Sejak lima tahun terakhir, aparat keamanan Indonesia terus melakukan penangkapan anggota JAD di Tanah Air. Upaya ini semakin gencar pada periode di mana anggota atau simpatisan organisasi tersebut baru saja melakukan aksi kekerasan. Namun, ini tidak mudah karena sel JAD lebih mandiri dan tidak terikat pada struktur utama.
Dalam perbincangan dengan VOA, peneliti terorisme asal Australia Jordan Newton, mengurai sejarah JAD, di mana ide sebuah organisasi pro-ISIS di Indonesia pertama muncul pada 2014. Ketika itu, sejumlah ekstremis Indonesia melakukan baiat atau janji setia kepada ISIS. Salah satu tokoh utamanya adalah Aman Abdurrahman, yang berbaiat dari dalam penjara.
“Mereka berharap untuk membentuk sebuah kelompok yang bertindak sebagai jembatan, antara ekstremis di Indonesia dan militan di Suriah dan Irak. Mereka berharap suatu hari akan menjadi provinsi resmi ISIS di Indonesia,” papar Jordan.
Jordan Newton adalah konsultan program-program melawan ektremisme dengan kekerasan dan telah bertahun-tahun mengkaji gerakan radikal di Indonesia. Dia juga mantan analis kontraterorisme yang bekerja untuk pemerintah Australia.
Sejarah Singkat JAD
Pada November 2015, JAD resmi berdiri di Batu, Jawa Timur, dan segera menarik ekstremis kelompok lain. Mereka terutama sisa-sisa simpatisan Darul Islam dan NII, anggota Jemaah Ansharut Tauhid (JAT) binaan Abu Bakar Ba'asyir, dan simpatisan organisasi lain, seperti Majelis Mujahidin Indonesia dan Front Pembela Islam (FPI).
Jordan menyebut, JAD mengarahkan dan mendukung serangan teroris Thamrin 2016 yang dipuji ISIS. Mereka terlibat bom bunuh diri 2017 yang menarget polisi di Kampung Melayu dan bom bunuh diri 2018 yang menarget gereja dan polisi di Surabaya.
“Serangan paling merusak dari serangan-serangan ini adalah pengeboman Surabaya 2018, meskipun dalam serangan tersebut mungkin peran JAD sangat sedikit, karena sebagian besar perencanaan dan pelaksanaan diserahkan kepada sel kecil dalam keluarga yang terlibat,” tambah Jordan.
Namun, secara umum aksi JAD lebih sering gagal. Aksi Thamrin 2016 dikritik ekstremis lain dan mantan anggota JI karena tidak berhasil dan senjata yang digunakan berkualitas rendah. Ada juga pengeboman yang gagal di Bandung pada 2017, ledakan dini di Sidoarjo 2018 serta serangan yang hanya menjadikan anggota JAD sebagai korban dan bukan polisi sebagai target, seperti yang terjadi di Tuban pada 2017 dan Cirebon pada 2018.
“Kadang sulit mengetahui kapan JAD benar-benar terlibat penyerangan. Bagi polisi, JAD menjadi sebutan untuk pendukung ISIS. Dalam beberapa tahun terakhir, ketika polisi menyebut seseorang sebagai “anggota JAD”, maka yang mereka maksud adalah pendukung ISIS,” papar Jordan.
Sebutan ini lebih tepat, karena sejumlah pelaku serangan tidak berkontak dengan JAD, tetapi mendukung ISIS. Mereka menjadi radikal karena teman atau mengakses propaganda di media sosial. Karena investigasi masih berlangsung terkait serangan di Makassar dan Mabes Polri, Jordan menyarankan untuk tidak terburu-buru mengambil kesimpulan. Informasi awal, ujarnya, menunjukkan bahwa serangan itu dilakukan oleh pendukung ISIS, bukan anggota JAD.
“Pakar seperti Sidney Jones bahkan menekankan bahwa mengatakan penyerang Makassar berasal dari JAD Makassar adalah kesimpulan yang problematik, karena ada perpecahan dan cabang-cabang yang terpisah di JAD Makassar,” tambahnya.
Seiring waktu, kata Jordan, JAD sebagai label menjadi kurang membantu untuk memahami kelompok ekstremis. Lebih banyak ekstremis mengidentifikasi diri mereka sebagai pendukung ISIS atau Anshar Daulah daripada sebagai anggota JAD. Mereka saling terkait, bukan oleh organisasi, tetapi komitmen bersama terhadap ideologi ISIS dan keinginan melawan pemerintah Indonesia.
Satuan kontraterorisme Indonesia, tambah Jordan, menjadi bagian penting yang membuat JAD sering gagal beraksi. Polisi menangkap ratusan anggota JAD sejak 2016, khususnya setelah pemboman Surabaya 2018. Penerapan undang-undang kontraterorisme baru membuat mereka lebih agresif menangkap anggota JAD, bahkan ketika mereka baru pada tahap awal rencana aksi. “Organisasi” nasional JAD sekarang vakum, sementara sejumlah cabang lokal terus aktif, tetapi mayoritas hanya memiliki sedikit kontak atau koordinasi dengan cabang lain.
Aksi Saling Terkait
Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia, Muhammad Syauqillah, kepada VOA mengatakan ada sejumlah kaitan yang bisa menghubungkan pelaku aksi di Indonesia akhir-akhir ini dengan ideologi ISIS.
“Ada kesamaan kalau kita lihat dari sisi ISIS. Ada warga negara Indonesia yang pergi ke Suriah, salah satu motivasinya adalah dia berjihad, di mana dengan berjihad dia bisa memberikan syafaat. Persis seperti apa yang dilakukan oleh Zakiah Aini, di mana dia juga punya keiginan untuk memberikan syafaat,” ujar Syauqillah.
Syafaat secara sederhana dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memberikan keselamatan bagi orang-orang terdekat dari hukuman akibat dosa yang dilakukan. Dalam surat wasiat pelaku bom dan serangan ke Mabes Polri baru-baru ini, hal tersebut memang disinggung.
Selain itu, penanda keterkaitan pelaku aksi JAD dan ISIS adalah keterlibatan perempuan. Di era Jamaah Islamiyah, laki-laki lebih berperan sebagai martir dan perempuan menjadi bagian pendukung. Sementara ISIS menempatkan perempuan juga sebagai aktor utama.
Kecenderungan ini, kata Syauqillah, tergambar dalam Global Terorism Index 2019 dan 2020, yang mencatat naiknya peran anak muda dan perempuan dalam aksi terorisme selama lima tahun terakhir. Syauqillah juga mengutip data penelitian yang menyebut hampir separuh dari sekitar 200 pelaku teror berusia 21-40 tahun, sedang 54 dari 200 itu rentang usianya 21-30 tahun.
“Yang tergabung dengan ISIS banyak yang berusia muda, orang Indonesia yang pergi ke Suriah juga banyak generasi muda,” tambah Ketua Program Studi Kajian Terorisme SKSG UI ini.
Struktur organisasi JAD juga tidak begitu jelas dengan aksi yang cenderung sporadis dan kadang dilakukan sendiri atau lone wolf. Sementara JI sangat rapi, setidaknya tergambar dari kemampuan mereka mengorganisir upaya pendanaan yang melibatkan lebih dari 13 ribu kotak amal, seperti diungkap kepolisian akhir tahun lalu, lanjut Syauqillah.
Karena berbagai ketidakjelasan terkait JAD inilah, pencegahan berperan penting. Program kontra narasi, kontra radikalisasi, kontra terorisme, dan program sejenis harus terus didorong. Semangatnya adalah mencegah seseorang terpapar dan menjadi bagian dari kelompok teroris. Ditegaskan Syauqillah, operasi penangkapan yang terus dilakukan polisi memang legal.
“Karena perencanaan tindak pidana teror itu dimungkinkan untuk ditangkap. Kalau kita lihat, 228 pelaku tindak pidana terorisme di tahun 2020 itu kan kebanyakan perencanaan teror. Jadi secara hukum dilegalkan menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 2018,” kata Syauqillah.
Semangat Undang-Undang Terorisme, ujarnya lagi, adalah mencegah orang melakukan tindakan teror dan mencegah agar seseorang tidak melakukan atau terpapar ideologi terorisme. Tantangannya adalah kemampuan melakukan kontra narasi sebagai upaya pencegahan dan itu membutuhkan kerja keras.
“Apalagi ini sasarannya milenial, tantangannya adalah soal teknologi digital,” pungkas Syauqillah. [ns/ab]