Tim VOA bertemu di Yerusalem dengan para imigran baru dari Ethiopia, yang disebut “olim”. Mereka dievakuasi dari kota Sderot di Israel selatan.
Malam di kota Sderot, Israel selatan, sekitar 3 kilometer dari Gaza, biasa diwarnai dengan ledakan roket-roket yang ditembakkan Hamas ke kawasan itu. Kota berpenduduk sekitar 30.000 jiwa itu adalah rumah bagi banyak olim atau imigran baru dalam bahasa Ibrani.
Dalam beberapa minggu terakhir, perang antara Hamas dan Israel, memaksa mereka mengungsi bersama dengan penduduk lainnya. Tujuh puluh orang Yahudi-Ethiopia meninggalkan pusat penampungan lokal, di mana pemerintah Israel menyediakan tempat tinggal sementara bagi imigran baru, di sebuah hotel di Yerusalem.
Masafent Mukatu Baralu, dari kota Gondar di Ethiopia, mengenang serangan Hamas pada 7 Oktober. “Kami sudah terbiasa dengan ledakan roket dan tidak peduli. Kami tinggal masuk ke tempat perlindungan bom yang ada di dalam gedung. Namun kali ini, mereka adalah teroris yang turun ke jalan-jalan, di bawah rumah kami. Mereka bersenjata dan menyamar, dan sebagian dari mereka terluka. Karena mengira mereka adalah polisi atau tentara Israel, orang-orang mendatangi mereka dan dibunuh.”
Masersha Yerdaw mengatakan, ia berterima kasih atas bantuan yang diterima para imigran yang mengungsi di Yerusalem, namun berada jauh dari rumah untuk waktu yang lama dan ketidakpastian kapan mereka kembali ke kehidupan normal, merupakan hal yang sulit.
“Kami bangun pagi dan tidak melakukan apa-apa. Sulit. Bagi anak-anak, setidaknya ada jalan keluar. Mereka bangun pagi dan pergi ke sekolah,” ujarnya.
Direktur jenderal Kementerian Aliyah dan Integrasi, Avichai Kahana, akhir-akhir ini sibuk dengan pengaturan untuk memastikan para imigran yang dievakuasi terus menerima layanan penting, serta studi bahasa Ibrani dan bantuan psikologis.
“Olim [imigran] baru mungkin lebih bingung karena mereka mengalami kesulitan bahasa dan masalah-masalah lain. Mereka tidak punya waktu untuk memahami, misalnya, apa itu “alarm” — “azaka” dalam bahasa Ibrani — atau apa itu "pikud ha-oref" [komando depan] atau pasukan pertahanan yang membantu mereka.”
Kahana mengatakan, Israel juga menghadapi gelombang baru imigran dari Ukraina, Rusia, dan Belarus.
“Kita harus memahami bahwa hanya dalam setahun terakhir kami menampung lebih dari 100.000 imigran di Israel, olim baru yang datang dari Rusia, Ukraina yang mengungsi karena perang di sana. Terkadang mereka trauma dengan situasi yang mereka alami di Rusia atau Ukraina. Kini mereka mengalami situasi yang sama di Israel,” tambahnya.
Meskipun terjadi perang, kata para pejabat, imigran baru terus berdatangan ke Israel. Igal Palmor adalah Kepala Hubungan Internasional, organisasi Yahudi yang bertanggung jawab atas logistik bagi imigran yang baru datang.
“Lebih rumit untuk mendapat tiket pesawat. Namun kapan pun kami bisa, kami tetap menerbangkan mereka. Pekan lalu saja, misalnya, puluhan olim tiba dengan penerbangan langsung dari Prancis. Ini bukanlah situasi darurat pertama yang kami alami, meskipun ini keadaan darurat yang luar biasa. Kami belum pernah mengalami serangan seperti ini, pembantaian besar-besaran terhadap warga sipil. Kami mempunyai prosedur darurat, karena sudah bertahun-tahun ini Hamas menembakkan roket ke warga sipil Israel.”
Pemerintah Israel sedang mempersiapkan warganya menghadapi kemungkinan konflik berkelanjutan. Sementara itu, para staf mengatakan, banyak imigran menginginkan bantuan, tetapi juga menjadi sukarelawan untuk membantu pada masa perang ini. [ps/ka]
Forum