WASHINGTON —
Hillary Clinton meninggalkan Departemen Luar Negeri Amerika sebagai perempuan yang paling dikagumi di dunia yang telah membangun kembali hubungan yang rusak karena perang di Afghanistan dan Irak sambil menggeser aset-aset Amerika ke Asia-Pasifik. Tetapi, ia mengatakan tujuan hidupnya adalah memberdayakan perempuan.
“Adalah tidak masuk akal ketika negara berusaha membangun ekonomi yang kuat dan demokrasi yang stabil, tetapi memperlakukan separuh penduduknya sebagai warga kelas dua ataupun sebagai makhluk yang lebih rendah lagi. Di banyak tempat seperti itulah perempuan diperlakukan. Mereka hanya punya sedikit hak politik atau tidak sama sekali, mereka menjadi objek kekerasan yang keji, kesehatan dan bahkan hidup mereka juga diremehkan,” ujar Clinton.
Wakil Direktur Human Rights Watch Washington, Sarah Margon, mengatakan, Clinton menempatkan hak-hak perempuan sebagai inti kebijakan luar negerinya. “Kemauannya dan, bahkan, semangatnya untuk bertemu dengan kelompok-kelompok masyarakat madani adalah indikasi nyata bahwa kebijakan luar negeri bukan hanya sekedar hubungan antar pemerintah, tapi juga melibatkan semua kelompok,” paparnya.
Pengamat masalah Sub-Sahara Afrika pada Pusat Kajian Strategis dan Internasional (CSIS) Jennifer Cooke mengatakan, Clinton mendorong isu pertanggungjawaban dalam kasus pelecehan perempuan di Republik Demokratik Kongo. “Ia meninggalkan warisan diplomasi yang kuat apakah di Kenya, Pantai Gading, dan Senegal untuk mengatasi isu besar di DRC ini,” katanya.
Tetapi, Clinton juga dikecam. Dalam kasus Suriah, ia dikecam karena tidak melakukan tindakan yang cukup untuk membantu kelompok-kelompok oposisi Presiden Bashar Al-Assad.
Ia juga mengundang kecaman atas kegagalan keamanan di Libya – di Konsulat Amerika di Benghazi, di mana empat warga Amerika tewas dalam serangan teroris bulan September lalu.
Clinton mengatakan, “Jelas, tewasnya warga Amerika di Benghazi adalah sesuatu yang sangat saya sesali dan saya bekerja keras untuk memastikan kita melakukan segala yang bisa untuk mencegahnya. Tetapi kita juga harus mengerti sejak awal bahwa kita tidak akan bisa mengontrol semuanya.”
Pengamat dari Lembaga Cato Malou Innocent mengatakan, pengalaman Clinton sebagai menteri luar negeri akan menjadi aset jika ia mencalonkan diri lagi sebagai presiden. “Jelas sebagai pengamat kebijakan luar negeri di Washington DC, kami bisa mengecam Clinton di sana-sini, tetapi bagi sebagian rakyat Amerika, mereka akan melihat kinerja Clinton yang sangat luar biasa. Jelas itu akan membantunya tahun 2016,” ujarnya.
Tetapi. setelah kalah dalam nominasi partai tahun 2008, Clinton mengatakan tidak terpikirkan olehnya untuk mencalonkan diri lagi.
“Saya memutuskan masa depan saya sendiri. Saya sekarang belum tertarik untuk mencalonkan diri, tetapi saya akan lakukan sebisa mungkin untuk memastikan agar perempuan bersaing di tingkat tertinggi tidak hanya di Amerika, tapi di seluruh dunia,” kata Clinton lagi.
Clinton bergurau bahwa hal pertama yang akan ia lakukan segera setelah meninggalkan Washington adalah tidur karena ia kurang tidur selama 20 tahun terakhir.
“Adalah tidak masuk akal ketika negara berusaha membangun ekonomi yang kuat dan demokrasi yang stabil, tetapi memperlakukan separuh penduduknya sebagai warga kelas dua ataupun sebagai makhluk yang lebih rendah lagi. Di banyak tempat seperti itulah perempuan diperlakukan. Mereka hanya punya sedikit hak politik atau tidak sama sekali, mereka menjadi objek kekerasan yang keji, kesehatan dan bahkan hidup mereka juga diremehkan,” ujar Clinton.
Wakil Direktur Human Rights Watch Washington, Sarah Margon, mengatakan, Clinton menempatkan hak-hak perempuan sebagai inti kebijakan luar negerinya. “Kemauannya dan, bahkan, semangatnya untuk bertemu dengan kelompok-kelompok masyarakat madani adalah indikasi nyata bahwa kebijakan luar negeri bukan hanya sekedar hubungan antar pemerintah, tapi juga melibatkan semua kelompok,” paparnya.
Pengamat masalah Sub-Sahara Afrika pada Pusat Kajian Strategis dan Internasional (CSIS) Jennifer Cooke mengatakan, Clinton mendorong isu pertanggungjawaban dalam kasus pelecehan perempuan di Republik Demokratik Kongo. “Ia meninggalkan warisan diplomasi yang kuat apakah di Kenya, Pantai Gading, dan Senegal untuk mengatasi isu besar di DRC ini,” katanya.
Tetapi, Clinton juga dikecam. Dalam kasus Suriah, ia dikecam karena tidak melakukan tindakan yang cukup untuk membantu kelompok-kelompok oposisi Presiden Bashar Al-Assad.
Ia juga mengundang kecaman atas kegagalan keamanan di Libya – di Konsulat Amerika di Benghazi, di mana empat warga Amerika tewas dalam serangan teroris bulan September lalu.
Clinton mengatakan, “Jelas, tewasnya warga Amerika di Benghazi adalah sesuatu yang sangat saya sesali dan saya bekerja keras untuk memastikan kita melakukan segala yang bisa untuk mencegahnya. Tetapi kita juga harus mengerti sejak awal bahwa kita tidak akan bisa mengontrol semuanya.”
Pengamat dari Lembaga Cato Malou Innocent mengatakan, pengalaman Clinton sebagai menteri luar negeri akan menjadi aset jika ia mencalonkan diri lagi sebagai presiden. “Jelas sebagai pengamat kebijakan luar negeri di Washington DC, kami bisa mengecam Clinton di sana-sini, tetapi bagi sebagian rakyat Amerika, mereka akan melihat kinerja Clinton yang sangat luar biasa. Jelas itu akan membantunya tahun 2016,” ujarnya.
Tetapi. setelah kalah dalam nominasi partai tahun 2008, Clinton mengatakan tidak terpikirkan olehnya untuk mencalonkan diri lagi.
“Saya memutuskan masa depan saya sendiri. Saya sekarang belum tertarik untuk mencalonkan diri, tetapi saya akan lakukan sebisa mungkin untuk memastikan agar perempuan bersaing di tingkat tertinggi tidak hanya di Amerika, tapi di seluruh dunia,” kata Clinton lagi.
Clinton bergurau bahwa hal pertama yang akan ia lakukan segera setelah meninggalkan Washington adalah tidur karena ia kurang tidur selama 20 tahun terakhir.