Kebakaran depo, kilang hingga kapal tanker mendera Pertamina dalam sebulan terakhir. Pakar meminta, audit menyeluruh dilakukan untuk mencari penyebab insiden dan mencegah terus berulang peristiwa serupa.
Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Dr Fahmy Radhi merekomendasikan upaya komprehensif mengatasi kecelakaan fasilitas Pertamina yang terus terjadi. Dia mengingatkan, insiden serupa sangat jarang terjadi di negara lain pada fasilitas sejenis, baik itu depo, kilang, perpipaan maupun kapal tanker.
“Saat ini audit internasional dibutuhkan secara komprehensif, termasuk menilai apakah kilang yang umur ekonomisnya habis itu masih bisa digunakan, misalnya. Sehingga dengan mudah memicu kebakaran memicu peledakan,” kata Fahmy kepada VOA, Rabu (5/4) petang. “Kalau memang hasilnya tidak layak digunakan, ya jangan digunakan,” tambahnya.
Desakan Fahmy ini diberikan menyusul insiden kebakaran beruntun yang menimpa Pertamina dalam lima tahun terakhir. Pada Maret 2018, terjadi kebakaran kapal di Teluk Balikpapan. Setelah jeda cukup lama, insiden kembali terjadi ketika Kilang Pertamina Balongan terbakar pada 29 Maret 2021, disusul kemudian terbakarnya Kilang Cilacap pada November tahun yang sama. Pada 2022, Kilang Pertamina Balikpapan terbakar dua kali, yaitu Maret dan Mei.
Peristiwa ledakan besar di Depo Pertamina Plumpang pada 3 Maret 2023 membuka catatan kelam tahun ini. Disusul kemudian dengan terbakarnya kapal tanker Pertamina di perairan Ampenan, Lombok, pada 26 Maret. Terakhir, Kilang Minyak Putri Tujuh Pertamina Dumai, Riau terbakar pada Sabtu, 1 April 2023. Seluruh insiden ini terjadi di bawah kepemimpinan Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati.
Sistem Keamanan Dipertanyakan
Rentetan kecelakaan di fasilitas Pertamina ini patut dipertanyakan. Menurut Fahmy, seluruh insiden menandakan bahwa sistem keamanan yang digunakan itu amat buruk dan di bawah standar internasional. Selain itu, Fahmy juga menilai direksi Pertamina menganggap enteng kecelakaan yang berulang terjadi. Wajar jika kemudian Pertamina sendiri tidak memiliki langkah tepat untuk mencegah insiden serupa terjadi lagi.
Dua pernyataan dihafalkan Fahmy, selalu keluar setelah insiden terjadi. Pertama, pihak Pertamina mengatakan kejadian tersebut sebagai musibah, dan petir sering menjadi kambing hitam. Pernyataan kedua yang rutin diberikan adalah bahwa insiden tidak mengganggu stok Bahan Bakar Minyak (BBM).
Meski meyakini bahwa stok tidak terganggu karena rantai pasok menjamin, Fahmy menyebut pernyataan semacam itu tidak bisa terus dikeluarkan pasca insiden terjadi. Fakta bahwa korban di Plumpang cukup besar, yang menurut Dinas Kesehatan DKI Jakarta mencapai 33 orang, seharusnya menjadi perhatian utama.
Pertamina juga tidak bisa mengatakan, bahwa kerugian dapat ditekan karena aset diasuransikan. Bagaimanapun, keamanan adalah prioritas yang tidak bisa ditawar. Jika Pertamina sudah mengaudit sistem keamanannya, publik berhak tahu hasil audit tersebut. Dengan demikian, penyebab kecelakaan di fasilitas Pertamina dapat diketahui bersama.
“Audit oleh lembaga internasional itu dibutuhkan untuk mengetahui apa penyebab insiden. Yang kedua, untuk mengetahui apakah kilang, depo, sistem perpipaan itu masih layak dioperasikan,” papar Fahmy.
Sejumlah kilang Pertamina, kata Fahmy, telah tua renta dan kemungkinan umur ekonomisnya sudah habis. Mengganti fasilitas yang ada memang membutuhkan anggaran sangat besar, tetapi menurut Fahmy itu sesuai dengan nilai bisnis yang dikelola Pertamina.
Jika tidak mampu menyelesaikan persoalan yang terus berulang ini, Fahmy bahkan mendesak Direktur Utama dan Komisaris Utama Pertamina mengundurkan diri. Jika tidak, Menteri BUMN Erick Thohir yang harus mengambil tindakan tegas.
Kritik Pedas DPR
Sejumlah kritik tajam disampaikan dalam pertemuan antara Komisi VII DPR dan direksi Pertamina, Selasa (4/4). Anggota Komisi VII, Gandung Pardiman bahkan mendesak pengunduran diri direksi, jika masalah tidak teratasi.
“Sekarang, pokok masalahnya apa? Enggak usah teori-teori. Kalau enggak mampu mengatasi persoalan, mundur demi rakyat,” ujarnya di depan direksi Pertamina.
Gandung menilai, upaya-upaya yang dipaparkan dalam mencegah dan mengatasi kecelakaan di fasilitas Pertamina, hanya teori. Terbukti, bencana ledakan dank kebakaran terjadi berulang, bahkan dalam satu bulan terakhir terjadi dua kali. “Jadi, jangan banyak teori, tapi praktiknya itu. Saya tidak kagum dengan teori yang disampaikan di sini,” tegasnya.
Gandung bahkan menilai persoalan ini lebih dari apa yang terlihat, “Saya mengindikasikan ini adalah sabotase, maka dari itu perlu nanti Komisi ini membuat Panitia Khusus.”
Mengambil ibarat, Gandung mengatakan keledai pun tahu jika sudah terantuk batu satu atau dua kali dan akan bereaksi. Kebakaran kilang Pertamina ini sudah sangat sering terjadi, tetapi tidak diambil tindakan yang cukup untuk mencegahnya terulang.
Rekan Gandung di Komisi VII, Lamhot Sinaga juga mengkritisi langkah Pertamina. Dia mengingatkan, setelah kebakaran kilang Balongan pada 2021, sudah meminta perbaikan sistem keamanan aset. Namun dia menilai Pertamina tidak melakukan itu. Sejauh ini, untuk ancaman petir misalnya, hanya digunakan lighting protection system. Padahal menurut Lamhot, itu adalah sistem keamanan level dua.
“Pasca kejadian Balongan, ini yang saya tidak lihat. Kenapa ini enggak di upgrade, dan kemudian cenderung berulang. Jangan sekelas Pertamina masih menggunakan sistem seperti ini. Kalau ibaratnya, ini sistem yang sudah sangat jadul untuk sekelas Pertamina,” kata Lamhot.
Teknologi yang sama, lanjut Lamhot sudah dipakai di smelter. Sistem keamanan dengan teknologi baru dapat memonitor asset critical secara terus-menerus dan real time, bahkan dapat memprediksi terjadinya kesalahan dan kegagalan.
DPR setuju dengan Pertamina, bahwa ledakan kilang di Dumai seharusnya menjadi yang terakhir dari rentetan kecelakaan aset ini. Namun, Pertamina harus memiliki skema pengamaman yang jelas, untuk mewujudkan tekad itu.
“Kalau Pertamina mau berhenti ini di Dumai, berhenti dalam arti kecelakaan kebakaran, segera itu lakukan,” tegas Lamhot.
Pertamina Pastikan Pengamanan
Dalam pertemuan ini, Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati memastikan pihaknya melakukan banyak perbaikan pasca insiden ledakan yang terjadi beruntun ini.
“Kami sudah melakukan audit oleh international auditor, dengan menggunakan International Sustainability Rating Standard, ISRS, dan itu secara global practice memang digunakan. Jadi, ISRS level 9 itu level tertinggi untuk migas,” papar Nicke.
Nicke merinci, pasca ledakan Kilang Pertamina Balongan pada Maret 2021, Pertamina melakukan audit selama kurang lebih 10 bulan. Pada pertengahan 2022, keluar rekomendasi dari auditor internasional, dan sejumlah langkah prioritas sudah dijalankan.
“Secara garis besar, resiko yang akan terjadi di aset kita itu ada empat penyebab kemungkinan dan ini kita detailkan,” papar Nicke.
Resiko pertama adalah sambaran petir, yang sering disebut dalam sejumlah insiden terbakarnya kilang. Karena itulah, di semua kilang telah dibangun dua lapis Lighting Protection System. Sistem ini terbukti mampu mengamankan kilang, terbukti dengan insiden petir yang menyerang 17 kali pada Kilang Cilacap, 3 Desember 2022 dan tidak terjadi kebakaran.
Penyebab kedua, lanjut Nicke adalah overflow, dengan langkah penyelesaian pembentukan overflow management counter. Resiko ketiga adalah high temperature hydrogen attack seperti yang terjadi di Kilang Balikpapan. Belajar dari kasus di Balikpapan ini, dalam insiden kebakaran kilang di Dumai 1 April lalu, api dapat dipadamkan dalam waktu sembilan menit. “Jadi, ini sebagai salah satu bukti bahwa program yang kita jalankan itu bisa meminimalkan resiko,” tegas Nicke.
Sementara resiko keempat adalah sulfidasi. Nicke menjelaskan, kilang-kilang milik Pertamina dibangun dengan teknologi lama, dan hanya bisa meproses minyak mentah dengan sulfur rendah. Sebagai contoh, Kilang Pertamina Dumai dibangun pada 1971.
Pertamina terus mengupayakan peningkatan fasilitas, agar dapat mengolah minyak mentah bersulfur tinggi, yang harganya lebih murah. “Kita belajar terus dari pengalaman dan kita lakukan improvement,” ujarnya memastikan.
Pertamina menghabiskan dana hingga $600 juta untuk membangun sistem ketahanan mencegah kebakaran kilang.
Lebih detil, Taufik Aditiyawarman, Direktur Utama PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) menyebut bahwa Pertamina menggunakan Solomon sebagai benchmark kilang internasional. Dia mengklaim, pada 2022, berdasarkan standar operational availability Solomon, seluruh kilang Pertamina mencapai skor 96 persen, yang artinya berada di atas rata-rata kilang minyak global.
“Operational availability kilang terus ditingkatkan setiap tahunnya melalui program overhaul, turn around, dan rejuvenation. Peningkatan kehandalan kilang, termasuk peremajaan material dan peralatan dilaksanakan secara bertahap berdasarkan risiko,” kata Taufik.
PT KPI telah membuat rencana jangka panjang untuk menjaga dan meningkatkan kehandalan kilang hingga 2026, dengan total estimasi biaya $2 miliar. [ns/ab]
Forum