Ketika memaparkan hasil penelitian berjudul “Jerat Pidana Pemilu 2019: Dinamika dan Masalahnya,” di Jakarta, Senin (7/10), Direktur Eksekutif ILR Firmansyah Arifin mengungkapkan terdapat 348 kasus pidana pemilihan umum pada Pemilihan Umum 2019 yang telah berkekuatan hukum tetap.
"Kalau kita bandingkan dengan (pemilihan umum) 2014, ada semacam kenaikan yang cukup signifikan, hampir 60 persen. Tepatnya 58,3 persen dari data yang kita miliki. Kalau 2014 itu 203 kasus, sekarang 348. Naik secara signifikan," kata Firmansyah.
Firmansyah menambahkan pelanggaran pidana pada Pemilihan Umum 2019 itu terjadi di 34 provinsi. Paling banyak terdapat di Sulawesi Selatan (40 kasus), disusul Sulawesi tengah dan Sumatera Utara (sama-sama 24 kasus), Nusa Tenggara Barat (21 kasus), serta Gorontalo, Maluku, dan Maluku Utara (masing-masing 19 kasus).
Sebagian besar pelanggaran pidana pemilu itu terkait dengan pemilihan legislatif, hanya 13 kasus tindak pidana pemilu terkait pemilihan presiden.
Dari 348 kasus pidana pada Pemilihan Umum 2019, 168 perkara pidana pemilu terjadi di tahap kampanye. Kemudian 74 kasus berlangsung saat pemungutan dan penghitungan suara, 69 perkara di tahap rekapitulasi penghitungan suara, 22 pidana pemilu terjadi di masa tenang, dan 15 ketika proses pencalonan.
"Kita mencatat dari 348 kasus yang sudah divonis, 320 kasusnya atau 92 persen terbukti dan divonis bersalah. Sisanya 28 kasus atau delapan persen divonis bebas," ujar Firmansyah.
Dari 320 kasus yang divonis bersalah itu, menurut Firmansyah, 170 kasus divonis dengan pidana bersyarat atau percobaan, 131 kasus divonis dengan pidana penjara, dan 14 kasus divonis tanpa kehadiran terdakwa atau in-absentia.
Sebanyak 190 kasus pidana pemilu hanya divonis penjara 1-3 bulan dan yang mendapat vonis penjara lebih dari setahun hanya 19 kasus. Sedangkan vonis denda paling banyak adalah sebesar Rp 2,5-5 juta sebanyak 136 kasus dan denda lebih dari Rp 10 juta sebanyak 23 kasus.
Jenis pelanggaran pidana Pemilu 2019 terbanyak adalah politik uang sebanyak 72 kasus, disusul mengubah hasil perolehan suara (56 kasus), dan mencoblos lebih dari satu surat suara (45 kasus), dan kepala desa tidak netral (30 kasus).
Pelaku pidana pemilu terbanyak adalah calon anggota legislatif, yakni ada 86 orang. Disusul warga masyarakat (59 orang), tim sukses atau pendukung (33 orang), dan kepala desa (30 orang). Calon anggota legislatif paling banyak melakukan pidana pemilu berasal dari Partai Gerakan Indonesia Raya (19 orang), Partai Keadilan Sejahtera (12 orang), dan Partai Amanat nasional (11 orang).
Komisioner Komisi Yudisial Sukma Violetta menjelaskan di lembaganya terdapat unit pengawasan hakim yang menerima laporan dari masyarakat khususnya setelah perkara selesai ditangani di pengadilan. Tetapi Komisi Yudisial juga memiliki pengawasan hakim yang sifatnya pencegahan dengan cara memantau jalannya persidangan.
Komisi Yudisial, lanjutnya, juga memantau persidangan pidana pemilu untuk memastikan hakim yang memimpin sidang tidak melanggar kode etik.
"Kode etik itu misalnya hakim kelihatan berpihak, hakimnya kelihatan tidak profesional. Karena waktunya terlalu terbatas, kemudian semuanya serba cepat-cepat. Tujuan pemantauan itu mengawal persidangan agar jujur dan adil bagi semua pihak yang berpekara di pengadilan dan memberi jaminan penegakan hukum pemilu," tutur Sukma.
Sukma mengakui banyak vonis hakim dalam kasus pidana pemilu terlalu ringan atau hanya hukuman percobaan sehingga tidak memberi efek jera kepada pelaku.
Perludem : Semua Pihak Harus Fokus pada Penegakan Hukum Pemilu
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilihan Umum dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyoroti masih terpisahnya aturan antara pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah, sehingga masih terjadi inkonsistensi dalam pembuatan aturan. Dia menambahkan lembaga penyelenggara pemilihan umum harus independen, imparsial, profesional, dan modern.
Menurutnya, semua pihak harus mulai memberikan perhatian khusus terhadap penegakan hukum pemilu sejak sekarang. Alasannya, masalah administrasi, manajemen, dan keadilan pemilu kurang menjadi perhatian dari para pembuat undang-undang. Sehingga kerap terjadi inkonsistensi antar pasal.
Titi mencontohkan dalam Undang-undang Pemilihan Umum Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terdapat pasal 280 ayat 4 yang menyatakan dari sepuluh larangan kampanye hanya empat yang disebut sebagai tindak pidana. Tapi dalam pasal 521 menyebutkan kesepuluh larangan dalam kampanye adalah tindak pidana kalau dilanggar. [fw/em]