Tautan-tautan Akses

Industri Tekstil Domestik Terseok-seok Memintal Nasib


Para pekerja membuat pakaian di sebuah pabrik di Cakung, permukiman industri kecil di Jakarta (foto: ilustrasi).
Para pekerja membuat pakaian di sebuah pabrik di Cakung, permukiman industri kecil di Jakarta (foto: ilustrasi).

Jawa Tengah adalah salah satu pusat tekstil, bahkan rumah bagi salah satu perusahaan ternama di sektor ini. Namun, belakangan satu persatu pelaku usaha mulai bertumbangan, menegaskan perumpamaan lama yang selalu dipakai untuk menggambarkan situasi sekarat: hidup segan mati tak mau.

Johan, pegawai salah satu pabrik tekstil di Jawa tengah ini tak bisa membayangkan perusahaan tempatnya bekerja belasan tahun, terancam gulung tikar.

“Industri tekstil ini industri padat karya. Menyerap banyak pekerja seperti saya. Bisa dibayangkan industri ini berhenti. Selama pabrik berjalan, karyawan dapat gaji memenuhi kebutuhan hidupnya. Kami di pabrik, ya, operasional berjalan pelan, tapi produk tekstil kami sulit dijual, di dalam negeri sudah banyak tekstil impor", ungkap Johan dengan mata berkaca-kaca.

Di saat yang sama, ratusan karyawan pabrik tekstil kembali mendatangi kantor Bupati Karanganyar, Jawa Tengah pada Selasa (25/6). Mereka mengadu soal kejelasan nasib, lantaran sampai kini gaji empat bulan tak kunjung dibayarkan dan Tunjangan Hari Raya (THR) dari perusahaan juga tak jelas nasibnya.

Terpisah, seorang karyawan pabrik tekstil di Solo yang enggan disebut identitasnya hanya menyebut dua kata untuk menggambarkan situasi pabrik tempatnya bekerja: susah atau sulit. Dia masih memakai seragam bermotif batik biru saat membincangkan situasi pekerjaannya bersama VOA.

Direktur Umum PT Dan Liris Sukoharjo, Harrison (Foto: VOA/ Yudha Satriawan).
Direktur Umum PT Dan Liris Sukoharjo, Harrison (Foto: VOA/ Yudha Satriawan).

Kondisi yang mirip diceritakan Harisson Silaen, Direktur Umum PT Dan Liris Sukoharjo, pabrik tekstil yang sebelumnya rutin mengekspor produknya. Dia bilang, kondisi industri tekstil tahun ini adalah yang terburuk, di mana hanya separuh mesin produksi yang beroperasi.

"Pabrik tekstil yang tutup, pekerja di-PHK sudah bukan rahasia umum lagi. Media sudah memberitakannya, nama perusahaan hingga jumlah pekerja yang di-PHK secara gamblang. Perlu diingat, banyak industri tekstil bernasib serupa tidak terekspose, diam-diam mengurangi karyawan,” katanya.

Harrison menambahkan, “Utilitas mesin dan pekerja sudah drop. Maksimal hanya 45 persen. Kalau karyawan dipertahankan, sementara perusahaan minim omzet, maka performa akan merosot. Grafik selama 9 tahun terakhir, tahun 2023 dan 2024 ini kondisi terburuk. Faktor pasar, teknologi, regulasi dan lainnya.”

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kinerja ekspor industri tekstil Indonesia melemah di tahun 2023. Komoditas tersebut terdiri benang pintal, kain tenun, serat stapel buatan, serat/benang/strip filamen buatan, kain rajutan, kain sulaman/bordir, serat tekstil, sutra, dan sebagainya.

Pada 2023 volume ekspor industri tekstil nasional mencapai 1,49 juta ton, turun 2,43 persen dibanding 2022. Nilai ekspornya juga merosot 14,78 persen, menjadi sekitar $3,6 miliar. Kinerja ekspor industri tekstil Indonesia sudah melemah dua tahun beruntun, 2022 dan 2023. Bahkan 2023 volume ekspornya lebih kecil dibanding masa pandemi, serta menjadi rekor terendah dalam sembilan tahun terakhir.

Industri Tekstil Domestik Gulung Tikar

Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Tengah mengakui banyak perusahaan tekstil di wilayahnya mulai gulung tikar. Juru bicara organisasi ini, Lilik Setiawan mengakui satu per satu perusahaan tekstil tumbang. Padahal selama ini sektor ini menjadi tumpuan ekonomi daerah, karena industri padat karya yang menyerap ribuan pekerja.

“Jadi data kita di BPD API Jateng, minimal 6 perusahaan tekstil skala besar yang gulung tikar. Saya rasa total pekerja terdampak ada 7000an dan mungkin lebih. Cukup signifikan,” kata Lilik.

Dia menyebut, perusahaan tekstil yang tutup terakhir di Jawa Tengah, berlokasi di wilayah Ungaran.

Juru bicara Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Tengah, Lilik Setiawan (Foto: VOA/ Yudha Satriawan).
Juru bicara Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Tengah, Lilik Setiawan (Foto: VOA/ Yudha Satriawan).

“Jadi, setelah ada 6 perusahaan di kloter pertama, berikutnya kloter kedua ada 4 perusahaan lagi. Total 10 perusahaan yang masuk anggota API Jatemg melakukan penutupan usaha. Total pekerja ya 10.000an,” kata Lilik ketika ditemui di Solo.

Dia menambahkan, industri tekstil domestik butuh perlindungan dan penyelamatan dari gempuran produk tekstil impor, termasuk Tiongkok dan India, Vietnam, serta Bangladesh.

Data yang dihimpun VOA menyebutkan, efisiensi pekerja hingga penutupan pabrik tekstil di Jawa Tengah hingga awal Juni 2024 telah menyebabkan penutupan enam pabrik. Rinciannya adalah, PT Alenatex yang mem-PHK sekitar 700 karyawan, PT Dupantex (PHK 700 karyawan), PT Kusumahadi Santosa, (PHK 500 karyawan), PT Pamor Spinning Mills, (PHK 700 karyawan), PT Kusumaputra Santosa (PHK 400 karyawan), dan PT Sai Apparel (PHK 8.000 karyawan).

Sedangkan PHK yang dilakukan dengan alasan efisiensi terjadi di empat pabrik. Masing-masing adalah PT Sinar Pantja Djaja Semarang (2.000 karyawan), PT Djohartex (300 karyawan), PT Bitratex (400 karyawan) dan PT Pulomas (100 karyawan).

Soroti Regulasi Pemerintah

Pelaku usaha tekstil menyoroti sejumlah persoalan yang menyebabkan krisis di sektor ini, selain bertarung melawan produk impor. Lilik Setiawan mengatakan, kebijakan pemerintah membuka peluang investor asing memproduksi tekstil di dalam negeri juga patut dicermati.

Penyediaan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dengan perijinan cepat dikhawatirkan merugikan industri tekstil nasional. Pekerja asing, ketersediaan bahan baku tekstil hingga predatory pricing menjadi ancaman bagi industri tekstil dalam negeri.

“Kalau tidak salah ada investor China, ada dua lokasi yang disiapkan pemerintah. Menyerap 108 ribu pekerja. Ya, itu trickle down-nya bagus, tapi ingat komitmen fair competition-nya. High level hingga low operator adalah pekerja domestik. Jangan sampai kasus PT Morowali terulang, dominasi TKA. Bahan baku domestik jadi susah diperoleh. Jangan ada predatory pricing. Perputaran PMA juga harus ada jaminan,” papar Lilik.

Lilik menyayangkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024. Peraturan ini lebih berpihak pada importir umum pemilik Angka Pengenal Importir Umum (API U) daripada mengedepankan upaya negara untuk menggenjot industri tekstil dan produk tekstil dalam negeri. Dampaknya, Indonesia tenggelam kebanjiran produk garmen atau tekstil impor, ungkap Lilik.

Industri Tekstil Domestik Terseok-seok Memintal Nasib
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:07 0:00


Gelombang PHK para pekerja industri pertekstilan pun berlanjut dan tak bisa dibendung. Meski begitu, Lilik berharap keterpurukan ini hanya anomali sesaat.

“Kita berharap ini temporary, sementara. Pelaku industri tekstil bisa come back, bangkit. Situasi ekonomi bisa membaik, tak bisa dipungkiri industri tekstil dan produk tekstil adalah padat karya dan penopang perekonomian,” tegasnya.

Sebagai karyawan pabrik tekstil, Johan juga memiliki harapan sama. Dia ingin industri tekstil penopang hajat hidup ribuan pekerja, termasuk dirinya, akan kembali menggeliat dan bangkit.

“Ya, pabrik kan tempat semua menggantungkan hidupnya. Ada ribuan keluarga pekerja yang harus dipenuhi kebutuhannya,” ujarnya lirih. [ys/ns]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG