Wawancara Khusus VOA dengan Mantan Anggota Jamaah Islamiyah, Ali Fauzi
Menurut Ali Fauzi yang juga mantan anggota kelompok teroris Front Pembebasan Islam Moro (MILF) Filipina, ada perintah khusus dari pimpinan kelompok teroris dunia Negara Islam Irak Suriah (ISIS) di Suriah agar seluruh kelompok militan di Indonesia segera melakukan aksi balas dendam atas kematian Santoso.
VOA : Kontak tembak terjadi di Poso antara satgas operasi Tinombala dengan kelompok Santoso yang berujung pada tewasnya Santoso dan Mukhtar. Apakah aka nada regenerasi berikutya?
Ali Fauzi : Kalau kita konstruksi tentang terorisme diIndonesia, mulai dari bom Bali 1, kemudian eksekusi dilakukan oleh Pemerintah. Imam Samudra, Amrozi dan Mukhlas dieksekusi. Lalu muncul dokter Azhari, lalu muncul lagi pemimpin baru Noordin M Top. Noordin M Top ini tewas tertembak di Solo muncul lagi penggantinya. Saya pikir pasca tewasnya Santoso ini juga akan ada pengganti dari Santoso. Entah itu dari Sulawesi atau dari Jawa saya belum bisa sebutkan. Tetapi yang jelas kebiasaannya jika leader pemimpin ini tewas akan muncul berikutnya.
VOA : Apakah ini berarti ada kegagalan dari Pemerintah dalam program deradikalisasi?
Ali Fauzi: Saya pikir kalau program deradikalisasi ini gagal tidak ya. Karena memang program deradikalisasi ini berat. Program untuk mengubah mindset dan hati seseorang itu tidak mudah. Yang perlu diwaspadai adalah pasca tewasnya Santoso. Saya membaca di banyak facebook, kelompok Santoso ini banyak yang men-tweet fatwa terbaru dari juru bicara ISIS Syech Muhammad al-Adnani pasca tewasnya Santoso, dia menghimbau kepada member ISIS di Indonesia untuk memberikan aksi balasan atas tewasnya Santoso. Hal ini perlu diantisipasi oleh pihak TNI dan Polri khususnya.
VOA: Aksi balasan ini akan ditujukan ke siapa?
Ali Fauzi: Ya tentu sasaran kelompok ini adalah Polisi dan TNI. Karena kedua perangkat inilah yang aktif dalam operasi Tinombala. Kemudian juga karena member ini tidak semua ada di Poso tetapi ada juga di Jawa, tentu juga ini akan ada balasan. Kemungkinan member yang ada di Jawa akan melakukan aksi balasan. Karena memang, sisa-sisa pasukan Santoso masih ada Basri dan Alika Lora. Saya kira mereka akan melakukan serangan membabi buta di berbagai wilayah.
VOA : Kelompok-kelompok ini kan berserak di Indonesia Barat dan Timur, apakah kedepannya mereka akan bersinergi dan membentuk komando bersama?
Ali Fauzi: Saya pikir sentra komando itu tetap ada. Cuma karena kelompok ini sifatnya underground, tentu susunan kepemimpinan itu tidak di sharing ke publik. Saya yakin juga apabila di dalam tubuh Mujahidin Indonesia Timur (MIT) tidak ditemukan pengganti Santoso, tidak menutup kemungkinan akan diambil dari Mujahidin Indonesia Barat (MIB). Jadi kedua kelompok ini bersinergi di dalam melakukan aksi-aksi yang mereka lakukan. Santoso kalau saya ibaratkan sebagai “striker yang memicu trigger “ senjata M16 atau AK 47. Pertanyaan kemudian, ada playmakernya. Saya pikir playmaker inilah kemudian harus dicari. Siapa sebetulnya playmaker yang mengatur ritme serangan dan permainan. Jadi ada striker ada playmaker. Playmaker ini bisa ada di Jawa, bisa di dalam penjara, yang jelas terkait dengan kelompok Santoso.
___________
Ali Fauzi Manzi adalah adik kandung terpidana mati Bom Bali, Amrozi, dan terpidana seumur hidup Ali Imron. Pada 1998, Ali ditunjuk sebagai kepala instruktur perakitan bom Jamaah Islamiyah (JI) Wakalah (wilayah) Jawa Timur.
Tahun 2000 Ali keluar dari JI dan bergabung dengan kelompok Kompak (Komite Penanggulangan Krisis) sebagai kepala instruktur pelatihan militer milisi Ambon dan Poso. Ia juga melatih milisi Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera bahkan dari Malaysia dan Singapura.
Tahun 2002, Ali Fauzi berangkat ke Mindanao, Filipina, dan mendirikan kamp pelatihan militer MILF bersama Abdul Matin, Umar Patek, Marwan (dari Malaysia), Mu’awiyah (dari Singapura) dan lainnya.
Tahun 2004 Ali ditangkap dan ditahan oleh kepolisian Filipina dan dipulangkan ke Indonesia pada 2006. Sejak tahun 2009 Ali menjadi peneliti bom dan teroris. Sehari-hari Ali aktif menjadi dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiah Lamongan, Jawa Timur, dan dosen tamu di beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Ali mengambil gelar Strata 2 Magister Studi Islam Universitas Muhammadiyah Surabaya, dan saat ini ia membantu polisi dalam menangani kasus-kasus teroris di Indonesia.