Perusahaan konsumen global seperti Nestle dan Procter & Gamble menginvestasikan ratusan juta dolar di Indonesia, akibat meningkatnya tingkat kemakmuran dan jumlah penduduk muda yang meningkat. Indonesia saat ini memiliki 22 juta penduduk berusia di bawah empat tahun.
Di atas kertas, negara ini terlihat sangat menjanjikan. Jumlah kelas menengah diperkirakan menggelembung menjadi 150 juta pada 2014. Pertumbuhan ekonomi lebih kuat dari yang diharapkan yaitu mencapai 6,4 persen kuartal yang lalu, tidak terpengaruh krisis global karena konsumsi domestik dan investasi.
Produk konsumen dengan tingkat pertumbuhan penjualan yang paling tinggi adalah popok sekali buang. Namun permintaan akan susu, yang seharusnya juga tinggi mengingat Indonesia memilik tingkat kelahiran kedua tertinggi di Asia, masih di bawah rata-rata regional.
Intoleransi terhadap laktosa yang terkandung dalam susu merupakan hal yang umum.
Para ibu di beberapa bagian di Indonesia secara tradisional memberi bayi-bayi mereka pisang atau daging tumbuk, bukannya susu, karena mahalnya ongkos transportasi untuk mendistribusikan susu akibat buruknya infrastruktur jalan raya dan pelabuhan.
Namun produsen barang konsumen yakin bahwa hanya perlu waktu dan sedikit pemasaran agar orangtua-orangtua kelas menengah di Indonesia merangkul konsumsi gaya barat.
“Indonesia tidak memiliki budaya minum susu karena banyak yang tidak tahan laktosa,” ujar Boenjamin Setiawan, pendiri perusahaan farmasi PT Kalbe Farma, yang menjual susu. “Namun semuanya telah berubah karena kelas menengah.”
Pemasaran Susu
Anak-anak yang diberi susu pada usia dini cenderung memiliki toleransi terhadap laktosa.
Penjualan susu bubuk dan susu segar naik rata-rata 9 persen dalam lima tahun terakhir, atau kedua tercepat di Asia setelah Tiongkok, menjadikan pasar di Indonesia bernilai $3,7 miliar. Namun konsumsi susu per kapita tetap saja hanya 2,7 kilogram per tahun, dibandingkan dengan 17 kilogram untuk rata-rata regional, menurut Lembaga Riset Kebijakan Pangan dan Pertanian AS.
Nestle menanamkan $200 juta pada 2011 untuk memulai produksi susu bubuk dan minuman Milo pada 2014, sementara perusahaan produk susu raksasa dari New Zealand, Fonterra, mendirikan pabrik baru untuk pengepakan produk susu tahun ini.
“Permintaan produk susu di Indonesia diperkirakan naik sekitar 50 persen dalam waktu delapan tahun ke depan. Ini pasar utama untuk kita,” ujar Maspiyono Handoyo, direktur pelaksana Fonterra di Indonesia.
Perusahaan makanan lokal Indofood Sukses Makmur, produsen mie terbesar di dunia, sedang membangun pabrik susu senilai $130 juta di Pulau Jawa. Perusahaan ini memiliki 14 persen dari pasar susu di Indonesia dan berharap ada mitra global untuk mengejar Nestle sebagai pemimpin pasar, ujar direktur utama Indofood Anthony Salim.
“Kami sedang mencoba mencari strategi untuk memperluas pasar,” ujar Anthony.
Investasi diikuti dengan pemasaran. PT Kalbe menghabiskan 12 sampai 13 persen dari penghasilannya yang tumbuh pesat untuk iklan, ujar Vidjongtius, direktur keuangan perusahaan.
Perusahaan-perusahaan ini mencoba mengaitkan manfaat kesehatan susu dengan kemajuan fisik dan mental pada anak seperti yang diinginkan kelas menengah.
Sebuah iklan dari Nestle menunjukkan bagaimana seorang balita yang minum susu bubuk merek Dancow tumbuh lebih cepat dan lebih aktif dibandingkan anak-anak lainnya.
Direktur Nestle Indonesia Debora Tjandrakusuma mengatakan bahwa perusahaan tersebut melihat media sosial menjadi semakin penting sebagai medium iklan di negara yang termasuk memiliki jumlah pengguna Facebook dan Twitter terbesar di dunia.
Kompetitor Nestle, Danone, mengiklankan susu bubuk Nutrilon miliknya dalam Bahasa Inggris karena ingin mengasosiasikan produknya dengan kemajuan pendidikan yang diharapkan bisa menarik para orangtua.
“Sebagian besar orang tahu bahwa susu itu baik untuk kesehatan dan anak-anak mereka. Mereka membeli konsep tersebut. Pertanyaannya adalah merek mana yang akan mereka pilih,” ujar Elwin Mok, direktur pelaksana kreatif Celsius, perusahaan iklan di Jakarta dengan klien antara lain Danone dan Unilever.
Permintaan Popok
Pasar untuk popok sekali buang hanya bernilai $400 juta pada 2011, meski tumbuh dengan rata-rata 35 persen sejak 2006, menurut data Kementerian Perindustrian. Semakin banyak orangtua bekerja yang menyukai popok jenis tersebut dibanding popok tradisional, dan mereka sekarang mampu membeli produk yang tadinya dianggap barang mewah tersebut.
P&G menginvestasikan lebih dari $100 juta untuk membangun pabrik produk perawatan bayi dan diharapkan memproduksi popok merek Pampers secara lokal pada 2014.
“Kami berkomitmen membawa inovasi merek yang sukses untuk memenuhi kebutuhan semua segmen ekonomi di Indonesia, dari yang bercita-cita makmur sampai sangat makmur,” ujar P&G dalam pernyataan lewat surat elektronik.
Perusahaan tersebut menyatakan bahwa mereka mencatat pertumbuhan “angka dobel” di Indonesia, namun tidak bersedia memberikan angka yang spesifik.
Unicharm, produsen popok sekali buang terbesar di Indonesia, memiliki dua pabrik dan pabrik ketiga di Jawa Timur diharapkan mulai beroperasi tahun depan.
“Kami menyadari bahwa penggunaan popok sekali buang tidak akan terus naik seperti sekarang ini,” ujar Ichiro Oba, seorang juru bicara Unicharm. Ia menambahkan bahwa tingkat pertumbuhan persentase tahunan yang berkelanjutan kelihatannya ada pada produk pembalut untuk remaja. (Reuters/Janeman Latul dan Neil Chatterjee)
Di atas kertas, negara ini terlihat sangat menjanjikan. Jumlah kelas menengah diperkirakan menggelembung menjadi 150 juta pada 2014. Pertumbuhan ekonomi lebih kuat dari yang diharapkan yaitu mencapai 6,4 persen kuartal yang lalu, tidak terpengaruh krisis global karena konsumsi domestik dan investasi.
Produk konsumen dengan tingkat pertumbuhan penjualan yang paling tinggi adalah popok sekali buang. Namun permintaan akan susu, yang seharusnya juga tinggi mengingat Indonesia memilik tingkat kelahiran kedua tertinggi di Asia, masih di bawah rata-rata regional.
Intoleransi terhadap laktosa yang terkandung dalam susu merupakan hal yang umum.
Para ibu di beberapa bagian di Indonesia secara tradisional memberi bayi-bayi mereka pisang atau daging tumbuk, bukannya susu, karena mahalnya ongkos transportasi untuk mendistribusikan susu akibat buruknya infrastruktur jalan raya dan pelabuhan.
Namun produsen barang konsumen yakin bahwa hanya perlu waktu dan sedikit pemasaran agar orangtua-orangtua kelas menengah di Indonesia merangkul konsumsi gaya barat.
“Indonesia tidak memiliki budaya minum susu karena banyak yang tidak tahan laktosa,” ujar Boenjamin Setiawan, pendiri perusahaan farmasi PT Kalbe Farma, yang menjual susu. “Namun semuanya telah berubah karena kelas menengah.”
Pemasaran Susu
Anak-anak yang diberi susu pada usia dini cenderung memiliki toleransi terhadap laktosa.
Penjualan susu bubuk dan susu segar naik rata-rata 9 persen dalam lima tahun terakhir, atau kedua tercepat di Asia setelah Tiongkok, menjadikan pasar di Indonesia bernilai $3,7 miliar. Namun konsumsi susu per kapita tetap saja hanya 2,7 kilogram per tahun, dibandingkan dengan 17 kilogram untuk rata-rata regional, menurut Lembaga Riset Kebijakan Pangan dan Pertanian AS.
Nestle menanamkan $200 juta pada 2011 untuk memulai produksi susu bubuk dan minuman Milo pada 2014, sementara perusahaan produk susu raksasa dari New Zealand, Fonterra, mendirikan pabrik baru untuk pengepakan produk susu tahun ini.
“Permintaan produk susu di Indonesia diperkirakan naik sekitar 50 persen dalam waktu delapan tahun ke depan. Ini pasar utama untuk kita,” ujar Maspiyono Handoyo, direktur pelaksana Fonterra di Indonesia.
Perusahaan makanan lokal Indofood Sukses Makmur, produsen mie terbesar di dunia, sedang membangun pabrik susu senilai $130 juta di Pulau Jawa. Perusahaan ini memiliki 14 persen dari pasar susu di Indonesia dan berharap ada mitra global untuk mengejar Nestle sebagai pemimpin pasar, ujar direktur utama Indofood Anthony Salim.
“Kami sedang mencoba mencari strategi untuk memperluas pasar,” ujar Anthony.
Investasi diikuti dengan pemasaran. PT Kalbe menghabiskan 12 sampai 13 persen dari penghasilannya yang tumbuh pesat untuk iklan, ujar Vidjongtius, direktur keuangan perusahaan.
Perusahaan-perusahaan ini mencoba mengaitkan manfaat kesehatan susu dengan kemajuan fisik dan mental pada anak seperti yang diinginkan kelas menengah.
Sebuah iklan dari Nestle menunjukkan bagaimana seorang balita yang minum susu bubuk merek Dancow tumbuh lebih cepat dan lebih aktif dibandingkan anak-anak lainnya.
Direktur Nestle Indonesia Debora Tjandrakusuma mengatakan bahwa perusahaan tersebut melihat media sosial menjadi semakin penting sebagai medium iklan di negara yang termasuk memiliki jumlah pengguna Facebook dan Twitter terbesar di dunia.
Kompetitor Nestle, Danone, mengiklankan susu bubuk Nutrilon miliknya dalam Bahasa Inggris karena ingin mengasosiasikan produknya dengan kemajuan pendidikan yang diharapkan bisa menarik para orangtua.
“Sebagian besar orang tahu bahwa susu itu baik untuk kesehatan dan anak-anak mereka. Mereka membeli konsep tersebut. Pertanyaannya adalah merek mana yang akan mereka pilih,” ujar Elwin Mok, direktur pelaksana kreatif Celsius, perusahaan iklan di Jakarta dengan klien antara lain Danone dan Unilever.
Permintaan Popok
Pasar untuk popok sekali buang hanya bernilai $400 juta pada 2011, meski tumbuh dengan rata-rata 35 persen sejak 2006, menurut data Kementerian Perindustrian. Semakin banyak orangtua bekerja yang menyukai popok jenis tersebut dibanding popok tradisional, dan mereka sekarang mampu membeli produk yang tadinya dianggap barang mewah tersebut.
P&G menginvestasikan lebih dari $100 juta untuk membangun pabrik produk perawatan bayi dan diharapkan memproduksi popok merek Pampers secara lokal pada 2014.
“Kami berkomitmen membawa inovasi merek yang sukses untuk memenuhi kebutuhan semua segmen ekonomi di Indonesia, dari yang bercita-cita makmur sampai sangat makmur,” ujar P&G dalam pernyataan lewat surat elektronik.
Perusahaan tersebut menyatakan bahwa mereka mencatat pertumbuhan “angka dobel” di Indonesia, namun tidak bersedia memberikan angka yang spesifik.
Unicharm, produsen popok sekali buang terbesar di Indonesia, memiliki dua pabrik dan pabrik ketiga di Jawa Timur diharapkan mulai beroperasi tahun depan.
“Kami menyadari bahwa penggunaan popok sekali buang tidak akan terus naik seperti sekarang ini,” ujar Ichiro Oba, seorang juru bicara Unicharm. Ia menambahkan bahwa tingkat pertumbuhan persentase tahunan yang berkelanjutan kelihatannya ada pada produk pembalut untuk remaja. (Reuters/Janeman Latul dan Neil Chatterjee)