Bukan untuk gedung, jembatan atau bendungan, batu yang pertama kali diletakkan di lokasi pembangunan ibu kota baru itu adalah untuk pondasi untuk jalan. Namun sebelum itu, menurut Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono, baru pada awal tahun depan, pemerintah berkonsentrasi pada desain tata ruangnya.
“Saya sudah ditelepon Bu Menteri Keuangan untuk menyiapkan kebutuhan anggaran tahun 2020. Sekarang disiapkan oleh teman-teman di Biro Perencanaan, di Jakarta. Ada tiga hal yang akan kita kerjakan di tahun 2020. Pertama, untuk mendesain kawasannya, karena sudah ditetapkan. Desain tata ruang dan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan. Di mana istananya, di mana kantor-kantornya, di mana perumahannya, di mana komersialnya,” kata Basuki.
Menteri PUPR menyampaikan itu di sela-sela pertemuan dengan mahasiswa program S2, S3, insinyur dan dosen di lingkungan Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Selasa (27/8). Di depan mahasiswa, Basuki juga menayangkan desain kawasan dan pertimbangan teknis ibu kota baru.
Dikatakan Basuki, sejak saat ini hingga pertengahan tahun 2020, pemerintah menjalankan tahap kedua yaitu membuat kriteria desain untuk prasarana dasar. Termasuk di dalamnya adalah jalan, drainase, waduk untuk air bersih, transportasi seperti kereta api dan juga listrik. Baru setelah itu, desain ketiga akan menyusul yaitu perkantoran dan perumahan.
Namun, proses pembangunan tidak akan menunggu hingga semua rancangan selesai. Jalan akan menjadi proyek pertama untuk membuka akses ke seluruh kawasan. Karena diproyeksikan selesai dalam empat tahun, maka anggaran juga akan dibagi bebannya. Untuk tahun depan, diperkirakan hanya dibutuhkan dana sekitar 20 persen bagi anggaran pembangunan sarana dasar.
Pada tahap awal ini, pemerintah akan mengelola lahan seluas 40 ribu hektar dari 180 ribu hektar yang disiapkan. Lahan awal itu bisa menampung seluruh bangunan utama yang dibutuhkan pemerintah.
Sekitar 800.000 ribu aparat sipil negara (ASN) akan turut pindah. Pemerintah menyiapkan ibu kota baru untuk 1,5 juta warga, dengan memperhitungkan sektor swasta yang akan turut masuk.
“Kita akan menggunakan arsitektur bangunan yang lebih nasional. Untuk itu, kita lagi diskusikan dengan IAI (Ikatan Arsitek Indonesia ), dengan para arsitek. Karena memang desainnya harus berbeda, harus beyond. Tetapi desain ini tetap akan menyerap budaya lokal,” kata Basuki.
Sektor swasta juga akan masuk melalui beberapa skema investasi. Misalnya di sektor penyediaan air minum, pemerintah akan membangun waduk sebagai sumber air baku. Swasta dipersilahkan turut berinvestasi dalam penyediaan air bersih, memanfaatkan waduk tersebut.
Kota Ramah Lingkungan
Basuki menjamin, ibu kota baru akan didesain lebih ramah lingkungan. Kekhawatiran banyak pihak tentang pelestarian hutan dijawab dengan pola pembangunan berkelanjutan. Justru, kawasan yang rusak akibat pertambangan dan perambahan hutan, akan dihijaukan kembali. Konsep yang dipakai adalah city in the forest.
Ibu kota baru juga akan dibangun dengan drainase yang baik, sehingga bebas banjir. Air tanah tidak akan dimanfaatkan untuk kebutuhan warganya, sehingga tidak terjadi penurunan tanah seperti di Jakarta.
Paparan Basuki terkait isu lingkungan itu, diberikan untuk menjawab kekhawatiran yang disampaikan Muriani Emelda Isharyani. Dosen di Universitas Mulawarman, Samarinda, ini bercerita tentang banjir yang melanda tempat tinggalnya beberapa waktu lalu.
Ditanya lebih jauh tentang kekhawatiran itu, Muriani mengatakan bisnis tambang di Kalimantan Timur menjadi penyebabnya.
“Yang paling signifikan kita rasakan sih, akibat tambang kita sudah banjir dan parah kadang. Apalagi kalau Bukit Soeharto yang notabene sudah bolong-bolong dalamnya, kemudian diubah menjadi kota. Apa tidak mungkin aliran air yang seharusnya diresap oleh hutan lindung Bukit Soeharto kemudian mengalirnya ke Samarinda dan Balikpapan. Bukan hanya Samarinda-Balikpapan, tapi juga daerah sekitarnya,” kata Muriani.
Secara global, menurut Muriani, konsep yang ditawarkan pemerintah bagus. Tetapi pelaksanannya tetap membutuhkan kehati-hatian. Dia memberi contoh, Bukit Soeharto yang terlihat hijau dari tepi jalan, tetapi di dalam sudah penuh lubang bekas tambang. Proyek ibu kota ini semestinya hanya memanfaatkan area bekas tambang itu, dan memperhatikan kawasan yang masih menjadi hutan.
Muriani menambahkan, dalam sosialisasi terkait ibu kota baru ini, pemerintah tidak hanya memaparkan dampak baik yang akan terjadi. Dia meyakini, Kalimantan Timur akan banyak terbantu. Misalnya, soal pengangguran yang timbul karena tutupnya bisnis tambang, akan tersalurkan dalam proyek ini. Tetapi dia yakin, masyarakat juga berhak memahami dampak buruk yang mungkin timbul dan upaya pemerintah mengantisipasinya.
Dia berharap, pindahnya ibu kota ke Kalimantan Timur membantu proses perbaikan kerusakan lingkungan yang selama ini terjadi.
“Bisa jadi, keluhan masyarakat bisa langsung tersampaikan. Kalau selama ini, kita kan dari Walikota ke gubernur baru ke presiden. Harapannya, ketika struktur pusat melihat langsung permasalahan di sana, bisa langsung cepat merespon, seperti masalah banjir, penambangan liar atau izin penambangan yang diberikan,” tambah Muriani.
Dalam kesempatan berbeda, pakar pembangunan wilayah UGM, R. Rijanta menilai keputusan Jokowi telah tepat, tetapi desain penyiapannya harus lebih luas.
Rijanta menilai, ibu kota baru akan mengurangi beban Jakarta, tetapi tidak mengambil semua fungsi yang selama ini ada. Fungsi pemerintahan pindah, tetapi fungsi ekonomi dan komersial tetap di Jakarta. Perpindahan ini tidak akan membuat Jakarta jatuh, dan tetap mampu hidup dan menghidupi daerah sekitarnya.
“Jakarta itu rumit, macet, karena Jakarta merupakan tumpukan fungsi pelayanan yang sifatnya bercampur. Jakarta mengemban fungsi kota yang banyak sekali, dari fungsi pelayanan yang sifatnya lokal, regional sekitar Jakarta, sampai dengan fungsi nasional dan bahkan yang cakupan layanannya internasional,” kata Rijanta.
Pemilihan Kalimantan Timur sebagai lokasi ibu kota baru sudah tepat menurut Rijanta.
Kalimantan Timur siap secara infrastruktur, memiliki bandara internasional, lalu lintas laut skala besar, heterogenitas masyarakat cukup tinggi dan lebih siap menerima perubahan.
Hanya saja, pemerintah harus lebih cermat mempersiapkan semua sisi. Tidak hanya kesiapan infrastruktur, penyediaan layanan pendukung seperti pendidikan dan kesehatan perlu diperhatikan.
Tidak kalah pentingnya, kata Rijanta,adalah persoalan pemenuhan kebutuhan pangan.
Kalimantan selama ini banyak mendatangkan bahan pangan dari Jawa Timur. Padahal dalam perspektif moderen, kata Rijanta sumber makanan sebaiknya datang dari lokasi yang dekat.
Selain itu, harus diantisipasi pula perkembangan sektor ekonomi, pariwisata, dan hiburan yang muncul seiring dengan pembangunan pusat pemerintahan.
“Jangan sampai dalam jangka panjang terjadi kesemrawutan baru yang mengulang apa yang terjadi di ibu kota lama. Harus dipikirkan dari sekarang, fungsi-fungsi di luar pemerintahan nanti ada di mana, dan itu harus ditegakkan secara ketat, jangan kecolongan,” tambahnya. [ns/ab]