Tautan-tautan Akses

HUT Bhayangkara: KontraS Catat Ada 651 Kasus Kekerasan oleh Polisi


Seorang polisi menembakkan gas air mata saat bentrok dengan para mahasiswa yang berunjuk rasa di Surabaya, Jawa Timur, 8 Oktober 2020. (Foto: AP)
Seorang polisi menembakkan gas air mata saat bentrok dengan para mahasiswa yang berunjuk rasa di Surabaya, Jawa Timur, 8 Oktober 2020. (Foto: AP)

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat setidaknya ada 651 kasus kekerasan yang dilakukan Polri terhadap warga sipil dalam setahun terakhir.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) memberi catatan kritis kepada Polri seiring Hari Bhayangkara yang diperingati pada 1 Juli. Peneliti KontraS, Rozy Brilian mencatat setidaknya ada 651 kasus kekerasan yang dilakukan Polri terhadap warga sipil sepanjang Juni 2020 hingga Mei 2021.

Jenis kekerasan yang paling banyak adalah penembakan yang telah menewaskan 13 orang dan melukai 98 lainnya. Adapun satuan tingkatan kepolisian yang paling banyak melakukan kekerasan terhadap warga sipil adalah Polres.

HUT Bhayangkara: KontraS Catat Ada 651 Kasus Kekerasan oleh Polisi
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:30 0:00

"Rinciannya Polres melakukan 399 kasus, tingkatan Polda 135 kasus dan 117 kasus di tingkatan Polsek," jelas Rozy dalam konferensi pers daring, Rabu (30/6/2021).

Rozy menambahkan data kasus kekerasan ini tidak jauh berbeda dengan kasus penyiksaan yang juga paling banyak terjadi di tingkatan Polres. Ia mengatakan, hal tersebut terjadi karena pengawasan Polda terhadap Polres tidak berjalan dengan baik.

Peneliti KontraS Tioria Pretty. (Foto: VOA)
Peneliti KontraS Tioria Pretty. (Foto: VOA)

Peneliti KontraS Tioria Pretty menambahkan polisi juga tebang pilih dalam penegakan hukum pada saat pandemi COVID-19. Ia mencontohkan penegakan hukum yang menyasar kerumunan orang yang menolak Undang-undang Cipta Kerja. Pretty mengatakan,sementara pra demonstran ditindak karena dianggap melanggar protokol kesehatan, para pejabat tidak dikenai tindakan serupa .

"Presiden yang ke Maumere yang menyebabkan kerumunan. Atau ada acara pesta yang dibuat artis itu tidak ada penegakan hukum yang setimpal seperti warga biasa," ujar Pretty.

Pretty juga menyoroti stigmatisasi yang diciptakan Polri sebagai bentuk penyerangan terhadap kelompok tertentu. Polisi, contohnya, sering memberi label anarko dan radikal sehingga mengakibatkan penangkapan.

Aktivitas Personel TNI POLRI di Pos Komando Taktis Satgas Operasi Madago Raya di desa Tokorondo, Poso Pesisir, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Selasa, 12 Januari 2021. (Foto: VOA/Yoanes Litha)
Aktivitas Personel TNI POLRI di Pos Komando Taktis Satgas Operasi Madago Raya di desa Tokorondo, Poso Pesisir, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Selasa, 12 Januari 2021. (Foto: VOA/Yoanes Litha)

Selain itu, KontraS juga menyoroti penerbitan sejumlah regulasi kepolisian yang semakin mempersempit ruang kebebasan sipil, termasuk penerbitan berbagai surat telegram yang berpotensi menghalangi hak menyampaikan pendapat dan pemberlakuan polisi virtual yang menyasar akun yang aktif mengkritik pemerintah. KontraS mencatat setidaknya 476 akun ditegur sejak kebijakan polisi virtual tersebut diberlakukan.

VOA sudah berusaha menghubungi juru bicara Kepolisian terkait catatan kritis KontraS yakni soal kekerasan dan penyiksaan yang dilakukan personel Polri. Namun, hingga berita ini diturunkan belum ada tanggapan dari Polri.

Presiden Jokowi berbincang dengan Kapolri Listyo Sigit Prabowo, Kamis (01/07/2021) pagi, di Istana Negara, Jakarta. (Foto- BPMI Setpres:Lukas) .jpg
Presiden Jokowi berbincang dengan Kapolri Listyo Sigit Prabowo, Kamis (01/07/2021) pagi, di Istana Negara, Jakarta. (Foto- BPMI Setpres:Lukas) .jpg

Di lain kesempatan, Presiden Joko Widodo mengapresiasi kinerja Polri dalam melayani masyarakat dan membantu penanganan pandemi corona. Namun, Jokowi juga mengingatkan Polri agar bijak dalam melakukan penggunaan kewenangan seperti penangkapan dan penahanan. Sebab, kata Jokowi, Indonesia merupakan negara demokrasi yang menjunjung tinggi HAM.

"Polri bukan hanya harus tampil tegas dan tanpa pandang bulu, tetapi juga harus tampil sebagai pengayom dan pelindung masyarakat," kata Jokowi dalam perayaan HUT ke-75 Polri yang digelar virtual pada Kamis (1/7/2021).
Jokowi juga mengingatkan Polri dalam mengambil keputusan agar merujuk pada peraturan perundang-undangan dan norma-norma di masyarakat. Presiden juga meminta Polri membenahi manajemen dan kelembagaan secara komprehensif dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi terkini. [sm/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG