Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengutuk keras peristiwa pemerkosaan terhadap YY, siswi Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Desa Padang Ulang Tanding, Kecamatan Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu oleh 14 remaja pada pertengah April 2016 lalu.
Pelaku pemerkosaan dan pembunuhan yang berumur antara 16 – 23 tahun itu melakukan hal tersebut setelah melakukan pesta minuman keras (jenis tuak).
Cahaya Perempuan Women Crisis Center mengatakan sepanjang tahun 2016, ada 36 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di daerah Rejang Lebong, Bengkulu. Sebelumnya, pada tahun 2015, peristiwa kekerasan mencapai 84 kasus.
Wakil Ketua Komnas Perempuan Yuni Chuzaifah kepada VOA, Senin (2/5) mengatakan peristiwa pemerkosaan ini merupakan suatu peringatan serius buat pemerintah bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan anak semakin rentan.
Peristiwa tersebut kata Yuni merupakan peringatan yang sangat kuat buat pemerintah untuk segera memiliki Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual karena undang-undang yang ada sekarang tidak bisa merespon isu-isu kekerasan seksual secara komprehensif.
Menurut Yuni berdasarkan hasil pemantauan lembaganya, UU yang ada baru bisa melindungi 3-5 jenis kekerasan seksual, sementara banyak bentuk kekerasan seksual lain yang belum diatur dan dilindungi aturan tersebut.
Belum lagi hukuman bagi pelaku yang masih sangat rendah dan tidak memberikan efek jera bagi pelakunya. Padahal, tambah Yuni, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual harus memuat diantaranya pencegahan penanganan, pemulihan korban termasuk penghukumannya atau penjeraannya.
"Isu kekerasan seksual semakin banyak, polanya beragam tetapi undang-undangnya stastik. Padahal kekerasan seksual sudah urgent, harus ada mekanisme khusus tentang kekerasan seksual," tambahnya.
Lebih lanjut Yuni menjelaskan penyelesaian secara hukum saja tidak cukup untuk menyelesaian masalah kekerasan seksual terhadap perempuan.
Menurutnya masyarakat termasuk anak-anak juga harus diberikan pendidikan seksual agar mereka mengerti. Yuni juga mengusulkan agar adanya evaluasi sistem pendidikan yang ada.
"Di dalam kurikulumnya soal hak perempuan bahwa sejak dini harus dijelaskan ke anak didik bahwa perempuan baik itu teman, adik, kakak, ibu maupun yang di luar sana adalah yang punya martabat yang sama yang harus dilindungi. Juga harus dijelaskan soal kekerasan seksual tidak boleh dilakukan. Ada informasi kurikulum soal seksualitas yang informatif," ujarnya lagi.
Dalam perkembangan lainnya, Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait mengatakan peristiwa pemerkosaan yang terjadi Bengkulu itu menunjukan bahwa sebagaian anak-anak remaja telah kehilangan orientasi dan energi positif yang diakibatkan dari tontonan porno yang dilihatnya.
Sekarang ini, lanjut Arist, anak sangat mudah sekali mengakses tontotan yang bersifat porno maupun kekerasan. Dalam kasus ini Arist juga menilai orangtua telah lalai untuk melihat perkembangan anak-anaknya.
Untuk itu, Arist berharap pemerintah dapat melakukan upaya-upaya pencegahan dan deteksi dini. Masyarakat juga harus betul-betul membuat suatu gerakan perlindungan anak di masing-masing tempatnya dengan membentuk semacam aksi reaksi cepat jika terjadi kekerasan terhadap anak termasuk kekerasan seksual.
Arist mengatakan, "Saya kira ini merupakan perubahan perilaku sosial anak remaja kita yang patut diantisipasi terhadap peristiwa ini, bukan sekedar hanya anak ini dihukum atau tidak dihukum, ini akan terjadi kejadian-kejadian di seluruh tanah air baik sebarannya di desa maupun di kota."
Kecaman terhadap peristiwa pemerkosaan terhadap bocah 14 tahun itu juga ramai di media sosial. Aksi #NyalaUntukYuyun mendapatkan perhatian banyak pihak dan viral di jejaring sosial. Selain berbagai tweet dukungan dengan tagar #NyalaUntukYuyun, dukungan netizen terhadap YY pun muncul di media sosial dalam bentuk video yang menyampaikan pesan solidaritas, "Kami bersama Yuyun". [fw/em]