Hong Kong mulai memberlakukan undang-undang keamanan nasional yang baru pada Sabtu (23/3), meskipun ada kritik internasional yang meningkat. Komunitas internasional mengatakan bahwa undang-undang tersebut dapat mengikis kebebasan di kota tersebut, yang diperintah oleh China, tetapi memiliki otonomi yang berasal dari sejarahnya sebagai koloni Inggris.
Undang-undang (UU) tersebut mulai berlaku pada tengah malam, ketika dipublikasikan di situs web pemerintah, beberapa hari setelah anggota parlemen Hong Kong yang pro-Beijing mengesahkannya dengan suara bulat. Pengesahan UU itu dipercepat untuk menutup apa yang oleh pihak berwenang disebut sebagai celah keamanan nasional."
Kepala Eksekutif Hong Kong John Lee menandatangani undang-undang keamanan nasional yang baru pada Jumat (22/3) malam. Saat mengesahkan UU itu, Lee mengatakan bahwa undang-undang tersebut “menyelesaikan misi bersejarah, memenuhi kepercayaan yang diberikan kepada kami oleh Otoritas Pusat [China].”
Pada Jumat, Australia dan Inggris mengkritik China atas tindakannya di Hong Kong setelah pertemuan di Adelaide. Dalam dalam pernyataan bersama, kedua negara menyatakan “keprihatinan mendalam terhadap terus terkikisnya otonomi, kebebasan, dan hak secara sistemik.”
Australia dan Taiwan memperbarui peringatan perjalanan mereka ke Hong Kong, dan mendesak warganya untuk berhati-hati.
“Anda bisa melanggar hukum tanpa sengaja dan ditahan tanpa dakwaan serta tidak diberi akses ke pengacara,” kata Pemerintah Australia.
Namun, dalam sebuah pernyataan, pihak berwenang Hong Kong “mengecam keras manuver politik seperti itu dengan pernyataan yang tidak tepat, memutarbalikkan fakta, menimbulkan keresahan, dan menyebarkan kepanikan.”
Hong Kong dikembalikan kepada Pemerintahan China pada 1997 dengan jaminan bahwa otonomi dan kebebasan tingkat tinggi, termasuk kebebasan berbicara dan berkumpul, akan dilindungi berdasarkan formula “satu negara, dua sistem”.
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Uni Eropa mengkritik pengesahan undang-undang tersebut yang sangat cepat, yang pertama kali diajukan sebagai rancangan undang-undang pada awal Maret.
“Sangat mengkhawatirkan bahwa undang-undang yang penting seperti itu harus diajukan ke badan legislatif melalui proses yang dipercepat, meskipun ada kekhawatiran serius mengenai ketidaksesuaian banyak ketentuannya dengan hukum hak asasi manusia internasional,” kata Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebelumnya.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken mengatakan undang-undang tersebut akan memiliki "implikasi luas" bagi warga negara dan perusahaan AS di Hong Kong.
“Kami memiliki kekhawatiran yang sama dengan negara-negara lain bahwa pemerintah Hong Kong mungkin berupaya menerapkan undang-undang baru tersebut secara ekstrateritorial dalam kampanye penindasan transnasional mereka yang sedang berlangsung, dan mengutuk upaya untuk mengintimidasi, melecehkan, dan membatasi kebebasan berpendapat warga negara dan penduduk AS,” kata Blinken dalam sebuah pernyataan.
Undang-undang baru ini mencakup pengkhianatan, spionase, dan campur tangan eksternal dan diawasi secara ketat oleh para diplomat dan pengusaha yang khawatir undang-undang tersebut akan semakin melemahkan daya tarik Hong Kong sebagai pusat keuangan internasional.
China dan pemerintah Hong Kong membela tindakan keras keamanan sebagai hal yang penting untuk memulihkan ketertiban setelah berbulan-bulan terjadi protes jalanan anti-pemerintah yang terkadang disertai kekerasan pada 2019.
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak politisi dan aktivis pro-demokrasi dipenjara atau diasingkan, dan media liberal serta kelompok masyarakat sipil telah ditutup.
Warga Hong Kong di luar negeri merencanakan protes di Inggris, Taiwan, Kanada dan Jepang pada Sabtu (23/3). [ft]