Hingga tahun ini, sebanyak 96 persen kebutuhan bawang putih nasional dipenuhi melalui impor. Padahal, ribuan petani di Indonesia menanam komoditas ini setiap tahunnya. Lalu, kemanakah hasil panen lokal itu?
Sejak 2017, Kementerian Pertanian telah menetapkan program panen untuk benih bagi petani bawang putih. Dalam skema ini, semua hasil panen bawang putih tidak dilempar ke pasar, tetapi wajib dijadikan benih bagi musim tanam selanjutnya. Hanya panen bawang putih petani swadaya yang dijual langsung ke konsumen, dan memenuhi sekitar 4 persen kebutuhan.
Dirjen Holtikultura pada Kementerian Pertanian, Suwandi, menyampaikan itu dalam diskusi mengenai produksi bawang putih Nasional, yang digelar di Yogyakarta 26-27 Juni 2019.
“Artinya apa? Hampir seluruh kebutuhan konsumsi dalam negeri sampai tahun 2021 itu dari impor. Jadi konsep swasembada yang dicanangkan ini berbeda dengan komoditas lain. Kalau yang lain, produksi naik impor dikurangi, kalau bawang putih tidak,” ujar Suwandi.
Rintisan Swasembada Sejak 2017
Skema swasembada bawang putih ini dimulai dengan luas lahan tanam 1.900 hektar pada 2017. Hasil panen yang mencapai 10-20 ton per hektar, semua dijadikan bibit. Luas lahan tanam meningkat menjadi 20-30 ribu hektar yang tersebar di 110 kabupaten pada 2019 ini, naik dari 11 ribu hektar pada tahun lalu. Dengan skema yang sama, tahun depan akan ada 40-60 ribu hektar dan 2021 menjadi 80-100 ribu hektar. Ketika itulah, Indonesia akan mencapai swasembada, karena hanya dibutuhkan produksi bawang putih dari lahan seluas 69 ribu hektar untuk memenuhi kebutuhan nasional.
Dengan luas tanam konsisten pada kisaran 100 ribu hektar, setidaknya ada bawang dari panen 30 ribu hektar yang bisa dijadikan bibit. Indonesia sendiri membutuhkan bawang putih 570 ribu ton pertahun. China menjadi sumber bawang putih Indonesia, yang memenuhi 99,6 persen kuota impor.
“Kita punya lahan yang sesuai untuk bawang putih itu 600 ribu hektar tersebar di hampir 200 kabupaten. Kuncinya,lahan steril dan bagus, subur dan benih berkualitas,” tambah Suwandi.
Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Viva Yoga Mauladi memastikan dukungan penuh parlemen terhadap skema swasembada ini. Sejak 2017, komisi IV telah turut berkonsentrasi penuh dengan dukungan anggaran melalui APBN. Pemerintah dan DPR memiliki mimpi yang sama, yaitu mengembalikan kejayaan produksi bawang putih seperti 23 tahun yang lalu.
Penegakan Hukum Menjadi Kunci
Selain menggenjot produksi nasional, ketegasan menerapkan aturan juga menjadi kunci keberhasilan skema ini. Dalam program yang diterapkan pemerintah, importir memperoleh Rekomendasi Impor Produk Holtikultura (RIPH) dan Surat Persetujuan Impor (SPI) apabila memenuhi syarat menanam 5 persen dari kuota yang dia terima. Importir dapat bekerja sama dengan petani untuk menunaikan kewajiban ini.
“Dari sisi importir, ada yang baik dan nakal. Yang nakal oleh kementerian sudah di black list, sekitar 78 perusahaan. Kami minta kepada Satgas Pangan untuk menelusuri importir yang nakal ini,” ujar Viva.
Viva menambahkan, sanksi tegas kepada importir nakal perlu untuk memberikan keadilan bagi importir yang serius menerapkan skema wajib tanam 5 persen. DPR bahkan merekomendasikan, untuk memastikan swasembada bawang putih, wajib tanam dapat dinaikkan hingga 10 persen. Importir tidak perlu khawatir dengan skema ini, karena jika produksi melimpah, mereka akan beralih menjadi eksportir.
“Saya rasa, kalau seluruh stakeholder bekerja, akan bisa terkejar. Makanya untuk itu para importir yang sudah mendapatkan RIPH dan SPI harus memenuhi kewajiban tanam. Kalau tidak tanam, maka segera diproses hukum saja. Karena itu akan merugikan importir yang baik kerjanya, merugikan petani serta merusak rencana pemerintah untuk swasembada bawang putih,” papar Viva.
Pemerintah mengaku serius menangani persoalan ini. Kombes Helfy Assegaf dari Satgas Pangan Polri mencatat, pada 2017-2019 ini terdapat 557 perkara pangan, dengan 24 perkara diantaranya terkait bawang putih. Seluruh 24 perkara itu diproses hukum dan berkas sudah dilimpahkan ke kejaksaan.
“Ada yang terkait masalah dokumen palsu, tanda tangan kepala dinas yang dipalsukan, kemudian penyalahgunaan bibit untuk dijual ke konsumen, termasuk penimbunan,” kata Helfy.
Satgas Pangan terus melakukan pemantauan dan pengawasan, khususnya untuk importir yang telah memperoleh RIPH, terutama untuk pelaksanaan wajib tanam. Pelaksanaan wajib tanam berpotensi bermasalah karena kerja sama dengan petani harus dipantau realisasinya. Perusahaan yang sudah masuk daftar hitam juga diawasi, agar pemiliknya tidak membuat perusahaan baru untuk melakukan modus kejahatan serupa. [ns/ab]