Tautan-tautan Akses

Influencer VS Buzzer, Apa Salah?


Kontroversi influencer dan buzzer awalnya tak terlalu menarik perhatian, hingga ketika beberapa pesohor yang diduga menjadi influencer untuk program pemerintah ramai-ramai minta maaf. (Foto: ilustrasi).
Kontroversi influencer dan buzzer awalnya tak terlalu menarik perhatian, hingga ketika beberapa pesohor yang diduga menjadi influencer untuk program pemerintah ramai-ramai minta maaf. (Foto: ilustrasi).

Keberadaan influencer dan buzzer di era media sosial makin tak terhindarkan. Artis, atlet, dosen dan bahkan penyiar radio ikut jadi influencer. Apa perbedaan di antara keduanya dan mengapa penggunaan 'humas' ala milenial untuk mendorong kebijakan publik dinilai tak elok?

Kontroversi influencer dan buzzer awalnya tak terlalu menarik perhatian, hingga ketika beberapa pesohor yang diduga menjadi influencer untuk program pemerintah ramai-ramai minta maaf. Sebagian di antaranya bahkan mengembalikan imbalan yang pernah didapat. Mereka antara lain Gritte Agatha, Gading Marten, Gisela Anastasia, Ardhito Pramono, Cita Citata, Inul Daratista hingga Gofar Hilman; yang sebelumnya menggunakan tagar #IndonesiaButuhKerja untuk mempromosikan RUU Cipta Kerja yang sedang dibahas di DPR. Musisi Ardhita Pramono memberikan klarifikasi lengkap di Twitter.

Sementara penyiar radio Gofar Hilman mengaku “tidak melakukan riset lebih dalam lagi sebelum dan sesudah menerima pekerjaan” dan minta maaf.

Influencer dan buzzer sebenarnya merupakan bentuk lain dari fungsi kehumasan yang selama ini dikenal luas masyarakat. Pakar komunikasi di Universitas Indonesia Dr. Ade Armando mengatakan, “Jika dulu ada humas yang bertugas mendorong sosialisasi atau kampanye suatu kebijakan, program atau produk departemen atau perusahaan tertentu, kini ada influencer. Dulu humas juga biasa menggandeng figur publik untuk menjadi duta atau bintang mereka. Pernah ada Duta Lingkungan Hidup, Duta Penyelamatan Lumba-Lumba, Duta Anti-Kawin Anak dll. Kini posisi mereka untuk menyebarluaskan informasi yang arahanya diatur oleh humas itu dikenal sebagai influencer. Umumnya mereka dibayar atau menerima imbalan.”

Lebih jauh Ade mengatakan maraknya media sosial membuat kini juga ada istilah buzzer, yang fungsinya hanya “mendengungkan” atau menyebarluaskan saja.

Ada semacam stigmatisasi terhadap influencer dan buzzer seakan-akan mereka adalah orang-orang yang menyebarluaskan distorted information. (Foto: ilustrasi).
Ada semacam stigmatisasi terhadap influencer dan buzzer seakan-akan mereka adalah orang-orang yang menyebarluaskan distorted information. (Foto: ilustrasi).

“Ia tidak harus menjadi influencer. Misalnya influencer-nya si A, maka buzzer yang akan menyebarluaskan, me-retweet, menambahkan, mendukung dan seterusnya. Ia tidak perlu tokoh berpengaruh, tapi ia memviralkan ke lebih banyak orang lain setelah influencer mengeluarkan pernyataannya. Buzzer itu bisa orang biasa, bisa juga orang terkenal yang memang suka dengan influencer tertentu. Buzzer ini ada yang sukarela, ada pula yang menerima imbalan atau melakukannya secara profesional,” papar Ade.

Keberadaan Influencer dan Buzzer Tak Terhindarkan

Menurut Ade, penggunaan influencer dan buzzer untuk mensosialisasikan sebuah program atau kebijakan tertentu merupakan hal yang tak terhindarkan di era digitalisasi seperti sekarang ini. “Malah bodoh sekali ketika kita tahu persis bahwa kita bisa meraih sasaran dengan lebih cepat dan luas jika menggunakan influencer, tetapi tidak menggunakannya,” ujar Ade.

Ditambahkannya, hal ini lumrah terjadi dan siapa pun dapat menggunakan influencer atau buzzer, dan tidak semua membuat disclaimer atau semacam pemberitahuan bahwa informasi yang disampaikan merupakan pesanan atau dukungan pada sebuah program atau kebijakan. “Bagaimana membuatnya? Jika di koran, atau televisi dan radio, bisa dibuat keterangan atau advertorial, jadi orang tahu. Tapi bagaimana melakukannya di media sosial?,” tanya Ade.

ICW : Pemerintah Gunakan 90,45 Miliar untuk Influencer

Menurut Indonesian Corruption Watch (ICW), mengutip keterangan resmi di situs Layanan Pengadaan Secara Elektronik LPSE di 34 kementerian dan non-kementerian, termasuk dua lembaga hukum, diketahui bahwa semua menggunakan jasa influencer.

Indonesian Corruption Watch (ICW) researcher, Lalola Easter Kaban. (Photo screenshot)
Indonesian Corruption Watch (ICW) researcher, Lalola Easter Kaban. (Photo screenshot)

Peneliti ICW, Lola Easter, kepada VOA mengatakan “dari penelusuran kami di LPSE diketahui bahwa dari 2014-2020 ada 1,29 triliun total anggaran belanja pemerintah pusat terkait aktivitas digital. Jika dikaji lebih spesifik lagi tentang aktivitas belanja terkait influencer maka 90,45 miliar. Kami mengkaji ada lonjakan penggunaan influencer oleh pemerintah sejak tahun 2017.”

ICW lebih jauh mempertanyakan akuntabilitas penggunaan dana publik ini karena menilai belum ada dasar hukum yang mengatur tentang penggunaan jasa influencer atau pemengaruh ini. “Yang lebih mengkhawatirkan lagi ketika narasi yang dipakai para influencer dibuat seolah-olah ini genuine atau hasil olah pikir mereka sendiri. Selemah-lemahnya iman dibuat ada semacam 'disclaimer' bahwa ini merupakan pernyataan hasil brief. Publik perlu tahu di mana batasannya. Tapi tidak semua melakukannya.”

Selama Akuntabel, Penggunaan Influencer Dinilai Wajar

Dr. Ade Armando setuju agar pemerintah menyampaikan semua informasi soal penggunaan anggaran untuk influencer dan buzzer pada publik. “Dan saya rasa mereka [pemerintah.red] sudah melakukannya karena data yang didapat ICW pun berasal dari LPSE, ini data resmi. Pemerintah tidak menutup-nutupi hal ini kok. Pertanggungjawabannya ada dan jika wartawan ini mempertanyakan hal ini secara detail soal kepada siapa uang itu dibayar, pemerintah harus menjelaskannya karena kini ada keterbukaan informasi publik,” jelasnya.

Ade Armando. (Foto: screenshot)
Ade Armando. (Foto: screenshot)

“Jadi jika ada pertanyaan apakah boleh menggunakan uang rakyat? Tentu saja boleh! Pemerintah ini dipilih rakyat dan uang rakyat sedang dikelola pemerintah. Masa' setiap kali pemerintah menggunakan uang rakyat untuk bangun jalan, bangun infrastruktur, kebijakan pariwisata dan sekarang penggunaan influencer, ia harus tanya dulu ke publik: boleh 'gak? Tentu tidak perlu. Yang penting pemerintah transparan dan akuntabel,” imbuhnya.

Lebih jauh Ade menilai keterbukaan pemerintah dan kesigapan badan-badan nirlaba mencermati fenomena kehadiran influencer dan buzzer seharusnya bisa menepis stigmatisasi yang kuat sekarang ini bahwa apa-apa yang disampaikan influencer dan buzzer tidak benar.

“Ada semacam stigmatisasi terhadap influencer dan buzzer seakan-akan mereka adalah orang-orang yang menyebarluaskan distorted information, informasi yang terdistorsi, yang bohong atau hoaks. Padahal ya gak gitu dong.. Bahkan ini dilakukan oleh media dengan reputasi tinggi, kalangan civil society yang berpendidikan dan lain-lain, dan ini tidak fair. Padahal jika Anda menemukan kebohongan, nyatakan itu, ungkapkan, kita semua support,” tegasnya.

Media Laporkan Isyarat Penggunaan Influencer untuk Kampanye Penanganan Covid19

Di Amerika sendiri penggunaan influencer untuk mendorong suatu kebijakan atau program merupakan hal yang biasa. Departemen Kesehatan dan Layanan Publik HHS awal bulan ini bahkan mengisyaratkan untuk meluncurkan kampanye kesehatan publik tentang Covid-19 yang melibatkan aktor Hollywood, atlet hingga seniman. Politico melaporkan kampanye ini bertujuan untuk “menepis kekhawatiran dan memunculkan harapan” akan penanganan pandemi virus corona.

ABC News mengutip sumber yang tidak disebut namanya karena tidak berwenang bicara pada pers tentang rincian itu melaporkan bahwa anggaran yang digunakan akan mencapai sekitar 250 juta dolar atau 3,7 triliun rupiah.

Juru bicara HHS Michael Caputo mengukuhkan soal besarnya anggaran ini tetapi menolak memberi rincian lebih jauh. [em/jm]

Recommended

XS
SM
MD
LG