Tautan-tautan Akses

In Memoriam Djaduk Ferianto: Penyemai Musikus Muda Indonesia


Djaduk Ferianto. (Foto: Sutoto)
Djaduk Ferianto. (Foto: Sutoto)

Djaduk Ferianto adalah seniman serba bisa asal Yogyakarta yang mendunia. Dia konsisten dengan karya musik bernuansa etnik. Konsistensi itu pulalah yang dia bawa hingga akhir hayatnya.

Rendah hati, penuh totalitas, dan peduli pada anak muda, itulah penilaian berbagai pihak mengenai Djaduk Ferianto, seniman musik ternama asal Yogyakarta. Popularitasnya menembus batas, dari Presiden sampai tukang becak. Pada lingkar-lingkar komunitas itu, Djaduk hadir sebagai pribadi yang rendah hati. Seperti kata Sutoto, rekan Djaduk di organisasi Pemilik dan Penggemar Volkwagen (PPVW) Yogyakarta.

Djaduk Ferianto.foto dok pribadi.jpg
Djaduk Ferianto.foto dok pribadi.jpg

“Pak Djaduk sangat baik. Seseorang yang bisa menjadi sahabat, guru dan orang tua sekaligus,” ujarnya kepada VOA.

Hingga saat ini, Djaduk masih mengoleksi VW Kombi. Dia juga aktif di organisasi tersebut, dan membaur dalam berbagai kegiatan yang diadakan. Djaduk dan Sutoto menghabiskan banyak waktu bersama menempuh berbagai perjalanan dari Yogyakarta kota-kota di Indonesia terkait PPVW, lebih dari sepuluh tahun terakhir.

Dini Hari Akhir Perjalanan

Namun, perjalanan Djaduk berakhir pada Rabu 13 November 2019, sekitar pukul 02.30. Diduga, ia terkena serangan jantung di rumahnya, dan menghembuskan nafas terakhir di pangkuan istri tercinta, Bernadette Ratna Ika Sari.

Seniman Butet Kartaredjasa menulis ungkapan pendek: "Sumoggo Gusti", di laman media sosialnya, sekitar satu setengah jam setelah kepergian adiknya itu. Sebuah ungkapan menyerahkan kembali sang adik kepada Yang Maha Kuasa. Butet dan Djaduk adalah kakak beradik dari tujuh bersaudara anak seniman tari ternama Indonesia, Bagong Kussudiardja.

Butet berkisah, beberapa waktu belakangan ini Djaduk sengat sibuk dengan berbagai persiapan. Agenda paling dekat adalah festival musik jazz, Ngayogjazz. Festival ini terselenggara sejak 2007 dan menjadi salah satu agenda musik penting nasional. Djaduk sejak awal adalah penggagas sekaligus sumber kreativitas di festival ini.

“Dia memang dikenal pekerja keras, disiplin menyiapkan segala sesuatunya secara perfeksionis. Sehingga saya bisa memahami persiapan-persiapan yang dilakukan menyedot energi dan konsentrasi yang lebih,” kata Butet.

Hari Kamis pagi (14/11), di laman media sosialnya Butet memajang foto bersama Djaduk di Puncak Table Mountain, Afrika Selatan. Djaduk sebenarnya terjadwalkan tampil dalam Capetown Jazz Festival pada Maret 2020. Kepergian mereka ke Afrika Selatan September lalu, adalah bagian dari persiapan untuk tampil. Di atas puncak gunung itu, Butet berkisah, Djaduk sempat merekam komposisi yang akan ditampilkan tahun depan.

“Dia sudah menemukan melodi yang akan dimainkan untuk satu komposisi kolaborasi dengan para pemusik dari Afrika. Dia bersiul, dia rekam melodi itu. Mudah-mudahan, kawan-kawan Kua Etnika yang sudah biasa bekerja sama dengan Djaduk, bisa mewujudkan satu komposisi yang melodinya sudah ditemukan di Puncak Gunung yang sangat tinggi itu,” papar Butet.

Pada 6 dan 7 Desember 2019 nanti, sedianya Djaduk, Butet dan Teater Gandrik akan mengadakan pementasan bertajuk "Para Pensiunan 2049". Pada pertunjukan 22 Maret 2019 di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, dalam lakon yang sama, Butet sempat ambruk terkena serangan jantung.

Kini, menjelang pentas di Surabaya, Djaduk yang berperan sebagai sutradara justru mendahului pergi. Butet belum bisa memastikan, apakah "Para Pensiunan 2049" yang bertema kematian, akan jadi dipentaskan di Surabaya bulan depan.​

Seniman Serba Bisa

Djaduk Ferianto lahir pada 19 Juli 1964. Di tengah keluarga seni, bakat Djaduk mulai terlihat sejak 1972 ketika dia mulai bermain kendang dan mendirikan grup musik Rheze. Enam tahun setelah itu, kelompok yang dia dirikan menjadi Juara 1 musik humor nasional. Pada 1995, bersama Butet dia mendirikan Kelompok Seni "Kua Etnika". Dua tahun setelah itu lahir Orkes "Sinten Remen" yang mengolah musik keroncong menjadi lebih renyah dan bisa dinikmati banyak kalangan.

Selama karirnya, Djaduk bersama kawan-kawan pernah tampil di Jerman, Denmark, Swedia, Belanda, Turki, Perancis dan beberapa negara lain. Djaduk juga terlibat dalam berbagai produksi film. Masuk nominasi Piala Citra sebagai pemeran pembantu pria terbaik lewat Petualangan Sherina. Nominasi penghargaan Tata Musik Terbaik di Festival Film Asia Pasifik dalam karya "Daun di Atas Bantal". Memenangkan Piala Maya sebagai Penata Musik Terbaik lewat film "Soegijo". Djaduk juga menerima Grand Prize 2000 dari Unesco.

Djaduk belajar teknik bermusik di Jepang. Dia juga pernah mengenyam pelatihan seni di New York.

KPH Notonegoro, menantu Sri Sultan Hamengkubuwono X bercerita pernah bertemu dengan Djaduk. Bekerja di UNDP di New York, Notonegoro beberapa kali bertemu dengan Djaduk yang sedang mengikuti sebuah program seni di sana selama sekitar tiga bulan.

“Kita ngobrol-ngobrol, melihat perkembangan seni yang ada di New York. Terutama street art, seni jalanan. Kalau di New York memang bagus-bagus dan dikurasi. Mas Djaduk juga punya pemikiran, ingin mengarahkan bagaimana supaya di Jogja ini kita juga bisa menuju ke arah sana. Beliau memang banyak kreativitasnya, inovatif dan menginspirasi anak muda,” papar KPH Notonegoro.

Suami GKR Hayu ini mengapresiasi langkah Djaduk membawa seni tradisional ke dalam bentuk baru yang lebih dekat pada anak muda. Keraton, katanya, akan tetap menjadi penjaga seni dan tradisi klasik. Seniman seperti Djaduk membawa peran agar kreativitas mampu menyesuaikan semua itu dengan perkembangan zaman.

Penyemai Bakat Anak Muda

Sejak 2007, Djaduk menjadi salah satu motor penggerak utama Ngayogjazz. Dua tahun kemudian, dia juga berperan besar dalam lahirnya festival Jazz Gunung Bromo. Keduanya rutin terselenggara sampai saat ini. Dalam berbagai kesempatan, Djaduk menegaskan penyelenggaraan jazz di kampung-kampung adalah upaya mengubah kesan jenis musik itu sebagai mahal dan eksklusif. Di Ngayogjazz misalnya, pemain jazz berbagai negara dan nasional tampil di halaman rumah warga, tak jauh dari kandang sapi atau pabrik genteng mereka.

Tiga jam sebelum meninggal, Djaduk masih mengikuti rapat penyelenggaraan Ngayogjazz, yang akan digelar 16 November 2019. Aji Wartono, yang turut mengelola Ngayogjazz bersama Djaduk, mengatakan, acara akan tetap berlangsung sesuai jadwal. Mereka yakin, itulah yang diinginkan Djaduk. Semangat Djaduk, kata Aji, bahkan masih mereka rasakan.

"Di Ngayogjazz itu, beliau paling konsen mengenai persemaian anak muda dalam seni supaya ada regenerasi. kemudian bagaimana mendekatkan seni dan masyarakat. Bagaimana masyarakat bisa menjadi pendukung seni. Itu selalu beliau sampaikan kepada kita,” ujar Aji.

Jenazah Djaduk Ferianto diberangkatkan menuju pemakaman keluarga di Yogyakarta, Rabu 13 November 2019. (Foto: VOA/ Nurhadi)
Jenazah Djaduk Ferianto diberangkatkan menuju pemakaman keluarga di Yogyakarta, Rabu 13 November 2019. (Foto: VOA/ Nurhadi)

Djaduk bahkan telah menyiapkan sebuah karya seni yang akan menjadi kejutan bagi pengunjung Ngayogjazz 2019 di Yogyakarta. Karya ini akan menjadi persembahan sekaligus pengingat bagi kiprahnya selama ini, tidak hanya di dunia musik, tetapi seni secara umum. Namun, berbagai festival musik yang lahir berkat Djaduk dan akan terus terselenggara di tahun-tahun mendatang, sebenarnya adalah pengingat paling baik, bagi penyemai bakat anak muda itu. [ns/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG