Duta Besar Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Dian Triansyah Djani, dalam pernyataan tertulis hari Selasa (1/9), menyesalkan kegagalan Dewan Keamanan PBB mengadopsi rancangan resolusi tentang penuntutan, rehabilitasi dan reintegrasi teroris karena tidak adanya persetujuan dari anggota tetap dewan tersebut.
“Sebagai negara yang pernah menjadi korban, dan sekaligus terdepan dalam pemberantasan terorisme, Indonesia tidak dapat memahami, ketika dunia dililit oleh ancaman terorisme yang sangat buruk terhadap perdamaian dan keamanan internasional, sebuah prakarsa penting untuk menangani ancaman serius itu justru belum dapat diterima Dewan Keamanan PBB karena pandangan satu pihak.”
Pernyataan itu tidak merujuk pihak yang dimaksud, tetapi Amerika adalah satu-satunya negara dari 15 anggota Dewan Keamanan PBB yang menolak rancangan resolusi itu.
Lebih jauh Duta Besar Perwakilan Tetap Indonesia Untuk PBB Dian Triansyah Djani menyatakan rancangan resolusi itu dimaksudkan untuk memberi pedoman yang jelas bagi negara-negara anggota, untuk mengembangkan dan melaksanakan strategi penuntutan, rehabilitasi dan reintegrasi teroris yang komprehensif, membangun aspek penuntutan yang kuat, memberi elemen rehabilitas dan reintegrasi yang jelas dan praktis, melalui pengembangan metode jangka panjang dalam melawan ekstremisme kekerasan yang menyuburkan terorisme. “Rancangan resolusi ini juga bertujuan untuk mendorong pendekatan pemerintah secara proaktif dan mengakui peran yang dapat dimainkan keluarga dan organisasi masyarakat sipil, pemimpin agama, termasuk mendorong partisipasi penuh dan kepemimpinan perempuan.”
Kemlu Tekankan Rancangan Resolusi Tak Terkait Pemulangan Jihadis Asing
Direktur Jenderal Kerjasama Multilateral Kementerian Luar Negeri Febrian Ruddyard kepada VOA, Selasa (1/9) menekankan rancangan resolusi gagasan Indonesia itu sejatinya sangat penting bagi banyak negara dalam menangani terorisme. Ia juga menegaskan bahwa rancangan resolusi itu tidak terkait pemulangan jihadis asing, termasuk dari Indonesia.
"Penanganan dalam arti berkesinambungan. Bukan hanya terorisme itu dilakukan persekusi (proses hukum) tapi juga dilakukan upaya rehabilitasi dan reintegrasi sehingga para teroris yang sudah menjalani hukumannya mulai diarahkan untuk masuk lagi ke dalam masyarakat dan tidak kembali lagi menjadi teroris," kata Febrian.
Febrian menegaskan rancangan resolusi itu tidak terkait pemulangan jihadis asing, termasuk dari Indonesia. Sehingga permintaan Amerika agar dimasukkan poin mengenai pemulangan para jihadis asing ke negara asal mereka tidak bisa dilakukan. Ditambahkannya, rancangan resolusi tersebut hanya membahas tentang penanganan terorisme di dalam negeri.
Repatriasi Diutamakan Bagi Anak-Anak
Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia, Ridlwan Habib menilai Amerika memveto rancangan resolusi usulan Indonesia itu karena menginginkan agar semua negara memulangkan jihadis-jihadis mereka yang masih berada di Irak dan Suriah. Sedangkan kebijakan Indonesia adalah repatriasi dilakukan per kasus dan lebih diutamakan anak-anak berumur 10-12 tahun.
Menurut Ridwan, penolakan repatriasi jihadis bukan hanya menjadi posisi Indonesia tapi sikap negara-negara Eropa, seperti Inggris dan Belgia. "Tetapi Amerika menurut saya standar ganda. Di satu sisi mereka mengatakan harus setiap negara menerima pemulangan itu, di sisi lain mereka menerapkan standar yang sangat ketat untuk imigrasi mereka. Jadi tidak masuk akal mereka memaksa negara lain menerima jihadis asingnya (pulang) tapi dengan alasan keamanan mereka menutup gerbang imigrasi mereka," ujar Ridlwan.
Ridwan mengatakan rancangan resolusi itu sebenarnya merupakan upaya Indonesia membagi pengalamannya dalam menangani terorisme lewat pendekatan humanis, sehingga bisa mengubah narapidana teroris untuk berbaur kembali dalam masyarakat. [fw/em]