Ketua Unit Kerja Koordinasi Endokrinologi IDAI, Muhammad Faizi, mengatakan sebanyak 1.346 anak mengalami diabetes. Di antara ribuan anak itu terdapat 167 anak yang menderita diabetes melitus tipe 2. Lalu, sisanya mengalami diabetes melitus tipe 1. Hal tersebut diungkapkan dalam media briefing secara daring mengenai "Update Penanganan Diabetes pada Anak beserta Teknologinya".
"Hingga sore ini sudah 1.346 yang terdaftar hanya dari laporan 50 anggota kami. Tentu di masyarakat lebih tinggi, 167 adalah diabetes melitus tipe 2. Ini banyak di Indonesia bagian barat," katanya, Sabtu (13/11).
Faizi menjelaskan, anak yang menderita diabetes melitus tipe 1 kerap tanpa gejala dan tiba-tiba mengalami koma. Kondisi itu diperparah dengan kurangnya pemahaman oleh penderitanya terkait diabetes melitus tipe 1. Biasanya, diabetes melitus tipe 1 terjadi karena tubuh kekurangan insulin karena adanya kerusakan pada sel beta pankreas.
"Sedangkan diabetes melitus tipe 2 gejalanya kurang disadari biasanya pada anak-anak yang obesitas dan anak-anak di Indonesia menghadapi dua hal ini," jelasnya.
Lanjut Faizi, 60 hingga 70 persen anak-anak penderita diabetes mengalami kadar gula tinggi, koma, dan sesak napas. Kondisi tersebut tentu dapat mengancam jiwa bagi penderitanya.
"Kondisi ini mencerminkan seperti puncak gunung es karena prevalensi di Indonesia lebih tinggi," ujarnya.
Adapun lima langkah untuk mengatasi diabetes melitus yakni mengatur pola diet, memantau kadar gula, pemberian insulin, aktivitas olahraga, dan edukasi.
Sementara, Ketua Umum IDAI, Piprim B Yanuarso, mengatakan secara garis besar diabetes melitus tipe 1 dan 2 menyerang anak-anak. Kasus diabetes di Indonesia maupun seluruh dunia terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2013, diabetes melitus hanya di angka 6,9 persen. Namun, di tahun 2018 naik menjadi 10,9 persen.
"Tapi tentu saja jumlah yang sebenarnya jauh lebih banyak dari itu karena kita mengalami kendala dalam hal pencatatan. Ya mungkin tidak semua pasien berobat bahkan bisa jadi keburu meninggal sebelum sampai di layanan kesehatan," ujarnya.
Menurut Piprim, deteksi dini penyakit diabetes sangat penting untuk dapat menyelamatkan nyawa bagi penderitanya. Pasalnya, pasien diabetes melitus terutama tipe 1 kerap dibawa ke layanan kesehatan ketika sudah dalam kondisi koma lantaran tidak terdeteksi sejak awal.
"Apalagi kalau sejak anak-anak sudah terdeteksi diabetes melitus baik yang tipe 1 dan 2. Khususnya yang tipe 2 biasanya karena gaya hidup yang tidak sehat. Anak remaja yang sudah terkena diabetes tipe 2 tentu saja akan berkembang menjadi diabetes tipe 2 pada dewasa," ucapnya.
Masih kata Piprim, sebelum terdiagnosis diabetes, ada satu kondisi yang disebut dengan prediabetes. Prediabetes memiliki berbagai macam tes salah satunya yakni menggunakan tes toleransi glukosa terganggu (TGT).
"Hasilnya dari seluruh pasien yang dilakukan tes itu yang mengalami TGT alias sudah terdapat prediabetes pada tahun 2018 sebanyak 30,8 persen. Dari 10 orang ada tiga yang prediabetes. Kalau tidak dikelola dengan baik dia bisa menjadi diabetes melitus tipe 2 di kemudian hari," ungkapnya.
Deteksi prediabetes itu juga sangat penting sebelum terjadi diabetes. Dalam sejumlah penelitian ada parameter sensitif yang bisa dilakukan terkait kondisi prediabetes terutama bagi remaja yang obesitas.
"Yaitu beberapa parameter darah, seperti kadar trigliserida dan kadar HDL kolesterol," pungkas Piprim.
Pakar kesehatan anak, Aman Pulungan, mengatakan penyakit diabetes merupakan masalah yang telah menganggu seluruh sistem masyarakat global. Berdasarkan data dari International Diabetes Federation (IDF), Indonesia berada di posisi ke-5 di dunia dengan kasus diabetes yang tak terdiagnosis.
"Karena diabetes seperti gunung es, yang diabetes tidak terdiagnosis itu di China 65 juta, India 44 juta, Amerika Serikat hampir 12 juta, Pakistan 8,5 juta, dan Indonesia 8 juta," tandasnya. [aa/em]