Sejumlah importir Amerika Serikat nampaknya memindahkan pesanan mereka ke Indonesia. Setidaknya, data ekspor Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta ke negara itu bisa menjadi bukti.
Dalam paparan kepada media Kamis (30/8). Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menyebut pihaknya terus berupaya mengatasi kelangkaan kontainer ekspor yang kini sedang terjadi. Upaya itu, antara lain dilakukan melalui kerja sama dengan berbagai pihak seperti Kamar Dagang Indonesia (Kadin), Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia, serta operator pelayaran jalur utama (Main Line Operator/MLO).
Kerja sama itu diperlukan untuk membantu pelaku usaha untuk memperoleh kontainer agar ekspor terus berlanjut. Langkah ini strategis, agar Indonesia dapat memanfaatkan pulihnya ekonomi global.
“Masalah kelangkaan peti kemas atau kontainer menjadi masalah yang serius di kala Indonesia kebanjiran order, karena terjadinya perang dagang Amerika Serikat dan Cina,” kata Lutfi.
Menurut Kemendag, tren positif akibat perang dagang dua negara itu, setidaknya dirasakan oleh industri elektronik, alas kaki, garmen, dan furnitur. Setidaknya, ekspor ke Amerika Serikat dan sejumlah negara lain ke depan akan berjalan lebih mudah, lewat komitmen yang sudah disepakati.
Lutfi menyebut, untuk furnitur telah ada komitmen penyediaan 800-1000 kontainer perbulan untuk pengiriman ke New York, Los Angeles, Savannah, Baltimore, dan Florida. Sedangkan industri makanan dan minuman, dipenuhi dengan penyediaan 3.500-3.800 kontainer perbulan untuk pengiriman ke berbagai belahan dunia. Komitmen ini datang dari operator pelayaran jalur utama atau MLO.
Data BPS Terbaru
Ekspor Indonesia ke Amerika Serikat memang tengah menggeliat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah, menempatkan Amerika Serikat, sebagai negara tujuan ekspor nomor satu. Hal itu terungkap dalam paparan data oleh Koordinator Fungsi Statistik Distribusi, BPS Jawa Tengah, Arjuliwondo, Jumat (1/10).
“Negara utama pangsa ekspor tentu saja masih Amerika Serikat. Ekspor kita selama bulan Januari sampai Agustus mencapai 2,5 miliar dolar AS. Itu merupakan 39,83 persen dari seluruh total ekspor selama periode tersebut,” kata Arjuliwondo.
Ekspor ke Amerika Serikat didominasi oleh pakaian dan asesorisnya, baik golongan rajutan maupun bukan yang mencapai 46 persen. Sementara di bawahnya adalah perabot, lampu dan alat penerangan yang mencatatkan sekitar 10 persen.
Dia menambahkan total ekspor non migas Januari-Agustus 2021 mencapai 6,27 miliar dolar. Tujuan ekspor non migas di bawah Amerika Serikat berturut-turut adalah Jepang, Cina, Uni Eropa dan ASEAN. Ekspor ke Jepang senilai 571,1 juta dolar AS, sedangkan ke Cina mencapai 432 juta dolar AS.
Khusus pada Agustus lalu, BPS Jawa Tengah mencatat nilai ekspor produk sebesar 967,6 juta dolar AS. Angka itu berarti ada kenaikan 18,5 persen dibanding Juli. Sementara dar segi jenis komoditas, ekspor barang non migas mencatatkan peningkatan 12,07 persen dan barang migas naik 167,8 persen.
"Artinya ada kenaikan yang cukup baik atau dengan kata lain ekonomi sudah bangkit,” tambah Arjuliwondo.
Sementara menurut Kepala BPS DI Yogyakarta, Sugeng Arianto, Amerika Serikat juga menjadi negara tujuan ekspor pada Agustus lalu.
“Berdasarkan daerah tujuan, ada tiga negara yang menjadi tujuan utama ekspor Yogyakarta, yaitu Amerika Serikat, Jerman dan Jepang. Dari tiga negara ini kalau kita jumlahkan hampir 60 persen,” kata Sugeng di Yogyakarta, Jumat (1/10).
Nilai total ekspor Yogyakarta ke Amerika Serikat pada Agustus 2021 adalah 18,5 juta dolar AS atau 42 persen, disusul Jerman 3,7 juta dolar AS atau 8,4 persen dan Jepang 3,5 juta dolar AS atau 7,9 persen. Sedangkan ekspor total Yogyakarta ke seluruh negara pada Agustus 2021 adalah 43,9 juta dolar AS.
Jika dihitung secara kumulatif, nilai ekspor Yogyakarta periode Januari–Agustus 2021 adalah 342,7 juta dolar AS. Angka ini naik 41,38 persen dibanding periode yang sama tahun 2020 yang juga menandakan perbaikan kondisi ekonomi.
Secara kawasan, ekspor ke Uni Eropa mencapai 12,9 juta dolar AS sedangkan kawasan ASEAN hanya mencatatkan angka 0,9 juta dolar AS.
“Yang paling banyak adalah pakaian jadi bukan rajutan, senilai 13,8 juta dolar AS atau 31 persen. Disusul perabot, penerangan rumah sebesar 5,9 juta dolar AS atau 13,4 persen. Diikuti barang rajutan sebesar 3,8 juta dolar AS atau 8,6 persen,” lanjut Sugeng.