Peraturan-peraturan diskriminatif itu antara lain larangan aktivitas kelompok Ahmadiyah, pelarangan kegiatan Asyura, atau pencabutan izin rumah ibadah. Di samping itu, ada pula peraturan yang mewajibkan praktik agama tertentu kepada masyarakat umum.
Neng Hannah dari Jaringan Advokasi Jabar mengatakan, aturan-aturan semacam ini tanpa disadari melakukan diskriminasi. “Itu juga nyaman untuk satu agama, tapi tidak nyaman untuk agama yang lain,” ujarnya dalam diskusi di Bandung, Selasa (23/7) sore.
Aturan-aturan ini muncul pada level provinsi maupun kabupaten/kota dengan beragam jenis. Paling banyak, aturan muncul di Cianjur (10 buah), Kota Tasikmalaya (5 buah), dan Kota Bogor (3 buah).
Perda Agamis Hasil Transaksi Politik
Sementara itu, hasil riset Task Force Jawa Barat mengungkap, peraturan-peraturan bernafaskan agama merupakan hasil transaksi politik caleg dan pemilih. Koordinator Task Force Jabar, Ni Loh Gusti Madewanti, mengatakan banyak caleg berjualan isu identitas saat berkampanye.
“Kalau saya jadi caleg, biar saya kepilih, saya menyebarkan isu-isu yang orang bisa simpati sama saya. Dan saya tidak memilih isu-isu yang sebenarnya toleransi atau keberagaman. Tapi saya memilih isu yang kayaknya orang akan pro kepada saya. Misalnya isu-isu yang sensitif,” jelasnya dalam kesempatan yang sama.
Riset ini mengungkap, peraturan agamis diterbitkan oleh politisi, baik dari parpol agamis maupun parpol nasionalis. Malahan, partai-partai yang mengaku nasionalis tidak punya platform toleransi.
“Dampaknya adalah ketika mereka duduk di lembaga legislatif, memproduksi kebijakan kebijakan tertentu, yang terjadi adalah balutannya adalah perspektif agama masing-masing,” imbuh Madewanti.
Berdasarkan pemetaan yang dilakukan oleh Task Force Jabar terhadap 16 parpol, tambah Madewanti, hanya Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang dinilai punya platform toleransi.
Jawa Barat Dipuji Karena Mulai Berbenah
Direktur Eksekutif Setara Institute, Ismail Hasani, mengatakan peraturan diskriminatif di Jabar berkaitan dengan tingginya angka intoleransi. Provinsi ini bertahun-tahun masuk tiga besar kasus intoleransi terbanyak se-Indonesia.
Karena itu, Ismail mendorong Jabar meninjau 91 peraturan lewat pendirian Pusat Hukum Daerah. Namun, dia juga memuji sejumlah kebijakan pro-toleransi yang sudah muncul.
“Nah kalau sekarang ada semacam rekognisi atas berbagai macam temuan riset. Lalu mereka berbenah. Itu yang kami merasa bahwa teman-teman NGO, kampus, jurnalis, itu juga telah memberikan kontribusi pada kebijakan-kebijakan itu,” jelasnya.
Ismail mengatakan, Gubernur Jabar Ridwan Kamil membentuk kelompok kerja (pokja) kerukunan umat beragama. Beberapa langkah baik juga muncul di Bekasi, Bogor, dan Kuningan.
“Tidak lagi terus-menerus membukukan prestasi Jabar sebagai daerah intoleran dengan pelanggaran tertinggi, saya kira itu harus diakhiri. Dan kita harus bergerak mendorong munculnya kebijakan-kebijakan toleran di Jawa Barat,” tambah dosen UIN Jakarta ini.
Setara mencatat, Provinsi DI Yogyakarta dan Kota Tanjung Balai, Sumatera Utara, juga punya inisiatif toleransi yang sama. [rt/uh]