Indonesia harus menghentikan tes fisik untuk menentukan apakah calon polisi wanita (polwan) masih perawan, menurut kelompok hak asasi manusia ternama, Selasa (18/11), menggambarkan praktik itu sebagai merendahkan dan diskriminatif.
Human Rights Watch mengatakan dalam laporannya bahwa tes-tes semacam itu telah lama dilakukan di Indonesia, tempat perilaku dan praktik patriarkal dalam pasukan keamanan merupakan hal umum.
Laporan tersebut didasarkan pada wawancara-wawancara dengan polisi wanita dan calon polisi di enam kota Indonesia yang telah mengalami tes "dua jari" untuk menentukan selaput dara mereka masih utuh.
Persyaratan itu bahkan dicantumkan dalam laman lowongan pekerjaan Kepolisian Republik Indonesia. Pada Selasa, teksnya tertulis, "Sebagai tambahan dari tes medis dan fisik, para perempuan yang ingin menjadi polisi harus menghadapi tes-tes keperawanan. Jadi para perempuan yang ingin menjadi polisi harus mempertahankan keperawanan mereka."
Mengutip para ahli medis, Human Rights Watch mengatakan tes-tes fisik tidak berguna dalam menentukan keperawanan.
Juru bicara Kepolisian Irjen Pol. Ronny Sompie meminta semua pihak tidak "menanggapi secara negatif" terhadap tes-tes tersebut, mengatakan bahwa hal itu bertujuan untuk menjamin para pendaftar bebas dari penyakit menular seksual. Ia mengtakan baik pendaftar pria maupun wanita menjalani tes darah untuk penyakit-penyakit tersebut.
"Semua dilakukan dengan cara profesional dan tidak melukai para calon polisi," ujar Ronny.
Human Rights Watch telah mendokumentasikan penyalahgunaan tes-tes keperawanan oleh polisi di beberapa negara lain, termasuk Mesir, India dan Afghanistan.
Dalam sebuah wawancara video yang direkam kelompok HAM tersebut, seorang perempuan Indonesia berusia 24 tahun mengatakan ia termasuk dari 20 pendaftar yang mendapatkan tes tersebut.
"Saat itu saya takut setelah mereka melakukan tes, saya jadi tidak perawan lagi," ujarnya dalam wawancara dengan wajah yang disamarkan. "Mereka memasukkan dua jari dengan gel...rasanya sakit sekali." (AP)