Saat al-Qaida menyerbu kota pelabuhan Mukalla di Yaman bulan lalu, para komandan grup ini segera mencapai kesepakatan untuk berbagi kekuasaan dengan para pemimpin suku setempat. Tidak ada slogan-slogan jihad yang dikumandangkan. Al-Qaida bahkan mengeluarkan pernyataan yang membantah rumor bahwa mereka melarang musik ataupun tidak membolehkan pria mengenakan celana pendek.
Seorang dewan suku lokal kini memerintah kota tersebut.
Pendekatan al-Qaida ini bertolak belakang dengan rival al-Qaida, kelompok yang menamakan dirinya Negara Islam, yang terkenal dengan kebrutalannya.
Dalam persaingannya dengan kelompok Negara Islam dalam merekrut kader dan membangun wibawa di Timur Tengah, al-Qaida berusaha membedakan diri mereka dari rival mereka yang haus darah, dengan mengambil pendekatan yang dalam lingkaran jihad dianggap pragmatik. Mereka membangun aliansi dengan para tokoh lokal, bahkan musuh lama, untuk menguasai wilayah baru. Pemimpinnya, Ayman al-Zawahri, telah mengatakan kepada para pengikutnya untuk menghindari kebrutalan khas ISIS terhadap warga sipil guna menggalan dukungan dari masyarakat lokal.
Strategi itu sejauh ini berhasil, mendatangkan berbagai kemenangan bagi al-Qaida. Di Yaman, al-Qaida bahkan bisa muncul sebagai pemenang sesungguhnya di tengah serangan udara negara-negara Arab di bawah pimpinan Saudi yang menyasar target-target rival mereka lainnya, yaitu kelompok pemberontak Syiah atau Houthi yang didukung oleh Iran, yang telah mengambil alih sebagian besar Yaman.
Al-Qaida "adalah kuda Troya masa depan," ujar pejabat senior intelijen militer Yaman, Ali Sharif. Saat perang usai nanti dan meninggalkan kekosongan kekuasaan, katanya, "al-Qaida akan berperan... Mereka akan mengisi (kekosongan) dan mengambil alih kekuasaan."
Sementara Amerika Serikat dan Barat mungkin berharap bahwa persaingan antara al-Qaida dan kelompok Negara Islam akan saling melemahkan dua ancaman militan utama tersebut, masing-masing justru bermanuver untuk mendapat untung dari kekacauan di kawasan ini.
ISIS telah mencatat berbagai kemenangan besar beberapa tahun terakhir ini. Selama hampir dua dekade, al-Qaida tidak tertandingi sebagai organisasi teroris paling ditakuti di dunia. Tapi ISIS sudah mulai menyaingi, bahkan melampaui reputasi al-Qaida di beberapa tempat.
Di luar jantung ISIS di Suriah dan Irak, kelompok Negara Islam telah menanamkan bendera mereka di berbagai tempat di dunia. ISIS mengalahkan al-Qaida di Libya, di mana cabang eksternal ISIS mengendalikan beberapa kota dan sebagian besar sekutu al-Qaida sudah beralih dan menyatakan sumpah setia kepada ISIS. Para militan di Semenanjung Sinai di Mesir dan Boko Haram yang ditakuti di Nigeria --yang pernah dikaitkan dengan al-Qaida-- juga telah menyatakan sumpah setia mereka kepada pemimpin Negara Islam, Abu Bakr al-Baghdadi.
Mungkin yang lebih penting, kelompok Negara Islam memiliki dinamika dan semangat yang telah tampak memudar untuk al-Qaeda. Deklarasi ISIS akan berdirinya sebuah "khalifah" di Irak dan Suriah menginspirasi arus ribuan pejuang asing untuk bergabung dan bagi militan dari wilayah tersebut untuk menyatakan sumpah setia mereka. Kebrutalan kelompok ini -- mulai dari pemancungan hingga perbudakan perempuan dari kelompok agama minoritas -- dipandang oleh para pendukungnya sebagai bukti kemurnian dan tekadnya untuk menegakkan hukum agama.
Ini telah membantu mendorong kelompok Negara Islam untuk secara agresif mencapai terobosan di daerah-daerah yang sudah lama menjadi medan para rival mereka.
Di Afghanistan, di mana Taliban, salah satu sekutu utama al-Qaida, telah mendominasi, para militan muda yang merasa frustrasi dengan lambatnya kemajuan dalam pemberontakan Taliban selama 14 tahun, melihat adanya prospek pada ISIS. Di bulan Februari, para mantan komandan Taliban di provinsi Zabul bagian selatan "mengganti bendera putih Taliban mereka dengan bendera hitam" ISIS dan menjadi otak penculikan 31 warga Syiah, menurut pemimpin senior Syiah Afghanistan, Mohammad Mohaqiq.
"Ini adalah lahan untuk berkembang biak yang sangat subur" bagi kelompok Negara Islam, menurut Nader Nadery, direktur think tank Unit Riset dan Evaluasi Afghanistan.
Di Timur Tengah, sejumlah ulama terkemuka pendukung jihad yang menjadi pembimbing spiritual para militan kini terpisah, antara mendukung ISIS atau al-Qaida. Keretakan ini dapat terlihat di media sosial, di mana kedua sisi saling menghina satu sama lain.
Para pendukung al-Qaida mengolok-olok ISIS ketika pasukan-pasukan Irak dan milisi Syiah mengambil alih kembali kota Tikrit dari tangan ISIS bulan lalu. "Setelah semua darah yang tumpah atas nama khayalan akan sebuah khalifah, sudahkah Anda menyadari bahwa menyatakan berdirinya sebuah negara atau emirat hanya merugikan kaum Muslim dan jihad?" menurut sebuah tweet dari akun dengan nama Jabal al-Aiza.
Para pendukung kelompok Negara Islam balik menuduh al-Qaida berpihak dengan musuh Islam yang menentang kekhalifahan. Seorang tokoh pro-ISIS di Twitter, Abu Khatab al-Yemeni, mengecam cabang al-Qaida di Yaman yang bersekutu dengan milisi anti-Islamis yang "pernah dicap sebagai orang yang mengingkari agama."
Dengan membangun kemitraan, al-Qaida pada dasarnya berharap ISIS akan melemah setelah habis-habisan melawan serangan balasan dari dunia Arab dan Barat yang menentang kekhalifahannya, sementara jaringan teror al-Qaida menjadi semakin kuat dengan berbagai aliansi yang mereka bentuk.
Walaupun begitu, bukan berarti al-Qaida menjadi lebih moderat. Pada dokumen tahun 2013 bernama "Pedoman Umum bagi Aksi Jihad," pemimpin al-Qaida al-Zawahri menggarisbawahi bahwa prioritas kelompok ini adalah untuk menyerang "pemimpin kaum kafir, Amerika Serikat dan Israel, dan para sekutu (Arab) mereka."
Pada saat yang sama, pedoman tersebut menyatakan militan al-Qaida harus menghindari membunuh warga sipil dalam rangka menggalang dukungan dari masyarakat setempat. Mereka tidak akan membunuh warga sipil Syiah, walaupun kelompok tersebut menganggap Syiah kafir, maupun keluarga dari musuh mereka. Mereka tidak akan menyakiti warga Kristen ataupun membom masjid-masjid ataupun tempat-tempat lain di mana warga sipil berkumpul.
Di Suriah, salah satu barisan al-Qaida, Front al-Nusra, menjadi kekuatan terbesar di luar wilayah-wilyah yang dikuasai kelompok Negara Islam. Bulan lalu, al-Nusra bekerjasama dengan faksi-faksi pemberontak lainnya, termasuk para pemberontak yang didukung oleh Arab Saudi, Turki dan Qatar, untuk merebut kota Idlib di barat laut dan wilayah di selatan, kemenangan terbesar dalam beberapa tahun terakhir ini atas Presiden Bashar al-Assad.
Di Yaman, al-Qaida telah ditolong oleh perang terhadap pemberontak Houthi yang menguasai ibukota, Sana'a, dan sebagian besar daerah di utara, dan sedang berusaha mengambil alih daerah selatan setelah berhasil mengusir presiden yang diakui dunia internasional, Abed Rabbo Mansour Hadi, ke luar negeri.
Al-Qaida "telah muncul sebagai salah satunya kekuatan tempur yang nyata melawan Houthi," ujar Adaki Oren, seorang analis dari Long War Journal, yang memantau kelompok-kelompok militan. "Mereka telah menempatkan diri mereka sebagai garda depan mayoritas Sunni."
Al-Qaida merebut Mukalla, ibukota provinsi terbesar di Yaman, Hadramawt, pada awal April. Al-Qaida datang membawa arus senjata dan uang tunai. Tapi kelompok ini dengan segera menghilang ke latar belakang. Sebuah kelompok gabungan dengan nama Sons of Hadramawt menguasai Mukalla. Kelompok tersebut terdiri dari para pejuang suku, pemuda lokal dan militan al-Qaida. Sebuah dewan lokal menjalankan lembaga-lembaga pemerintah di kota tersebut dan bahkan memperoleh dukungan dari gubernur Hadramawt, menurut juru bicara dewan setempat, Lutfi bin Saadon, kepada AP.
Saat muncul rumor bahwa al-Qaida menerapkan peraturan syariah yang ketat di Mukalla, termasuk tidak membolehkan adanya musik di pesta-pesta dan melarang "qat," tembakau yang dikunyah oleh masyarakat Yaman, kelompok ini mengeluarkan pernyataan yang menepis dugaan tersebut dan menyebut rumor disebarkan mereka yang tidak setuju suku-suku setempat bekerja sama dengan al-Qaida.
Kelompok ini mengatakan mereka tidak akan memerintah wilayah yang mereka rebut karena akan mengganggu pertempuran mereka melawan Houthi dan tujuan utama mereka menargetkan Amerika Serikat -- sekaligus menghindari kemungkinan serangan pesawat tak berawak AS yang telah menewaskan beberapa tokoh utama mereka.
Walaupun begitu, pengaruh al-Qaida terhadap para pejuang lokal tetap mengkhawatirkan bagi warga Yaman. Di sebelah selatan, al-Qaida telah bersekutu dengan milisi lokal, menjadi tulang punggung bagi para laskar anti-Houthi.
"Sel-sel sleeper al-Qaida kini bangun, berkat para Houthi," ujar seorang aktivis di daerah selatan Yaman, Adnan Agam. "(Yaman) Selatan akan menjadi Afghanistan baru... Tidak hanya akan ada satu atau dua kota di bawah kendali Al-Qaida, tapi seluruh daerah selatan."