Perempuan memiliki hari khusus yang diperingati seluruh dunia setiap tanggal 8 Maret, termasuk di Indonesia. Namun penghargaan terhadap perempuan, khususnya pekerja perempuan masih sangat minim. Upaya memperjuangkan persamaan hak pekerja perempuan, menjadi gerakan yang terus dilakukan para pegiat hak asasi manusia.
Banyaknya kasus pelanggaran hak pekerja perempuan di Indonesia, mendesak pemerintah Indonesia segera melakukan langkah perlindungan dari segi hukum.
Koordinator Program International labour Organitation (ILO) untuk Pekerja Migran, Mohammad Nour mengatakan, pemerintah Indonesia harus segera membuat aturan sesuai konvensi internasional, serta melaksanakan komitmen terkait perlindungan tenaga kerja rumah tangga di Indonesia.
“Sangat terbuka bagi Indonesia untuk meratifikasi instrument-instrument internasiomal dari konvensi ILO 189. Presiden menekankan komitmen Indonesia untuk mengadopsi konvensi tersebut dan mengimplementasikannya di legislasi nasional,” ungkap Muhammad Nour.
Menurut Dian Nuswantari, peneliti Pusat Studi Hak Asasi Manusia, Universitas Surabaya, minimnya aturan perundangan di tingkat pusat maupun daerah, diharapkan menjadi dorongan para wakil rakyat untuk mewujudkan aturan hukum yang melindungi hak-hak pekerja rumah tangga. “Buat saya, itu bisa membuka mata para anggota legislatif kita untuk mau melakukan itu (membuat undang-undang),” kata Dian.
Sementara itu Kepala Bidang Hubungan Industrial dan Syarat Kerja, Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependudukan Provinsi Jawa Timur, Totok Nurhandajanto mengatakan, pemerintah mendukung terbentuknya asosiasi pekerja rumah tangga sebagai wadah aspirasi dan pemenuhan hak pekerja, serta mendukung peningkatan kualitis pekerja rumah tangga melalui berbagai bentuk pelatihan.
"Dinas Tenaga Kerja, dalam hal ini akan memberikan pelatihan-pelatihan yang diperlukan. Saya setuju dengan terbentuknya asosiasi pekerja ini,” demikian ungkap Totok Nurhandajanto.
Data survey nasional tahun 2010 menyebutkan terdapat sekitar 10 juta Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Indonesia didominasi pekerja perempuan. 20 persen diantaranya merupakan pekerja rumah tangga anak berusia dibawah 17 tahun.
Aktivis perempuan dari Koalisi Perempuan Pro Demokrasi (KPPD), Silvia Kurnia Dewi mengatakan, para pekerja rumah tangga merupakan kelompok pekerja yang paling banyak dilanggar hak-haknya oleh majikan atau pemberi kerja.
“Misalnya hak libur satu hari dalam satu minggu tidak ada. Jadi kalau dalam skala 100 paling Cuma dua atau tiga orang saja yang mendapatkan hak itu,” ungkap Silvia. “Soal jam kerja yang jelas, itu juga tidak ada. Sebagian besar PRT masih tetap bekerja antara 12 sampai 14 jam per hari,” tambah aktivis ini.