Vanesa, siswa Sekolah berkebutuhan khusus SLB berdandan dan digandeng seorang guru pendamping. Penyandang tuna netra ini, bersama lima rekannya yang mengalami kondisi serupa, beserta 15 anak tuna rungu menyajikan kolaborasi tarian Hari Tari Dunia di kompleks Institut Seni Indonesia ISI Solo, Senin (29/4).
Iringan musik gamelan tradisional menjadi patokan bagi penari tuna netra, sementara para para penari tuna rungu mengikuti gerakan salah satu instruktur yang berada di depan panggung dengan irama musik bertempo lebih cepat.
“Telinga kami tak bisa mendengar irama, mata kami tak bisa melihat indahnya angkasa, kaki kami tak bisa bergerak untuk menghentak dan menggoyahkan dunia.Tuhan, kami yakin rencanamu lebih baik, kami tak berbeda, (suara musik bertempo cepat),” jelasnya.
Bagi Vanesa, ketidakmampuannya melihat tidak membuatnya minder.
“Saya siswa tuna netra di SLB, saya latihan menyesuaikan suara musik sekitar tiga bulan, kalau menari sekitar satu bulan, Selama menari, di bagian musiknya kan ada tanda khusus perpindahan gerakan, gerakan ini suara musiknya ini, ada musiknya tersendiri. Saya suka menari sejak kecil, waktu SD sempat terhenti karena tidak ada yang mengajari, dulu nari rampak.”
Salah satu guru SLB pendamping peserta difabel, Wahyuni, mengatakan ada tiga kelompok penyandang difabel yang ikut menari dalam Hari Tari Dunia ini. Menurut Wahyuni, mereka penyandang tuna netra, tuna rungu, dan down syndrome.
“Ada sekitar 25 anak, lima anak tuna netra, satu anak tuna daksa, pakai kursi roda, sisanya anak tuna rungu. Jadi pentas ini gabungan tarian dari anak tuna netra dan tuna rungu, yang tuna daksa membaca puisinya. Ada juga pentas anak-anak down syndrome,” jelasnya.
Salah seorang dosen seni tari dari Institut Seni Indonesia ISI Solo, Joned, mengatakan menumbuhkan semangat untuk menari pada anak-anak difabel membutuhkan ketelatenan.
“Saya gunakan metode beda untuk anak tuna netra dan tuna rungu, kalau tuna rungu kan bisa melihat saya dengan gerakan tangan menirukan. Nah, yang butuh ketelatenan itu tuna netra, saya harus menyentuh mereka satu per satu. Mereka tidak sadar tubuh itu untuk apa, bergerak itu takut sekali. Makanya saya coba untuk memotivasi mereka, coba gerakkan tangan ke atas, badan dibungkukkan, diputar, berani nggak? Kaki melangkah, kaki satu diangkat, mereka nggak tahu caranya, saya ajarkan dengan memegang dan mengangkat gerakan mereka. Dengan begitu, mereka akan tahu... oh ini gerak mengalir, patah-patah, saya memberi instruksi sambil memegang mereka,” jelasnya.
Juru bicara penyelenggara Hari Tari Dunia dari ISI Solo, Eko Supriyanto mengatakan keterlibatan peserta difabel dan semangat mengajak anak-anak dan milenial menjadi bagian penting pada acara ini. Menurut Eko yang pernah menjadi penari latar salah satu penyanyi luar negeri ini, menari bisa dilakukan siapapun.
“Event Hari Tari Dunia tahun ini yang menjadi highlight yaitu keterlibatan peserta difabel dari siswa SLB sejumlah daerah. Ini challenge yang sangat penting bagi para seniman untuk masuk ke ranah mereka. Tuna rungu yang bisa menari dengan bagus, tuna netra juga menari dengan bagus, maka akan kita perkuat lagi peran difabel dalam berbagai pementasan saat ini. Hasthtag gegara menari, harapan kami passion kami sebagai seniman tari, bisa memotivasi mereka agar menekuni dunia tari dan bisa melanglang buana ke berbagai daerah dan penjuru dunia,” paparnya.
Kampus ISI Solo menyajikan 600 tarian yang beragam dan melibatkan 175 grup tari dari berbagai daerah di Indonesia.
Tak hanya Kampus ISI Solo saja yang menggelar perayaan Hari Tari Dunia 29 April ini. Pemerintah kota Solo juga akan menampilkan lima ribu anak di Solo melakukan tari kolosal jaranan, tari tradisional kuda lumping, di stadion Sriwedari Solo. Ribuan anak itu membentuk formasi peta Indonesia. [ys/ab]