Tautan-tautan Akses

Ilmuwan Jelaskan Alasan Dibalik Pertumbuhan Tak Lazim yang Dialami Gunung Everest


Seekor brurung terbang melintasi area Gunung Everest dalam foto yang diambil dari wilayah Namche Bajar, Nepal, pada 27 Mei 2019. (Foto: AP/Niranjan Shrestha)
Seekor brurung terbang melintasi area Gunung Everest dalam foto yang diambil dari wilayah Namche Bajar, Nepal, pada 27 Mei 2019. (Foto: AP/Niranjan Shrestha)

Gunung Everest adalah gunung tertinggi di bumi, dengan ketinggian yang menjulang sejauh 5,5 mil (8,85 kilometer) di atas permukaan laut. Dan fakta lain menunjukkan bahwa gunung tersebut sebenarnya masih terus bertumbuh.

Di saat pegunungan Himalaya dan pegunungan lainnya terus mengalami peningkatan yang tak terelakkan yang bermula sekitar 50 juta tahun lalu ketika anak benua India bertabrakan dengan Eurasia, Everest tumbuh lebih dari yang diharapkan hanya karena hal ini. Para ilmuwan kini yakin mereka tahu alasannya, dan hal itu memiliki hubungan dengan penggabungan monumental dua sistem sungai yang berada di dekatnya.

Everest bertambah tinggi sekitar 49 hingga 164 kaki (15-50 meter) karena perubahan sistem sungai regional ini, dengan sungai Kosi menyatu dengan sungai Arun sekitar 89.000 tahun yang lalu, menurut perkiraan para peneliti. Itu berarti laju pengangkatan berkisar antara 0,01-0,02 inci (0,2-0,5 milimeter) per tahun.

Proses geologi yang terjadi, menurut para ilmuwan disebut dengan pantulan isostatik. Proses ini melibatkan naiknya massa daratan di kerak bumi saat berat permukaan berkurang. Kerak yang merupakan lapisan terluar bumi, pada dasarnya mengapung di atas lapisan mantel yang terbuat dari batuan panas dan semi-cair.

Dalam kasus ini, penggabungan sungai-sungai yang sejatinya lebih mirip sebuah pengambilalihan secara paksa, dengan Sungai Kosi menaklukkan sungai Arun saat sungai-sungai berubah arah seiring waktu - mengakibatkan erosi yang dipercepat yang telah membawa sejumlah besar batu dan tanah, sehingga mengurangi berat wilayah dekat Everest.

“Pantulan isostatik dapat diibaratkan seperti benda mengambang yang menyesuaikan posisinya saat beban dihilangkan” kata ahli geosains Jin-Gen Dai dari Universitas Geosains China di Beijing, salah satu pemimpin studi yang diterbitkan pada hari Senin (30/9) di jurnal Nature Geoscience.

"Ketika beban berat seperti es atau batuan yang terkikis disingkirkan dari kerak bumi, daratan di bawahnya akan perlahan terangkat sebagai respons. Seperti perahu yang terangkat di air saat muatannya dibongkar," imbuh Dai.

Ngarai utama dari sistem sungai gabungan ini terletak sekitar 28 mil (45 km) di timur Gunung Everest.

Para peneliti, yang menggunakan model numerik untuk mensimulasikan evolusi sistem sungai, memperkirakan bahwa pantulan isostatik menyumbang sekitar 10% dari laju pengangkatan tahunan Everest.

Seorang pendaki tengah berupaya mencapai puncak Gunung Everest di Nepal pada 4 Mei 2024. (Foto: AFP/Tsering Pemba Sherpa)
Seorang pendaki tengah berupaya mencapai puncak Gunung Everest di Nepal pada 4 Mei 2024. (Foto: AFP/Tsering Pemba Sherpa)

Proses geologi ini tidak hanya terjadi di pegunungan Himalaya.

"Contoh klasiknya adalah di Skandinavia, di mana daratannya masih naik sebagai respons terhadap mencairnya lapisan es tebal yang menutupi wilayah tersebut selama Zaman Es terakhir. Proses ini berlanjut hingga kini, memengaruhi garis pantai dan bentang alam, ribuan tahun setelah es mencair," kata Dai.

Rekan penulis studi Adam Smith, seorang mahasiswa doktoral ilmu bumi di University College London, mengatakan pengukuran GPS mengungkap terus meningkatnya Everest dan pegunungan Himalaya lainnya.

Pengangkatan ini melampaui erosi permukaan secara terus-menerus yang disebabkan oleh faktor-faktor seperti angin, hujan, dan aliran sungai. Seiring berlanjutnya erosi ini, laju pengangkatan Everest dari pantulan isostatik dapat meningkat, kata Smith.

Puncak-puncak di sekitarnya, termasuk Lhotse, yang merupakan gunung tertinggi keempat di dunia, serta Makalu, gunung tertinggi kelima, juga mengalami peningkatan dari proses yang sama. Lhotse mengalami tingkat pengangkatan yang mirip dengan Everest. Sedangkan Makalu yang terletak lebih dekat ke Arun, memiliki tingkat pengangkatan yang sedikit lebih tinggi.

"Penelitian ini menggarisbawahi sifat dinamis planet kita. Bahkan fitur yang tampaknya tidak berubah seperti gunung Everest pun mengalami proses geologi yang berkelanjutan. Hal ini tentunya mengingatkan kita bahwa bumi terus berubah, sering kali dengan cara yang tidak terlihat dalam kehidupan kita sehari-hari," kata Dai.

Bagian luar bumi yang kaku terbagi menjadi lempeng-lempeng besar yang bergerak secara bertahap seiring waktu dalam suatu proses yang disebut lempeng tektonik, dengan pegunungan Himalaya menjulang setelah terjadinya tabrakan antara dua lempeng.

Everest, yang juga disebut Sagarmatha dalam bahasa Nepal dan Chomolungma dalam bahasa Tibet, terletak di perbatasan antara Nepal dan Daerah Otonomi Tibet China. Nama gunung tersebut merujuk pada George Everest, seorang surveyor Inggris di India pada abad ke-19.

"Gunung Everest menempati tempat yang unik dalam kesadaran manusia," kata Dai.

"Secara fisik, gunung ini merupakan titik tertinggi di Bumi, yang memberinya makna yang sangat penting hanya karena kemegahannya," imbuh Dai. "Secara budaya, Everest dianggap sakral bagi masyarakat Sherpa dan Tibet setempat. Secara global, gunung ini melambangkan tantangan terbesar, yang mewujudkan ketahanan manusia dan dorongan kita untuk melampaui batas yang dianggap ada." [rz/rs]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG