Pekan lalu, DPR RI menyatakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren dan Pendidikan Keagamaan sebagai RUU inisiatif dari DPR. RUU ini diprakarsai oleh Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) dan Fraksi PPP.
RUU ini menimbulkan kontroversi karena di dalamnya berisi alokasi anggaran negara dan daerah untuk lembaga pendidikan keagamaan, termasuk pesantren, yang selama ini mandiri atau swadaya. Padahal anggaran bagi pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan lainnya tidak terakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).
Tak hanya itu, RUU ini juga menyoroti penyelenggaraan Ujian Nasional atau Ujian Negara bagi santri pondok pesantren. Selama ini, Peraturan Menteri Agama nomor 18 tahun 2014 tentang Pesantren memperbolehkan pesantren untuk menyelenggarakan ujian sendiri. Hasil ujiannya akan diakui oleh pemerintah karena dianggap setara dengan sekolah-sekolah negeri.
Ketua Asosiasi Pesantren Nahdlatul Ulamase-Indonesia atau Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) NU, Abdul Ghoffar Rozin mengungkapkan RUU Pesantren perlu disempurnakan karena ada kekhawatiran mengenai penyeragaman pesantren yang selama ini mandiri pengelolaandan beraneka karakter pendidikan. Menurut Gus Rozin, RMI NU sudah mengumpulkan aspirasi dari masing-masing pondok pesantren yang beragam karakter pendidikannya.
“Pondok pesantren 'kan karakter pendidikannya berbeda-beda. Jangan sampai Ujian Nasional itu sebagai bentuk penyeragaman. Sejak sebelum RUU itu dibahas di paripurna, kita sudah menyaring masukan-masukan dari berbagai pesantren. Ada pesantren salaf, yang punya pendidikan formal, ada pesantren yang hanya mengajarkan kitab saja, hafalan Al- Quran, semua kita tampung aspirasi mereka," kata Abdul Ghoffar Rozin.
"Saat ini sedang tahap finalisasi usulan, kira-kira akan menyempurnakan RUU itu. Saya kira kalau kita bangun secara pelan-pelan, mendengarkan aspirasi pesantren, saya rasa tidak akan menggusur materi pembelajaran pesantren. Namun konstruksi hukum yang ada saat ini memang ada potensi ke arah itu. Saya kira kita masih punya cukup waktu, untuk memperbaiki, menyempurnakan RUU itu agar bisa mengakomodir kebutuhan riil pesantren,” lanjutnya.
Data RMI NU menunjukkan ada 23.300-an pesantren di Indonesia di bawah pembinaan RMI NU.
Sementara itu, Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, saat menghadiri Muktamar Pemikiran Santri Nusantara di Ponpes Krapyak Bantul Yogyakarta pertengahan bulan ini mengungkapkan, pemerintah menilai perlu aturan jelas tentang apa yang disebut pesantren.
“Jangan sampai padepokan dengan gampang disebut pesantren. Kita perlu aturan yang jelas tentang apa itu pesantren. Definisi kami jelas, pesantren itu syarat utama ada lima: kyai yang menjadi tokoh sentral pendidikan di mana ilmu keagamaan dikembangkan. Kemudian ada santrinya dalam jumlah tertentu, ketiga ada kitab yang dikaji secara dalam, jangan sampai pakai kitab tidak jelas apalagi merujuk mbah Google di internet. Keempat berasrama, santri harus mondok, pendidikan berlangsung 24 jam, kemudian kelima ada masjid yang menjadi sentral lokasi pendidikan karakter keagamaan, pusat keislaman,” jelasnya.
Sementara itu, Presiden Jokowi saat menghadiri Apel Akbar Santri Nusantara di Benteng Vasterburg Solo, Sabtu malam (20/10) mengatakan Pemerintah menetapkan Hari Santri dengan berbagai program pengembangan pesantren sebagai bentuk pengakuan dan penghargaan negara pada keberadaan pesantren.
“Saya sangat bersyukur Bangsa Indonesia dipandu dengan tradisi kesantrian yang kuat. Tradisi penghormatan dan penghargaan yang tinggi pada sesama manusia. Tiga tahun yang lalu saya menandatangani Keputusan Presiden mengenai penetapan Hari Santri Nasional, setiap 22 Oktober. Pesantren dengan segala keberagaman karakter pendidikannya dan tradisi daerah yang Berbhineka Tunggal Ika,” sambut Presiden Jokowi. [ys/uh]