JAKARTA —
Pemerintah Indonesia dan Polandia mengadakan dialog antar-agama di Hotel Borobudur Jakarta, Selasa (14/5), sebagai bagian upaya kerja sama dalam bidang budaya dan kerukunan umat beragama.
Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia, Abdurrahman Mohammad Fachir, dialog antar-agama antara Indonesia dan Polandia ini adalah kali kedua setelah yang pertama setahun lalu.
“Selain dialog, kita juga bekerja sama. Dengan Polandia kita sudah melakukan beberapa hal. Ini kan bukan hanya antar agama tetapi juga antar budaya. Untuk bidang antar budaya kita sudah memiliki program yang sudah dilaksanakan. Antara lain program darma siswa dan beasiswa seni dan budaya yang melibatkan sejumlah pemuda dari Polandia untuk belajar budaya Indonesia,” ujarnya.
“Untuk beasiswa seni dan budaya pemuda asal Polandia bersama pemuda berbagai negara tinggal di Indonesia selama tiga bulan. Dalam waktu dekat ini kita akan mengundang sejumlah pemuda Polandia di bulan puasa nanti untuk kita tempatkan di pesantren-pesantren. Kita berharap nantinya mereka menjadi Indonesianis.”
Dialog antar-agama Indonesia-Polandia ini dihadiri Duta Besar Polandia di Indonesia G. Wisnieski, serta pembicara yang mewakili Indonesia dan Polandia, diantaranya Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Agama Machasin, dan sejumlah tokoh dan ahli, di antaranya pengamat hubungan antar agama Marthin Lukito Sinaga, peneliti asal Polandia Arthur Konopacki dan Rohaniawan Katolik Polandia Stanilaw Grodz.
Polandia, menurut Abdurahman, adalah salah satu dari 22 negara mitra Indonesia untuk program dialog antar-agama. Pada 2014 nanti, tambah Abdurahman, Indonesia akan menjadi tuan rumah forum global Perserikatan Bangsa-bangsa soal Aliansi Peradaban, yang merupakan bentuk komitmen Indonesia dalam masalah peradaban dan toleransi beragama.
Sekretaris Jenderal Kementerian Agama, Bahrul Hayat mengatakan, pemerintah Polandia memberikan apresiasi atas upaya Indonesia dalam mewujudkan kerukunan antar umat beragama dan bisa menjadi contoh negara lain.
“Secara singkat mereka mengatakan bahwa Indonesia adalah laboratorium bagi semua negara khususnya bagi Polandia. Laboratorium yang dimaksud adalah negara dengan mayoritas muslim dengan sistim demokrasi. Harmoni kehidupan antar umat secara umum menjadi contoh yang baik, walaupun 88 persen berpenduduk muslim tetapi Indonesia bukan begara Islam. Menjadi laboratorium bukan hanya dari aspek agama tetapi juga dari aspek demokrasi. Bagaimana penghargaan terhadap perempuan. Ini tidak mudah buat negara lain,” ujarnya.
Rohaniwan Katolik dari Polandia, Stanilaw Grodz menjelaskan, forum dialog antar-agama penting dilakukan untuk dapat saling berbagi pengalaman dalam mewujudkan kerukunan antar umat beragama. Inti utamanya, menurut Grodz, adalah perlindungan terhadap kelompok minoritas.
“Kita dapat saling menginspirasi satu sama lain. Kita juga bisa saling berbagi pengalaman bagaimana kita membuka atau memberikan ruang buat kelompok minoritas. Jika kelompok mayoritas bisa memberikan perlindungan buat minoritas, maka situasi yang tercipta adalah kerukunan bersama,” ujarnya.
Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Romo Benny Susetyo mengatakan Indonesia seakan tidak memberikan perlindungan hukum untuk kelompok minoritas, dengan meningkatnya kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama.
“Kalau kita bicara soal kultur di Indonesia ya memang rukun. Persoalan kita itu bukan pada masyarakat, tetapi pada penegakan hukum. Kalau dalam penegakan hukum ada masalah karena ada pembiaran kekerasan dan absennya negara. Itu harus kita akui,” ujarnya.
Romo Benny menambahkan, dari data Setara Institute dan Wahid Institute, ada lebih dari 300 kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama selama 15 tahun reformasi.
Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia, Abdurrahman Mohammad Fachir, dialog antar-agama antara Indonesia dan Polandia ini adalah kali kedua setelah yang pertama setahun lalu.
“Selain dialog, kita juga bekerja sama. Dengan Polandia kita sudah melakukan beberapa hal. Ini kan bukan hanya antar agama tetapi juga antar budaya. Untuk bidang antar budaya kita sudah memiliki program yang sudah dilaksanakan. Antara lain program darma siswa dan beasiswa seni dan budaya yang melibatkan sejumlah pemuda dari Polandia untuk belajar budaya Indonesia,” ujarnya.
“Untuk beasiswa seni dan budaya pemuda asal Polandia bersama pemuda berbagai negara tinggal di Indonesia selama tiga bulan. Dalam waktu dekat ini kita akan mengundang sejumlah pemuda Polandia di bulan puasa nanti untuk kita tempatkan di pesantren-pesantren. Kita berharap nantinya mereka menjadi Indonesianis.”
Dialog antar-agama Indonesia-Polandia ini dihadiri Duta Besar Polandia di Indonesia G. Wisnieski, serta pembicara yang mewakili Indonesia dan Polandia, diantaranya Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Agama Machasin, dan sejumlah tokoh dan ahli, di antaranya pengamat hubungan antar agama Marthin Lukito Sinaga, peneliti asal Polandia Arthur Konopacki dan Rohaniawan Katolik Polandia Stanilaw Grodz.
Polandia, menurut Abdurahman, adalah salah satu dari 22 negara mitra Indonesia untuk program dialog antar-agama. Pada 2014 nanti, tambah Abdurahman, Indonesia akan menjadi tuan rumah forum global Perserikatan Bangsa-bangsa soal Aliansi Peradaban, yang merupakan bentuk komitmen Indonesia dalam masalah peradaban dan toleransi beragama.
Sekretaris Jenderal Kementerian Agama, Bahrul Hayat mengatakan, pemerintah Polandia memberikan apresiasi atas upaya Indonesia dalam mewujudkan kerukunan antar umat beragama dan bisa menjadi contoh negara lain.
“Secara singkat mereka mengatakan bahwa Indonesia adalah laboratorium bagi semua negara khususnya bagi Polandia. Laboratorium yang dimaksud adalah negara dengan mayoritas muslim dengan sistim demokrasi. Harmoni kehidupan antar umat secara umum menjadi contoh yang baik, walaupun 88 persen berpenduduk muslim tetapi Indonesia bukan begara Islam. Menjadi laboratorium bukan hanya dari aspek agama tetapi juga dari aspek demokrasi. Bagaimana penghargaan terhadap perempuan. Ini tidak mudah buat negara lain,” ujarnya.
Rohaniwan Katolik dari Polandia, Stanilaw Grodz menjelaskan, forum dialog antar-agama penting dilakukan untuk dapat saling berbagi pengalaman dalam mewujudkan kerukunan antar umat beragama. Inti utamanya, menurut Grodz, adalah perlindungan terhadap kelompok minoritas.
“Kita dapat saling menginspirasi satu sama lain. Kita juga bisa saling berbagi pengalaman bagaimana kita membuka atau memberikan ruang buat kelompok minoritas. Jika kelompok mayoritas bisa memberikan perlindungan buat minoritas, maka situasi yang tercipta adalah kerukunan bersama,” ujarnya.
Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Romo Benny Susetyo mengatakan Indonesia seakan tidak memberikan perlindungan hukum untuk kelompok minoritas, dengan meningkatnya kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama.
“Kalau kita bicara soal kultur di Indonesia ya memang rukun. Persoalan kita itu bukan pada masyarakat, tetapi pada penegakan hukum. Kalau dalam penegakan hukum ada masalah karena ada pembiaran kekerasan dan absennya negara. Itu harus kita akui,” ujarnya.
Romo Benny menambahkan, dari data Setara Institute dan Wahid Institute, ada lebih dari 300 kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama selama 15 tahun reformasi.