
"Kasus-kasus yang kami terima selama ini memang memprihatinkan. Tidak digaji, ekploitasi, penyiksaan verbal maupun fisik, dilarang pindah majikan, kalaupun mau ganti majikan jelas syarat memberatkan apalagi di masa pandemi saat ini", ungkap Fajar dari “Ganas Community Taiwan.”
Hal tidak jauh berbeda dialami pekerja rumah tangga di dalam negeri. Data di Kementerian Tenaga Kerja menunjukkan ada sekitar lima juta orang yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Indonesia. Angka ini tidak berbeda jauh dengan data Organisasi Buruh Dunia ILO tahun 2015 yang menunjukkan ada 4,2 juta warga Indonesia yang menjadi pekerja rumah tangga.
Pegiat LBH Masyarakat, Afif Abdul Qoyim, yang kerap mengurus kasus hukum pekerja rumah tangga yang mengalami kekerasan, menyerukan kepada pemerintah untuk segera meloloskan RUU PPRT. Ia menyesalkan lambatnya pembahasan RUU PPRT di tingkat badan legislatif yang sudah memakan waktu lebih dari 18 tahun.
"Pengalaman kami di LBH, PRT sering menjadi korban kekerasan majikan atau Tindak Pidana Perdagangan Orang TPPO. PRT di luar negeri juga seperti itu sering dijadikan kurir narkoba," ungkap Afif.
Komunitas PRT Bicara
Karsiwen, salah satu perwakilan Indonesia dari Kabar Bumi, yang hadir di ajang pertemuan pekerja migran tingkat dunia IMRF di New York, Amerika, 16 Mei lalu, mengatakan RUU PPRT yang dibahas bertahun-tahun itu sebenarnya sudah sangat lengkap.
"Isi kesepakatan ada 23 objektif, mulai dari pendataan, kehilangan nyawa, tindak pidana perdagangan orang TPPO, remitansi, regulasi, dan lainnya. Sekarang ini kebijakan internasional itu sangat berpengaruh pada kebijakan nasional di masing-masing negara. Misalnya, regulasi atau Undang-Undang apapun di Indonesia akan merujuk pada hukum internasional," jelas Iwen.
Ia tidak dapat memahami hal-hal yang membuat RUU PPRT tak kunjung diloloskan.
Dalam wawancara VOA sebelumnya, Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), Lita Anggraini, mengatakan RUU PPRT akan memberi kepastian hukum dan perlindungan tidak saja bagi pekerja rumah tangga, tetapi juga pemberi kerja.
RUU ini juga akan mencegah segala bentuk diskriminasi, eksploitasi, dan pelecehan terhadap PRT, mengatur hubungan kerja yang harmonis dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan, kemanusiaan, dan keadilan; serta meningkatkan pengetahuan, keahlian, dan keterampilan pekerja rumah tangga. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah meningkatkan kesejahteraan pekerja rumah tangga karena membuat mereka diikutsertakan dalam jaminan sosial. [ys/em]