Milisi Libya yang memerangi kelompok afiliasi Negara Islam di negara mereka mengatakan sebagian besar tentara musuh mereka ini tidak berasal dari Libya - sebagian besar di antaranya, menurut mereka, berasal dari negara-negara tetangga mereka di Afrika Utara.
Tapi mereka memperingatkan bahwa kelompok militan tersebut bertumbuh semakin kuat dan dikendalikan oleh sejumlah komandan yang sangat berpengalaman di medan perang.
Kelompok afiliasi Negara Islam (ISIS) di Libya bulan lalu merebut kota Sirte di pesisir, kota asal mantan diktator Kolonel Moammar Gadhafi, yang digulingkan dalam sebuah pemberontakan yang disponsori NATO empat tahun lalu.
Di sebuah kamp yang terpencil dan dijaga ketat, para tentara dari salah satu kelompok milisi Misrata mengkaji kekalahan mereka.
Abu Khalid Jazy, seorang komandan dan juru bicara bagi brigade 166, yang berada di garis depan mulai pertengahan Maret untuk mencegah Sirte jatuh ke tangan ISIS, mengemukakan perbedaan gaya pertempuran ISIS dengan pertempuran yang pernah ia alami sebelumnya.
Ia mengatakan ISIS cenderung menghindari konfrontasi langsung di garis depan. Kelompok tersebut lebih suka meluncurkan serangan tiba-tiba di tengah malam.
'Kekalahan secara taktis'
Para pejuang ISIS di Libya kebanyakan berasal dari Mali, Mauritania, Suriah, Aljazair, Mesir dan Tunisia, katanya. Para tentara milisi Libya jelas merasa terpukul dengan kekalahan mereka - yang mereka sebut sebagai "kekalahan secara taktis" dan mereka khawatir dengan langkah berikutnya dari kelompok afiliasi ISIS tersebut.
Para tentara ISIS pekan lalu memperluas wilayah kekuasaan mereka di pesisir Mediterania Libya yang berseberangan dengan Italia, dengan mengambil alih sebuah kota lagi dekat Sirte dan di sebelah barat Sirte pekan ini, mereka menduduki sebuah pembangkit tenaga listrik.
Pasukan-pasukan yang setia terhadap pemerintah di Tripoli mundur dari pembangkit listrik tersebut setelah tiga tentara mereka tewas - sebuah kekalahan taktis lainnya yang menunjukkan bahwa bahkan tentara veteran yang bertempur dalam pemberontakan terhadap Ghadafi pun kewalahan menghadapi ISIS.
Sepanjang tahun ini, kelompok Negara Islam sudah mengklaim bertanggung jawab atas pembantaian puluhan warga Mesir dan warga Kristen Ethiopia, demikian pula dengan sebuah serangan terhadap hotel Corinthia yang ikonik di Tripoli, yang mengakibatkan 10 orang tewas, termasuk seorang kontraktor keamanan dari Amerika. Mereka juga mengebom gedung-gedung kedutaan, dan menempatkan bom dan senjata di pos-pos pemeriksaan 241 kilometer dari Sirte, di pinggiran Misrata.
Memanfaatkan kekacauan
ISIS memanfaatkan situasi yang kacau di Libya, di mana dua pemerintahan berebut kekuasaan: pemerintahan di Tripoli dan pemerintahan yang diakui dunia internasional di Tobruk. Berbagai perundingan untuk mencapai perdamaian yang digelar PBB tampak tidak membuahkan hasil.
Sementara itu, ISIS, yang diperkirakan oleh milisi Libya memiliki 3.000 tentara saat ini, mengancam akan semakin mengembangkan sayapnya di negara ini.
Abd Muhammad Qaid, pemimpin kelompok militan Islam Ansar al-Sharia di kota Derna, pada hari Kamis, telah menyatakan sumpah setianya kepada ISIS.
Qaid adalah mantan anggota Kelompok Perjuangan Islam Libya yang anti-Ghadafi yang sempat berbasis di Afghanistan, yang pernah menolak ajakan Osama bin Laden untuk bergabung dengan al-Qaida. Saudara laki-lakinya yang bergabung dengan al-Qaida sempat menjadi salah satu pemimpin kelompok tersebut sebelum kemudian tewas dalam sebuah serangan pesawat tak berawak oleh Amerika.
Kini, sebagai anggota parlemen pemerintahan yang berbasis di Tripoli, ia mengatakan benih ISIS telah ditanam. Dan bila tidak segera dilawan, ia memperingatkan, ISIS akan bertumbuh semakin kuat dan sulit untuk dicabut akarnya.