Ketika Zack Lee, yang kini mahasiswa sebuah kampus di Hong Kong, masih remaja, ia tidak pernah mendapatkan pendidikan seks. Ketika itu ia sekolah di sebuah SMA Kristen. Sistem reproduksi dijelaskan di kelas sains, tetapi pertanyaan-pertanyaan lebih jauh tidak akan dijawab oleh sang guru.
“Saya juga tidak mendapatkan pendidikan seks apapun di SMP. Guru-guru tidak pernah mengajari saya apapun,” tambahnya. “Sebagian teman saya yaa seperti saya juga, tidak tahu bagaimana menggunakan kondom dan tidak tahu cara berhubungan seks.”
Ia dan teman-temannya mencari jawaban di internet, fenomena yang umum terjadi di Hong Kong, di mana standar pendidikan seksual antar sekolah sangat berbeda.
Pendidikan Seks Tak Diajarkan Secara Resmi di Sekolah
Pendidikan seks tidak diajarkan sebagai satu mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah di Hong Kong, tetapi sebaliknya diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan moral dan kewarganegaraan, demikian pernyataan Biro Pendidikan melalui email. Pelajaran itu untuk membantu siswa belajar “pengembangan diri seutuhnya dalam menghadapi tantangan abad ke-21.”
Biro Pendidikan mengatakan dibandingkan hanya memusatkan perhatian pada “aspek fisiologis,” pendidikan seks juga mengajar siswa tentang “pertumbuhan dan perkembangan pribadi, bagaimana berteman, pacaran, menikah dan kesetaraan gender.” Namun dalam praktiknya, sekolah dapat menentukan sendiri bentuk pendidikan seks yang akan diajarkan.
Menurut penelitian yang dilakukan Dewan Legislatif Hong Kong, hasil yang beranekaragam telah menimbulkan keprihatinan kelompok-kelompok HAM, termasuk Departemen Kesehatan dan Asosiasi Keluarga Berencana Hong Kong.
Siswa rata-rata hanya mendapat pendidikan seks selama tiga jam dalam satu tahun. Ketika itu 60% siswa belajar tentang pencegahan HIV, dan hanya 80% yang belajar bagaimana menggunakan kondom; demikian menurut survei terbaru tahun 2012 terhadap 134 sekolah yang dilakukan oleh LegCo.
“Yang kita lihat adalah situasi yang sangat tidak berimbang. Sebagian sekolah mungkin memberikan pendidikan seks komprehensif dengan jam pelajaran yang cukup, lainnya tidak memberikan pelajaran ini sama sekali,” ujar Julia Sun, Direktur Sticky Rice Love, sebuah forum online untuk isu-isu pendidikan seks.
Sikap Warga Hong Kong terhadap Seks Tergolong Konservatif
Sama seperti sebagian besar negara-negara di Asia, sikap Hong Kong terhadap seks juga cukup konservatif. Situs Sticky Rice Love menyatakan “warga kota Hong Kong jarang bicara tentang seks” dan kalau pun ada maka pembicaraan lebih pada soal “hal memalukan” dan “dosa.”
Organisasi-organisasi seperti Sticky Rice Love kerap diundang ke sekolah-sekolah untuk memberikan pendidikan seks tetapi apa yang diijinkan untuk dibahas di sekolah benar-benar harus sesuai dengan pedoman pemerintah.
Banyak sekolah sangat ingin bicara tentang bagaimana mencegah kehamilan, terutama menekankan seruan untuk tidak berhubungan seks, ujar Sun. Tetapi sekolah-sekolah ini jadi melewatkan pelajaran penting seperti soal perkembangan emosi, komunikasi dan persetujuan untuk melakukan hubungan seks.
Isu LGBT dan identitas gender juga merupakan topik yang kontroversial, tambahnya.
Hong Kong AIDS Foundation, yang juga bekerjasama dengan sekolah-sekolah, mengatakan banyak yang enggan mengijinkan organisasi itu membagikan kondom, bahkan di tingkat universitas sekalipun.
Hal ini bertolak belakang dengan tingginya standar pendidikan di Hong Kong, dibandingkan negara-negara lain di kawasan Asia. Studi yang dilakukan Organisasi Bagi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan OECD tahun 2015 menunjukkan siswa-siswa SMP di Hong Kong berada di peringkat kedua di dunia untuk bidang matematika dan membaca. Sementara universitas-universitasnya merupakan yang terbaik di Asia.
Badan PBB Urusan Dana Kependudukan UNPF mengatakan pesaing Hong Kong yang memiliki tingkat perekonomian serupa, yaitu Singapura dan Taiwan, justru memiliki program pendidikan seks wajib. Demikian pula Mongolia, yang merupakan negara berkembang, yang juga memiliki program pendidikan seks yang canggih.
Sebaliknya Hong Kong lebih memiliki kesamaan dengan China, di mana pendidikan seks bukan merupakan mata pelajaran wajib dan seringkali membatasi diskusi pada soal fisiologi dan pencegahan HIV, tidak pada isu gender dan seksualitas, demikian menurut Jo Sauvarin, penasehat bidang remaja di UNPFA.
Pendekatan serupa ditemukan di seluruh Asia, yang jauh tertinggal dibanding Afrika dan Amerika Latin, yang meningkatkan pendidikan seks beberapa tahun lalu sebagai salah satu cara memberantas wabah HIV.
Pendekatan yang sangat hati-hati untuk memberikan pendidikan seks di Hong Kong bisa jadi terkait dengan fakta peran sangat besar yang dimainkan organisasi-organisasi keagamaan dalam dunia pendidikan di Hong Kong. Hampir separuh siswa sekolah terkait dengan afiliasi keagamaan tertentu, mulai dari Kristen, Budha hingga Sikh. Banyak organisasi lokal yang juga menyebut pengaruh konservatif Konfusianisme dalam sistem pendidikan Hong Kong.
Dalam iklim seperti itu, tentangan untuk memberikan pendidikan seks juga bisa datang dari orang tua, yang khawatir seks akan mendorong anak-anak bereksperimen. Namun demikian Sauvarin mengatakan sekedar memberi tahu mereka untuk tidak melakukan hubungan seks atau membatasi pendidikan mereka justru berdampak sebaliknya. (em)