Menyambut satu dekade peringatan hari anti hukuman mati sedunia pada 10 Oktober, Koalisi Masyarakat Sipil Menolak Hukuman Mati mendesak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera menghapuskan hukuman mati dari sistem pidana di Indonesia.
Koalisi Masyarakat Sipil Menolak Hukuman Mati tersebut merupakan gabungan sejumlah lembaga swadaya masyarakat seperti KontraS, LBH Masyarakat, Imparsial dan Lembaga Independensi Peradilan.
Direktur Operasional The Indonesian Human Rights Monitor Bhatara Ibnu Reza dalam
keterangan pers di kantor KontraS, Jakarta, Selasa (9/10) mengatakan, Indonesia sebagai salah satu negara yang masih menerapkan kebijakan hukuman mati harus membuat terobosan positif dan tidak terjebak pada jargon politik praktis pejabat negara maupun politisi yang masih kerap menggunakan pendekatan hukuman mati untuk meraih simpati publik.
Bhatara menilai hukuman mati tidak serta merta efektif mencegah ataupun mengurangi angka kriminalitas di tengah masyarakat. Menurutnya, pencabutan hak atas hidup melalui legalisasi hukuman mati tidak akan pernah menjadi solusi penegakan hukum.
“Sudah saatnya Indonesia berfikir cerdas dan beradab, bisa membangun sebuah hukum yang dapat menjamin hak asasi manusia. Kami melihat ada pola di mana menjelang
pemilihan umum, maka hukuman mati akan meningkat,” ujarnya.
“Anda lihat menjelang pemilu 2009, 10 orang dieksekusi mati pada 2008. Ini bukan untuk kepentingan hukum tapi ini untuk sarana politik. Orang-orang ini ditumbalkan di atas altar yang berdarah milik negara untuk menunjukkan mereka tegas.”
Saat ini di Indonesia ada sekitar 100 orang yang masih menunggu proses eksekusi hukuman mati hasil di berbagai tingkat putusan pengadilan. Delapan puluh persen di antara narapidana hukuman mati tersebut adalah warga asing yang terlibat kasus narkotika. Selain itu, dua terdakwa terorisme Aceh juga diancam vonis hukuman mati.
Peneliti dari Lembaga Independensi Peradilan Yura Pratama menyatakan pihaknya setuju adanya hukuman berat terhadap mereka yang terlibat kasus yang dikategorikan kejahatan luar biasa seperti terorisme, narkotika dan korupsi.
Tetapi hukuman berat tersebut, kata Yura, bukanlah hukuman mati karena hak atas hidup seseorang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Untuk itu ia meminta agar seluruh badan peradilan dan para hakim di Indonesia untuk menghentikan penjatuhan hukuman mati dan memasukkan pertimbangan hak asasi manusia dengan standar internasional di dalam perkara-perkara pidana yang diperiksa.
“Kami juga mendorong Mahkamah Agung untuk bersepakat untuk secara kelembagaan untuk tidak lagi menjatuhkan hukuman mati,” ujar Yura.
Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana mengatakan diperlukan hukuman yang sangat berat bagi para koruptor dan kejahatan lainnya yang dikategorikan luar biasa.
Menurutnya, terus meningkatnya tindak pidana korupsi di Indonesiabaik yang dilakukan oleh aparat, elit politik maupun pejabat negara dikarenakan hukuman yang diberikan kepada koruptor sangat ringan.
“Ini (korupsi) yang menurut Undang-undang luar biasa tetapi sanksi pidananya kok sedemikian rendah. Hukuman mati sampai sekarang berdasarkan hukum positif kita konstitusional,” ujarnya.
Catatan yang dikeluarkan Hands Off Cain Info menyatakan bahwa sekitar 155 negara telah menghapus kebijakan hukuman mati dalam sistem hukum maupun praktiknya.
Perserikatan Bangsa-Bangsa sendiri pernah mengeluarkan resolusi tentang moratorium global atas penerapan hukuman mati dengan tujuan akhirnya adalah penghapusan hukuman mati secara menyeluruh.
Koalisi Masyarakat Sipil Menolak Hukuman Mati tersebut merupakan gabungan sejumlah lembaga swadaya masyarakat seperti KontraS, LBH Masyarakat, Imparsial dan Lembaga Independensi Peradilan.
Direktur Operasional The Indonesian Human Rights Monitor Bhatara Ibnu Reza dalam
keterangan pers di kantor KontraS, Jakarta, Selasa (9/10) mengatakan, Indonesia sebagai salah satu negara yang masih menerapkan kebijakan hukuman mati harus membuat terobosan positif dan tidak terjebak pada jargon politik praktis pejabat negara maupun politisi yang masih kerap menggunakan pendekatan hukuman mati untuk meraih simpati publik.
Bhatara menilai hukuman mati tidak serta merta efektif mencegah ataupun mengurangi angka kriminalitas di tengah masyarakat. Menurutnya, pencabutan hak atas hidup melalui legalisasi hukuman mati tidak akan pernah menjadi solusi penegakan hukum.
“Sudah saatnya Indonesia berfikir cerdas dan beradab, bisa membangun sebuah hukum yang dapat menjamin hak asasi manusia. Kami melihat ada pola di mana menjelang
pemilihan umum, maka hukuman mati akan meningkat,” ujarnya.
“Anda lihat menjelang pemilu 2009, 10 orang dieksekusi mati pada 2008. Ini bukan untuk kepentingan hukum tapi ini untuk sarana politik. Orang-orang ini ditumbalkan di atas altar yang berdarah milik negara untuk menunjukkan mereka tegas.”
Saat ini di Indonesia ada sekitar 100 orang yang masih menunggu proses eksekusi hukuman mati hasil di berbagai tingkat putusan pengadilan. Delapan puluh persen di antara narapidana hukuman mati tersebut adalah warga asing yang terlibat kasus narkotika. Selain itu, dua terdakwa terorisme Aceh juga diancam vonis hukuman mati.
Peneliti dari Lembaga Independensi Peradilan Yura Pratama menyatakan pihaknya setuju adanya hukuman berat terhadap mereka yang terlibat kasus yang dikategorikan kejahatan luar biasa seperti terorisme, narkotika dan korupsi.
Tetapi hukuman berat tersebut, kata Yura, bukanlah hukuman mati karena hak atas hidup seseorang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Untuk itu ia meminta agar seluruh badan peradilan dan para hakim di Indonesia untuk menghentikan penjatuhan hukuman mati dan memasukkan pertimbangan hak asasi manusia dengan standar internasional di dalam perkara-perkara pidana yang diperiksa.
“Kami juga mendorong Mahkamah Agung untuk bersepakat untuk secara kelembagaan untuk tidak lagi menjatuhkan hukuman mati,” ujar Yura.
Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana mengatakan diperlukan hukuman yang sangat berat bagi para koruptor dan kejahatan lainnya yang dikategorikan luar biasa.
Menurutnya, terus meningkatnya tindak pidana korupsi di Indonesiabaik yang dilakukan oleh aparat, elit politik maupun pejabat negara dikarenakan hukuman yang diberikan kepada koruptor sangat ringan.
“Ini (korupsi) yang menurut Undang-undang luar biasa tetapi sanksi pidananya kok sedemikian rendah. Hukuman mati sampai sekarang berdasarkan hukum positif kita konstitusional,” ujarnya.
Catatan yang dikeluarkan Hands Off Cain Info menyatakan bahwa sekitar 155 negara telah menghapus kebijakan hukuman mati dalam sistem hukum maupun praktiknya.
Perserikatan Bangsa-Bangsa sendiri pernah mengeluarkan resolusi tentang moratorium global atas penerapan hukuman mati dengan tujuan akhirnya adalah penghapusan hukuman mati secara menyeluruh.