JAKARTA —
Menteri Keuangan Chatib Basri, Kamis (31/10), mengatakan Indonesia sudah resmi mengambil alih sisa saham kepemilikan PT Indonesia Asahan Alumunium dari Jepang per 1 November 2013, sehingga bisa mengelola sepenuhnya perusahaan penghasil aluminium tersebut.
Pernyataan tersebut disampaikan Chatib setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui alokasi anggaran negara untuk mengambil alih Inalum, menyusul rapat tertutup selama enam jam yang berakhir Rabu malam.
Selama ini Inalum, yang berlokasi di Sumatera Utara, dikelola oleh pemerintah Indonesia dan konsorsium investor Jepang di Tokyo yang tergabung dalam NipponAsahan Aluminum (NAA).
Dari 100 persen saham Inalum, tadinya pemerintah Indonesia memiliki 41,12 persen, dan sisanya milik NAA.
Anggaran yang dibutuhkan untuk mengambi lalih Inalum sebesar Rp 7 triliun berasal dari anggaran belanja negara (APBN) 2012 sebesar Rp 2 triliun, dan sisanya dari APBN 2013.
“Pemerintah sudah mendapat persetujuan DPR untuk pengambilalihan Inalum sehingga nanti tim negosiasinya akan melakukan negosiasi dengan NAA. Hasil audit nanti kan bukan kementerian keuangan yang tunjuk mengenai itu,” ujar Chatib.
Dari total produksi Inalum selama ini, 70 persen diantaranya untuk mengisi kebutuhan pasar alumunium di Jepang dan sisanya untuk kebutuhan di Indonesia.
Menteri Negara untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Dahlan Iskan mengatakan, meski sudah tidak lagi bekerja sama dengan investor Jepang, Inalum tetap dapat berproduksi.
“Ada juga yang meragukan nanti Inalum tidak bisa memasarkan produknya. Semua itu tidak betul karena bahan baku yang dikatakan tinggal sebulan lagi itu sudah saya setujui untuk kontrak lagi sampai satu tahun ke depan,” ujarnya.
“Dengan demikian produknya pun kalau diragukan apakah bisa terjual, karena selama ini 70 persen sudah ada pembelinya di Jepang, maka jangan ragu lagi karena industri dalam negeri sangat memerlukan bahan baku dari Inalum.”
Dalam kesempatan berbeda, pemerintah daerah Sumatera Utara melakukan pembicaraan dengan DPR dan meminta DPR menyetujui 31 persen saham Inalum dimiliki Pemda Sumatera Utara. Menurut Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho, kepemilikan saham Inalum oleh pemerintah daerah akan meningkatkan perekonomian provinsi tersebut.
“Pada 31 Oktober ini master agreement antara pemerintah dengan Nippon Jepang selesai, tapi ini yang dimaksud pemerintah di sana termasuk pemerintah daerah 31 (persen saham),” ujarnya.
DPR berjanji akan berbicara dengan pemerintah pusat terkait permintaan kepemilikan saham Inalum oleh Pemda Sumatera Utara, seperti diungkapkan anggota Komisi VI DPR RI, komisi yang membidangi masalah industri, Refrizal.
“Aspirasi masyarakat dari Sumatera Utara ini termasuk dari DPRD-nya mewakili Sumatera Utara sebaiknya diakomodasi,” ujarnya.
Kebutuhan alumunium untuk industri di Indonesia rata-rata per tahun sekitar 700 ribu ton, sementara hasil produksi Inalum yang didistribusikan untuk kebutuhan lokal sekitar 100 ribu ton, sehingga Indonesia masih harus impor sekitar 600 ribu ton.
Kemampuan produksi Inalum rata-rata per tahun sebesar 240 ribu ton, namun 140 ribu ton diantaranya dipasok ke Jepang, sehingga Indonesia harus impor alumunium diantaranya dari Jepang.
Inalum didirikan pada 1975 dengan total investasi saat itu sebesar US$2 miliar.
Pernyataan tersebut disampaikan Chatib setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui alokasi anggaran negara untuk mengambil alih Inalum, menyusul rapat tertutup selama enam jam yang berakhir Rabu malam.
Selama ini Inalum, yang berlokasi di Sumatera Utara, dikelola oleh pemerintah Indonesia dan konsorsium investor Jepang di Tokyo yang tergabung dalam NipponAsahan Aluminum (NAA).
Dari 100 persen saham Inalum, tadinya pemerintah Indonesia memiliki 41,12 persen, dan sisanya milik NAA.
Anggaran yang dibutuhkan untuk mengambi lalih Inalum sebesar Rp 7 triliun berasal dari anggaran belanja negara (APBN) 2012 sebesar Rp 2 triliun, dan sisanya dari APBN 2013.
“Pemerintah sudah mendapat persetujuan DPR untuk pengambilalihan Inalum sehingga nanti tim negosiasinya akan melakukan negosiasi dengan NAA. Hasil audit nanti kan bukan kementerian keuangan yang tunjuk mengenai itu,” ujar Chatib.
Dari total produksi Inalum selama ini, 70 persen diantaranya untuk mengisi kebutuhan pasar alumunium di Jepang dan sisanya untuk kebutuhan di Indonesia.
Menteri Negara untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Dahlan Iskan mengatakan, meski sudah tidak lagi bekerja sama dengan investor Jepang, Inalum tetap dapat berproduksi.
“Ada juga yang meragukan nanti Inalum tidak bisa memasarkan produknya. Semua itu tidak betul karena bahan baku yang dikatakan tinggal sebulan lagi itu sudah saya setujui untuk kontrak lagi sampai satu tahun ke depan,” ujarnya.
“Dengan demikian produknya pun kalau diragukan apakah bisa terjual, karena selama ini 70 persen sudah ada pembelinya di Jepang, maka jangan ragu lagi karena industri dalam negeri sangat memerlukan bahan baku dari Inalum.”
Dalam kesempatan berbeda, pemerintah daerah Sumatera Utara melakukan pembicaraan dengan DPR dan meminta DPR menyetujui 31 persen saham Inalum dimiliki Pemda Sumatera Utara. Menurut Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho, kepemilikan saham Inalum oleh pemerintah daerah akan meningkatkan perekonomian provinsi tersebut.
“Pada 31 Oktober ini master agreement antara pemerintah dengan Nippon Jepang selesai, tapi ini yang dimaksud pemerintah di sana termasuk pemerintah daerah 31 (persen saham),” ujarnya.
DPR berjanji akan berbicara dengan pemerintah pusat terkait permintaan kepemilikan saham Inalum oleh Pemda Sumatera Utara, seperti diungkapkan anggota Komisi VI DPR RI, komisi yang membidangi masalah industri, Refrizal.
“Aspirasi masyarakat dari Sumatera Utara ini termasuk dari DPRD-nya mewakili Sumatera Utara sebaiknya diakomodasi,” ujarnya.
Kebutuhan alumunium untuk industri di Indonesia rata-rata per tahun sekitar 700 ribu ton, sementara hasil produksi Inalum yang didistribusikan untuk kebutuhan lokal sekitar 100 ribu ton, sehingga Indonesia masih harus impor sekitar 600 ribu ton.
Kemampuan produksi Inalum rata-rata per tahun sebesar 240 ribu ton, namun 140 ribu ton diantaranya dipasok ke Jepang, sehingga Indonesia harus impor alumunium diantaranya dari Jepang.
Inalum didirikan pada 1975 dengan total investasi saat itu sebesar US$2 miliar.