Indonesia memiliki pekerjaan rumah yang sangat berat setelah Panama Papers muncul ke permukaan. Tidak hanya soal nama-nama yang terdaftar dalam dokumen itu, tetapi lebih penting lagi adalah apakah ada unsur melawan hukum di sana.
Masalah ini menjadi bahasan seminar "Panama Papers: Penggelapan Pajak, Pencucian Uang dan Korupsi serta Dampaknya Bagi Perekonomian Indonesia" di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hari Jumat (22/4) pagi.
Pengamat ekomomi dari UGM, Dr. Rimawan Pradiptyo mengingatkan, Panana Papers dan kejahatan yang mungkin menyertainya menunjukkan perubahan di kalangan pelaku kejahatan sektor keuangan. Undang-Undang Perpajakan, Undang-Undang Perbankan dan bahkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang dimiliki Indonesia tidak mampu mengimbangi strategi pelanggar hukum. Rimawan menegaskan, para penjahat terus melakukan inovasi dan karena itu aparat hukum Indonesia harus belajar lebih cepat untuk mengimbanginya.
“Pertanyaannya, bagaimana penegak hukum mengejar ketertinggalan itu semua. Karena itulah kemudian yang digunakan adalah database, citra satelit dan sebagainya, untuk memahami pola dari inovasi maupun invensi pelaku kejahatan. Pola-pola kejahatan itu harus kita pahami. Dari situlah kemudian, dibuatkan sistem untuk penanggulangannya,” kata Rimawan Pradiptyo.
Direktur Pemeriksaan dan Riset, Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK), Dr Ivan Yustiavandana menyoroti pentingnya koordinasi antarlembaga dalam mengurai kejahatan keuangan besar ini. Dalam diskusi, Ivan mencontohkan beberapa kasus di dalam negeri, yang bisa diselesaikan dengan tuntas, ketika ada kemauan dan kerja sama baik antarlembaga pemerintah.
Dalam kasus Panama Papers, Ivan menegaskan perlunya perhatian ditujukan lebih untuk meneliti kemungkinan adanya tindak kejahatan, daripada sekadar membahas nama-nama yang ada di dalamnya.
“Ini terjadi di mana-mana. Apakah hanya warga kita yang menaruh uang di luar negeri? Tidak, ini terjadi dimana-mana. Sekarang pertanyaannya adalah apakah kita mau berkoordinasi untuk melihat apakah disitu ada pelanggaran hukum atau pengalahgunaan atau segala macam, atau tidak. Kalau dari kami, jangan dilihat apakah ada yang salah dari orang itu (yang menaruh dana di luar negeri), tapi kita cari apakah ada penyalahgunaan? Apakah ada penyimpangan pajak? Dan sebagainya. Itu yang sekarang sedang kita kejar,” jelas Ivan Yustiavandana.
Pola pikir birokrasi Indonesia juga menjadi penghambat sendiri. Aparat hukum dinilai terlalu kaku sehingga tidak dapat menandingi pelaku kejahatan keuangan. Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Sujanarko, dalam kesempatan yang sama, menguraikan bagaimana langkah-langkah KPK menyiasati batasan-batasan yang ada.
KPK telah lama menjalin kerja sama saling menguntungkan dengan sejumlah lembaga anti korupsi negara lain. Pola kerja sama ini, termasuk di antaranya pertukaran data dan bantuan penangkapan pelaku korupsi, mampu memotong banyak hambatan birokrasi antar negara.
“Paradigma itu mempengaruhi tata kelola, mempengaruhi hukum acara, mempengaruhi hukum pidana. Dan kita tidak siap dengan itu. Kita itu, yang pertama, apakah kita siap merubah paradigma kita. Jangan ada keragu-raguan untuk minta bantuan ke dunia internasional, untuk kejahatan antar negara,” kata Sujanarko.
Sujanarko menyarankan, Indonesia harus lebih cepat melakukan penyelidikan hukum terkait Panama Papers. Jika di dalam negeri sendiri tidak terlihat adanya upaya serius, menurut pengalamannya, akan sulit meminta kerja sama dari negara lain untuk pengusutan kejahatan antar negara ini. [ns/lt]