Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmidzi mengungkapkan, pemerintah Indonesia tidak menutup kemungkinan untuk memberlakukan syarat paspor vaksin COVID-19 bagi pelaku perjalanan internasional yang akan mengunjungi Indonesia.
Menurut Nadia, paspor atau sertifikat vaksin COVID-19 menunjukkan bahwa seorang pelaku perjalanan telah mendapatkan vaksin COVID-19. Dengan begitu, diharapkan pelancong tersebut tidak membawa virus corona ke tanah air.
“(Indonesia setuju, akan paspor vaksin?) Iya pasti, karena kita harus melindungi negara kita dan dengan adanya paspor vaksin, pernyataan bahwa sudah divaksin itu kan dia sudah memberitahukan bahwa orang tersebut juga sudah ada perlindungan di dalam tubuhnya. Sehingga kemungkinan dia untuk tidak menularkan kepada orang lain, juga lebih sedikit,” ungkap Nadia kepada VOA, di Jakarta, Senin (12/4).
Meski begitu, ujar Nadia, keberadaan paspor vaksin COVID-19 tidak bisa berdiri sendiri dalam memenuhi persyaratan pelaku perjalanan ketika akan memasuki sebuah wilayah atau negara dalam kondisi pandemi. Menurutnya, hal ini tetap harus disertai dengan tes PCR swab dengan hasil negatif.
Ia menjelaskan, paspor vaksin sebenarnya sudah pernah diberlakukan oleh Afrika Selatan, ketika negara tersebut mengalami sebuah endemik demam kuning atau yellow fever, sehingga pendatang yang akan mengunjungi negara tersebut disyaratkan untuk divaksin agar terhindar dari virus yang menyebabkan penyakit demam kuning, untuk mendapatkan kekebalan.
“Betul, situasinya tergantung, pada saat situasi pandemi ini tentunya selain syarat vaksinasi, juga kita tetap melakukan pemeriksaan PCR dan melakukan karantina,” tuturnya.
Paspor Vaksin COVID-19 Berpotensi Timbulkan Diskriminasi
Sementara itu, Ahli Epidemiologi Universitas Griffith Australia Dicky Budiman secara pribadi tidak menyetujui paspor vaksin COVID-19 dijadikan prasyarat untuk melakukan perjalanan internasional di masa pandemi.
Hal tersebut, katanya, karena jumlah vaksin COVID-19 sampai saat ini masih sangat terbatas, dan bahkan masih ada orang yang tidak bisa mengakses vaksin tersebut. Dengan begitu, kesetaraan, keadilan menjadi hilang sehingga terjadi diskriminasi.
“Berbeda kalau misalnya vaksin sudah tersedia di mana-mana, bisa diakses dan gratis nah itu boleh paspor vaksin. Karena akhirnya akan ada warga negara lain yang punya hak lebih dibanding warga negara lain, padahal warga negara lain itu bukan gak mau divaksin, tapi tidak ada vaksinnya. Ini yang berbahaya. Secara global ini akan menimbulkan ketidaksetaraan, ketika katakanlah secara global vaksinasi ini masih belum sampai bahkan 10 persen dari total penduduk dunia, jadi ini berbahaya sekali ide seperti ini,” ujar Dicky kepada VOA.
Ia mencontohkan, konsep paspor vaksin bisa diterapkan, seperti yang dilakukan oleh Afrika Selatan ketika mengalami endemik yellow fever, asalkan vaksinnya tersedia dan gratis. Namun secara umum dan masih dalam situasi pandemi ia menyarankan untuk tidak diberlakukan.
Dicky menekankan, ketika seseorang sudah mendapatkan vaksinasi COVID-19, tidak menjamin 100 persen seseorang itu tidak membawa dan menularkan virus kepada orang lain. Maka dari itu, jika pemerintah memang akan memberlakukan persyaratan paspor vaksin COVID-19, tetap harus dilengkapi dengan testing swab PCR dengan hasil negatif.
“Menurut saya, sertifikat vaksin ini bisa diterapkan sebagai dasar bahwa ketika seseorang masuk satu wilayah, satu negara kemudian di tes PCR itu negatif, dan tidak ada gejala, dia tidak dikenakan kewajiban untuk karantina itu bisa. Tidak diwajibkan untuk karantina. Dengan catatan juga bahwa durasi atau masa sejak penyuntikan vaksin yang keduanya itu, masih dalam periode tiga hingga enam bulan dari sejak penyuntikan, kalau lebih dari itu ya gak bisa,” jelas Dicky.
Paspor atau sertifikat vaksin COVID-19 merupakan sebuah bukti vaksinasi yang memungkinkan orang-orang untuk keluar dan masuk ke sebuah negara tanpa melalui proses karantina. Beberapa negara diketahui sudah meluncurkan paspor vaksin COVID-19, dan salah satunya adalah China. [gi/ab]