Setiap dua hari sekali, Cucun, warga Sariharjo, Sleman, Yogyakarta, berkeliling kampung untuk mengumpulkan sampah dari rumah warga. Bersama saudaranya, Cucun membuka jasa pembuangan sampah. Ada 150 rumah yang harus didatangi. Setiap rumah membayar antara Rp 30 ribu- Rp 40 ribu per bulan, tergantung volume sampah yang harus dibuang. Segala macam barang ada di bak belakang mobil tuanya, mulai dari sisa makanan rumah tangga, plastik, kertas bekas, potongan kayu, sisa bahan bangunan sampai daun dan ranting.
Kalau selesai ini, penuh baknya. Kalau tidak bisa diangkut sehari, ya nanti beda hari, terus saya buang ke penampungan sampah. Lumayanlah hasilnya. Itu nanti saya ambil barang yang bisa dijual lagi, bisa buat menambah pendapatan,” kata Cucun, yang melayani warga Sariharjo, di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sampah rumah tangga yang diambil Cucun adalah gambaran apa yang ada di rumah-rumah di Indonesia secara umum. Biasanya, warga memiliki satu tempat sampah di bagian dapur, di mana semua sisa makanan, plastik bekas, kemasan produk rumah tangga, dibuang menjadi satu. Di halaman depan, juga hanya ada satu tempat sampah besar. Di dalam tempat sampah besar itu, sampah dapur akan dijadikan satu dengan sampah dari bagian rumah yang lain.
Memilah sampah memang belum menjadi budaya. Ini tidak terlepas dari kebiasaan di masa lalu, di mana setiap rumah khususnya di pedesaan, memiliki satu lubang besar di sudut halaman mereka. Di lubang itulah sampah dibuang, kadang kemudian dibakar atau ditimbun.
Namun, kini model penanganan sampah semacam itu tak bisa lagi dilakukan. Pemerintah sampai ke tingkat paling rendah, telah memiliki kesadaran baru bahwa sampah harus dipilah dan kemudian diolah.
Di Kabupaten Bantul, DIY misalnya, Kepala Desa Srigading, Wahyu Widodo sejak dua tahun lalu telah memulai program kesadaran pemilahan sampah. Aneka kegiatan digelar untuk meningkatkan kesadaran. Tahun depan dia akan membuat Peraturan Desa (Perdes) khusus penanganan sampah. Ini adalah pendekatan hukum sebagai langkah yang lebih tegas.
“Kita tindak lanjuti dengan mendorong warga dari masing-masing dusun membuat bank sampah. Total ada 20 bank sampah. Kita sesering mungkin turun ke lapangan, memberi kesadaran bahwa sampah harus segera ditangani. Tahun depan akan ada Perdes sampah. Perdes itu tentu kaitannya dengan aturan terkait penanganan sampah, termasuk memuat sanksi ketika aturan itu dilanggar. Larangan membuang sampah sembarangan,” kata Wahyu.
Yogyakarta sendiri menghadapi masalah sampah yang makin besar. Sampah rumah tangga, seperti yang dikumpulkan Cucun di Sleman tadi, dikumpulkan dan kemudian dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Menurut pemerintah setempat, setiap tahun ada peningkatan volume sampah sebanyak 50 ton. TPA di Yogyakarta diperkirakan tidak akan lagi mampu menampung volume itu dalam beberapa tahun mendatang.
Karena itulah, sejumlah pihak menciptakan solusi dari dari rumah, tempat asal sampah itu.
Erwan Widyarto menjadi fasilitator pendirian Bank Sampah “Griya Sapu Lidi” RW 26 Gumuk Indah, di Sidoarum, Sleman. Sebagaimana bank, lembaga ini juga menerima setoran dari nasabahnya. Bedanya, yang disetor adalah sampah. Syaratnya, nasabah harus memilah sampah itu sebelum dikirimkan. Sampah yang dapat didaur ulang, digunakan kembali dalam kreasi aneka bentuk. Hasil penjualannya, adalah milik bersama para nasabah.
“Mau bagaimana lagi, kita ini produsen sampah. Jadi, harus ikut bertanggung jawab. Memang perlu kesadaran bersama, ini yang harus terus dikampanyekan. Bank Sampah ini hanya salah satu metode, masih banyak cara lain yang bisa dilakukan. Yang penting, pertama kali, tumbuhkan kesadaran untuk memilah sampah,” ujar Erwan.
Konsep dasar Bank Sampah, kata Erwan, adalah mengurangi, memilah, memanfaatkan, mendaur ulang, dan menabung sampah. Nilai ekonominya kecil, tetapi yang lebih penting adalah masyarakat paham bahwa sampah mereka akan menimbulkan masalah jika tidak diolah. Karena itulah, Erwan dan rekan pengelola bank sampah aktif melatih perkumpulan ibu-ibu hingga sekolah di Yogyakarta dalam program terkait pengelolaan sampah.
Dalam skala yang lebih luas, ada lembaga Yogyakarta Green and Clean (YGC) yang berkomitmen mengampanyekan pengolahan sampah secara lebih baik dan ramah lingkungan. Ini adalah lembaga swadaya masyarakat gabungan individu dan organisasi, dengan salah satu misi utama memperbaiki penanganan sampah. Dalam beberapa tahun terakhir, YGC aktif menyasar anak-anak melalui berbagai kegiatan terkait sampah.
“Bagaimana caranya, misalnya ada anak makan permen, ketika tidak ada tempat sampah, dia mau menaruh bungkus permen itu ke sakunya. Kita mau dari yang kecil-kecil itu, meskipun banyak juga kegiatan berskala besar kita lakukan,” ujar Zaenal Mutakin, salah satu ketua di YGC.
Mutakin meyakini, upaya ini tidak akan menuai hasil dalam waktu singkat. Karena itulah, mereka realistis dengan melakukan edukasi terus menerus terutama kepada anak-anak.
“Tidak ada kata terlambat, dari pada tidak ada upaya sama sekali dalam pengelolaan sampah. Karena masyarakat sudah terbiasa dininabobokkan, biasanya mereka berprinsip yang penting sampah itu tidak ada di depan dia. Pikirnya, sampah itu prinsipnya tidak ada di rumah dia, tidak di wilayah dia, lalu membuangnya. Jadi kelihatannya menyelesaikan masalah, tetapi sebenarnya menimbulkan masalah baru di tempat lain,” ujar Zaenal Mutakin.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat, Indonesia memproduksi 65 juta ton sampah pada 2016, naik 1 juta ton dari tahun sebelumnya.
Di Yogyakarta sendiri, banyak prakarsa sudah dilakukan untuk turut mengurangi angka itu. Diantaranya adalah pendirian bank sampah di setiap wilayah terkecil, penerapan teknologi maju, hingga penyusunan regulasi baru. Namun tampaknya, semua harus diawali dari masing-masing rumah. Alih-alih membuangnya, warga harus dididik untuk mulai memilah sampah, sejak dini, mulai hari ini.