Sebagai negara kepulauan, Indonesia membutuhkan upaya luar biasa untuk memantau wilayah lautnya. Salah satu yang paling penting adalah menjaga perairan itu bebas sampah. Tentu kondisi ideal itu sulit tercapai karena begitu besarnya aktivitas perairan, baik di laut lepas maupun pelabuhan.
Dr Nani Hendiarti, pejabat di Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi menyebut, tahun lalu ada lebih setengah juta ton sampah masuk ke laut.
“Hasil perhitungan sementara dari Tim Koordinasi Sekretariat Nasional Penanganan Sampah Laut, total sampah yang masuk ke laut pada tahun 2020 diperkirakan mencapai 521.540 ton, di mana sekitar 12.785 ton berasal dari aktivitas di laut,” kata Nani.
Nani menjelaskan, ini adalah pertama kalinya Indonesia bisa memperkirakan sampah yang masuk ke laut. Jumlah itu telah memperhitungkan data kebocoran sampah dari aktivitas di laut yang dihitung melalui pendekatan jumlah trip kapal penumpang dan kapal perikanan. Meski di sisi lain Nani mengakui, data yang ada masih perlu perbaikan.
Indonesia telah membentuk tim terpadu sejak dua tahun lalu, sesuai amanat Perpres nomor 83 tentang penanganan sampah laut yang terbit September 2018. Ada enam belas kementerian dan lembaga di dalamnya untuk menyusun program yang terpadu. Dalam perhitungan tim ini, sekurangnya telah dicapai pengurangan sampah di laut sebesar 15 persen pada 2018-2020. Sementara Indonesia sendiri mencanangkan pengurangan sampai 70 persen pada 2025.
Nina menyampaikan itu dalam webinar pengelolaan sampah di kapal dan pelabuhan yang diselenggarakan Kemenkomarves, Rabu (27/1) sore. Dia juga menyebut, pada 2019 Indonesia memproduksi 175.000 ton per hari atau 64 juta ton pertahun.
Dari jumlah itu, sampah plastik tercatat sekitar 6,8 jut ton pertahun, dan 4,2 juta ton di antaranya belum dikelola dengan baik dan sekitar setengah juta ton lebih masuk ke laut.
Tantangan Indonesia Kompleks
Salah satu faktor penting dalam pengendalian sampah di laut adalah kegiatan di pelabuhan. Pemerintah melalui otoritas pelabuhan laut yang dimiliki, menyusun skema penanganan sampah kapal dan pelabuhan melalui sejumlah peraturan. Usman Saroni, dari PT Pelindo Indonesia II yang mengoperasikan Pelabuhan Tanjung Priok mengaku, aturan sudah cukup. Saat ini dibutuhkan komitmen seluruh pihak dalam melaksanakannya.
“Masalahnya itu masih belum begitu efektif. Walaupun sistemnya sudah ada, ketika penegakan hukumnya tidak ketat, mereka asal mengisi saja. Data ini tidak akurat. Ini menjadi tantangan untuk kita semua,” kata Usman dalam diskusi yang sama.
Data yang dimaksud Usman adalah laporan terkait sampah kapal, yang saat ini sudah terhubung dengan sistem pelaporan di pelabuhan Indonesia. Setiap kapal diharapkan melaporkan sampah mereka untuk kemudian mengumpulkannya ke fasilitas penerimaan.
Sejauh ini, operator seperti Pelindo berupaya memberikan edukasi dan pengertian kepada seluruh pihak mengenai pentingnya laut yang bersih. Penyediaan sarana juga dilakukan, seperti reception facility, terutama di pelabuhan besar. Penting dilakukan, kata Usman, menyadarkan semua pihak bahwa fasilitas penerimaan sampah kapal bukan sekedar sarana tetapi juga satu sistem.
Di Indonesia, penting juga untuk menyediakan sistem pembuangan sampah kapal yang murah dan mudah prosesnya. Usman telah belajar banyak dari proses penyadaran yang selama ini dilakukan, bahwa membebani operator kapal dengan biaya tinggi tidak akan membuahkan hasil.
Bank Dunia sendiri tengah memberikan dukungan konsultasi kepada Pelindo untuk pemrosesan sampah kapal dan pelabuhan. Namun, apa yang diterapkan di Eropa, kata Usman, tidak begitu saja bisa diterapkan di Indonesia.
Salah satu faktornya adalah karena pemerintah sedang menekan beban bisnis logistik. Sementara pengelolaan sampah membutuhkan dana, dan itu diharapkan datang dari pemilik kapal. Skema biaya sampah masuk dalam ongkos kapal sandar di pelabuhan, dan diberikan sebagai insentif penyerahan sampah, belum bisa diterapkan.
“Yang jadi masalah adalah, kita kalau menerapkan seperti itu perlu hati hati, karena pemerintah sedang berusaha mengurangi biaya logistik. Jangan sampai, ini bisa menjadi beban kepada biaya logistik,” tambah Usman.
Penegakan Hukum Penting
Kapten Zaenal A Hasibuan dari Indonesian National Shipowner’s Association (INSA) menyambut baik perbaikan sistem pembuangan sampah kapal di pelabuhan. Dia berharap, reception facility diperbanyak di semua pelabuhan.
“Reception facility itu idealnya tidak statis, dia harus dinamis karena ada juga kapal yang hanya lego jangkar tidak berlama-lama, atau pelabuhannya yang besar, sehingga kalau dia statis ABK kapal harus membawanya atau membutuhkan transportasi untuk menaruhnya di RF,” ujar Zaenal.
Besar kecilnya pelabuhan, menurut Zaenal tidak membedakan soal peran fasilitas ini. jika kapal berkunjung kesana, pasti dia memiliki sampah yang harus dibuang. Karena itulah, fasilitas harus disediakan merata. Selain itu, menurut Zaenal perhatian juga harus diberikan untuk instalasi lepas pantai seperti fasilitas pengeboran minyak di tengah laut. Dengan jumlah tenaga kerja besar dan penggunaan bahan bakar besar, fasilitas ini perlu memperoleh perhatian serius.
Zaenal menambahkan, banyak kapal berlayar dua pekan hingga satu bulan lebih, dan tentu mengumpulkan banyak sampah di dalamnya. Jika kapal-kapal itu tidak memanfaatkan fasilitas pembuangan sampah di pelabuhan, tentu harus menjadi perhatian tersendiri.
“Memang kita tidak bisa langsung mengatakan, bahwa kapal-kapal melakukan disposal di tengah laut, walaupun kemungkinan itu ada,” kata Zaenal.
Dalam undang-undang mengenai penjaga perairan, kata Zaenal, ada dasar hukum yang memungkinkan aparat penegak hukum ini memiliki pesawat patroli khusus. Pesawat ini bertugas memantau kegiatan pelayaran dan potensi-potensi pencemaran yang dilakukan oleh kapal. Kehadirannya, kata Zaenal akan membuat kapal-kapal merasa diawasi sehingga lebih patuh aturan untuk membuang sampah di tempat yang disediakan. [ns/ab]