Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan Indonesia merasa khawatir adanya tren diskriminasi vaksin yang terjadi di sejumlah negara. Diskriminasi itu, menurut Retno, adalah kewajiban bagi pelaku perjalanan lintas negara untuk mendapatkan vaksin tambahan dari merek lain, meski sebelumnya telah mendapatkan dua dosis dari merek yang mendapatkan izin penggunaan darurat dari Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO).
"Tetapi masih tetap dilarang untuk masuk ke negara tersebut atau mereka boleh masuk setelah mendapatkan suntikan tambahan dari vaksin yang diakui oleh otoritas mereka," ujar Retno dalam jumpa pers yang dilakukan secara virtual dari New York, Amerika Serikat, Rabu (29/9).
Untuk itu Retno mendesak WHO, GAVI dan Fasilitas Covax bersama-sama berupaya untuk mencegah diskriminasi tersebut terus terjadi.
Pada kesempatan yang sama, Retno juga mengungkapkan perkiraan peningkatan kebutuhan vaksin yang signifikan. Diperkirakan dunia akan memerlukan sekitar 11 miliar dosis vaksin COVID-19 untuk memenuhi target vaksinasi 70 persen penduduk global pada pertengahan 2022.
Pemenuhan kebutuhan vaksin itu, menurut Retno, hanya dapat dilakukan melalui peningkatan kapasitas produksi atau pasokan vaksin COVID-19 atau berbagi dosis antarnegara.
"Untuk berbagi dosis, saya sekali lagi menekankan negara-negara dengan kelebihan pasokan dosis harus berbagi dosisnya dengan lebih transparan. (Misalnya dengan) menyampaikan waktu pengiriman dan menghindari berbagai dosis vaksin yang sudah akan habis masa berlakunya," katanya.
Retno juga mengingatkan sudah saatnya negara berkembang dimasukkan dalam rantai pasokan vaksin global. Indonesia, misalnya, siap menjadi pusat produksi vaksin COVID-19 berplatform mRNA untuk kawasan Asia Pasifik. Sementara Afrika Selatan juga telah membangun pusat manufaktur vaksin COVID-19 berbasis mRNA. Menurut Retno, langkah Afrika Selatan ini harus direplikasi di wilayah lain untuk mempercepat produksi vaksin.
Kekebalan Komunitas
Pada kesempatan terpisah, Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Profesor Amin Subandrio menjelaskan untuk mengatasi pandemi COVID-19 global dibutuhkan kekebalan komunitas (herd immunity) seluas-luasnya. Tidak hanya di satu negara tertentu, tapi seluruh dunia.
Untuk mencapai kekebalan komunitas 70 persen dari jumlah penduduk seluruh dunia maka dibutuhkan dosis vaksin COVID-19 dalam jumlah sangat banyak.
Namun Amin menambahkan tidak semua negara mampu memproduksi atau membeli vaksin COVID-19. Karena itu negara-negara yang berkelebihan bisa membantu negara-negara tidak memiliki akses terhadap vaksin COVID-19.
"Pengendalian pandemi ini di seluruh dunia, nggak bisa hanya dikendalikan satu negara saja. Pandemi baru bisa dianggap selesai kalau seluruh negara atau sebagian besar negara itu sudah bisa menekan jumlah kasusnya," tutur Amin.
Ia menegaskan semakin cepat kekebalan komunitas dicapai di banyak negara maka dunia bisa memperlambat atau menghentikan kecepatan virus COVID-19 untuk bermutasi.
Terkait penjajakan pemerintah untuk menjadi pusat produksi vaksin COVID-19 berplatform mRNA di kawasan Asia Pasifik, Amin mengatakan dari segi riset dan pengembangan Indonesia sudah siap. Namun, menurutnya, pemerintah perlu meningkatkan kapasitas produksinya. [fw/ah]