Ketika Perdana Menteri baru Israel Naftali Bennett bertemu dengan Presiden AS Joe Biden di Washington baru-baru ini, kedua pemimpin tersebut mengatakan bahwa Iran menjadi topik pembicaraan utama.
Kerja sama Amerika-Israel ini sangat penting, menurut mantan Perdana Menteri Israel Ehud Barak dalam sebuah wawancara eksklusif dengan VOA.
“Kita harus duduk di balik pintu tertutup dengan pemerintah Amerika, dan pertama-tama menyepakati bahasa yang sama – apa artinya “terobosan”, apa artinya “ambang”, apa artinya “senjata nuklir,” kemudian untuk memastikan bahwa kita memiliki kecerdasan yang cukup untuk mengetahui apa yang akan terjadi, dan mengklarifikasi kemungkinannya,” ujar Barak.
Sejak Presiden Donald Trump, ketika itu, menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran pada 2018, pengawas nuklir PBB (Badan Tenaga Atom Internasional atau IAEA) mengatakan Iran telah meningkatkan pengayaan uraniumnya dan mencegah akses para inspektur internasional ke fasilitas nuklirnya.
Program nuklir Iran memicu peringatan keras oleh Perdana Menteri Israel Naftali Bennett dalam pidatonya baru-baru ini di Majelis Umum PBB. “Program nuklir Iran telah mencapai titik kritis, dan begitu pula toleransi kita. Kata-kata tidak menghentikan berputarnya sentrifugal. Ada orang-orang di dunia yang tampaknya melihat upaya pembangunan senjata nuklir Iran sebagai kenyataan yang tidak terhindarkan, sebagai kesepakatan yang sudah selesai, atau mereka sudah bosan mendengarnya. Israel tidak memiliki hak istimewa itu. Kita tidak boleh lelah. Israel tidak akan membiarkan Iran memiliki senjata nuklir.”
IAEA mengatakan Iran telah mulai memperkaya uranium hingga 60 persen, tetapi tahap pengayaan berikutnya, hingga 90 persen, akan lebih sulit dideteksi, kata Ehud Barak, yang juga kepala staf Angkatan Pertahanan dan Menteri Pertahanan Israel.
“Pengayaan dari 60 persen menjadi 90 persen, yang dibutuhkan untuk keperluan militer, dapat dilakukan dengan sangat singkat. Itu dapat dilakukan di tempat kecil yang terisolasi, baik tersebar di wilayah sipil atau bahkan terkubur sangat dalam di beberapa tambang tua. Seluruh dunia, IAEA di Wina, tidak akan dapat mengendalikan atau memeriksanya lagi,” tambah Barak.
Selama beberapa tahun terakhir, berbagai laporan berita mengatakan Israel telah melakukan serangan sabotase terhadap program nuklir Iran. Baru-baru ini kepala staf Pasukan Pertahanan Israel menyatakan bahwa rencana serangan militer telah “sangat dipercepat.” Beberapa analis mengatakan bahwa tindakan Israel harus dikoordinasikan dengan negara-negara kuat lainnya.
Menashe Amir adalah seorang analis dengan perhatian khusus pada Iran. “Israel memiliki opsi militer, tetapi itu bukan solusi yang baik karena Israel tidak harus sendirian untuk perjalanan ini. Israel membutuhkan dua hal – dukungan strategis dan logistik dari Amerika Serikat, dan dukungan politik dari Eropa, Inggris dan Prancis, dan seterusnya.”
Terpilihnya presiden baru garis keras Iran, Ebrahim Raisi, telah menimbulkan kekhawatiran Israel tentang ambisi nuklir Teheran, seperti diungkapkan oleh David Menashri, analis di Pusat Studi Iran di Tel Aviv.
“Saya sangat prihatin karena membayangkan Iran dengan ideologi radikal seperti itu, dengan rezim pemerintah seperti itu, yang dikendalikan oleh kaum konservatif. Fakta bahwa Iran memiliki kemampuan ini akan mengubah situasi geo-strategis di kawasan itu.”
Ehud Barak dan para pejabat senior Israel lainnya juga khawatir jika Iran menjadi negara nuklir, maka hal itu akan memicu perlombaan senjata nuklir di Timur Tengah, yang selanjutnya membuat kawasan yang bergejolak itu menjadi semakin tidak stabil. [lt/em]