Sejak 19 tahun belakangan ini, diaspora Indonesia, Geliga Purnama, menjalani profesi sebagai distributor untuk beragam produk roti dan kukis di bawah beberapa perusahaan miliknya di Amerika.
Pria asal pulau Bangka ini memiliki lima rute distribusi, yang masing-masing melayani 7 hingga 14 toko di negara bagian Virginia dan Maryland.
“Kita mempunyai hak distributor dari pabrik roti sama kukis, untuk mendistribusikan produk mereka ke beberapa daerah yang memang sudah menjadi hak untuk kita distribusikan,” ujar Geliga Purnama kepada VOA.
Satu rute distribusi biasanya dikerjakan oleh satu karyawan. Sebagai distributor, Geliga menyiapkan lima armada truk, beserta bensin dan asuransi yang diperlukan.
“Asuransi untuk bisnis, asuransi kecelakaan untuk drivernya. Kalau ada apa-apa kan waktu dia sedang menjalankan pekerjaan itu menjadi tanggung jawab kita,” jelas Geliga.
Bisnis yang Cuan
Bisa memiliki rute distribusi untuk sebuah produk seperti roti atau kukis menurut Geliga adalah bagaikan investasi. Saat pertama kali menjalankan bisnis ini pada tahun 2005, satu rute bisa ia dapatkan dengan harga 150 ribu dolar Amerika atau hampir setara dengan 2.4 miliar rupiah.
“Kalau sekarang satu rute itu sekitar antara 600 ribu sampai 700 ribu (dolar Amerika) (red.setara dengan 9.5-11 miliar rupiah),” katanya.
Geliga menambahkan, tidak hanya meraih penghasilan setiap minggunya, namun dengan bertambahnya tahun, nilai rute tersebut juga kian meningkat, “paling tidak satu kali lipat pada saat tahun ke-5 atau tahun ke-10.”
Masing-masing rute distribusi Geliga bisa menghasilkan sekitar 16 ribu dolar Amerika atau setara dengan 254 juta rupiah per minggu. Sesuai dengan kontrak yang ia miliki dengan pabrik yang memproduksi roti dan kukis, distributor akan meraih 20 persen dari penghasilan tersebut. Pihak pabrik akan meraih sisanya.
Menurut Geliga, bisnis ini menguntungkan, mengingat pembagian hasilnya berdasarkan komisi, atau harga jual di setiap masing-masing toko.
“Kita semua tau itu kan inflasi. Harga barang itu setiap tahun meningkat. Jadi sebagai perbandingan semenjak awal saya berbinisis itu tahun 2005. Itu awalnya harga roti itu 1 dolar 50 sen (red.24.000 rupiah). Dua puluh tahun kemudian itu hampir 6 dolar (red.95.ribu rupiah),” tambahnya.
Berdasarkan pengalaman, penjualan roti biasanya meningkat di musim panas mengingat gaya hidup warga di Amerika yang gemar melakukan piknik dan memasak ala barbeque.
Sebaliknya, pada musim dingin, giliran kukis yang laris manis, karena banyak diborong oleh keluarga sebagai bekal camilan untuk anak-anak yang kembali masuk sekolah setelah liburan musim panas.
Walau menguntungkan, bisnis yang dijalankan oleh Geliga ini tak luput dari berbagai tantangan. Ketika karyawannya sakit atau berhalangan, ia harus siap turun tangan, mulai dari mengangkut roti-roti pada waktu dini hari dan mengendarai truk, serta mengatur agar seluruh toko-toko bisa tetap terlayani. Bagi Geliga, kerja keras adalah kunci yang menjadi modal menuju kesuksesan.
“Jam kerja kita nih, orang lagi tidur kita sudah di jalan. Jadi pagi-pagi kita sudah harus keluar, kita sudah harus ke toko-toko, kadang itu hujan, kadang itu snow (red.salju), dan kita tetap harus men-delivery semua produk kita,” tambahnya.
Kerja keras Geliga diakui oleh Armando Alfaro Parada yang akrab disapa AJ, manajer gudang tempat penyimpanan produk roti dan kukis di daerah Chantilly, Virginia. AJ sudah mengenal Geliga sejak tahun 2006 dan pernah bekerja untuknya.
“Dari situlah saya mempelajari bisnis ini. (Geliga) sangat hebat. Dia telah bekerja sangat keras untuk memastikan bisnisnya berada di tempat yang seharusnya, dan dia membuatnya jauh lebih besar daripada sebelumnya. Dia benar-benar sukses dalam apa yang dia lakukan,” ujar AJ kepada VOA.
Pengalaman Geliga dalam menjalankan bisnis ini juga tidak lepas dari kejadian lucu yang pernah ia alami, di mana ia sempat disangka hantu saat sedang mendorong dua rak roti yang tinggi keluar dari truknya, ketika hari masih gelap.
“Saya dorong dari belakang, terus di depan saya itu ada orang yang lagi (menyapu), lagi bersih-bersih. Terus dari jauh dia teriak, dia pikir rotinya berjalan sendiri, karena saya di belakang,” cerita Geliga sambil tertawa.
“Saya kaget, dia bilang ada ghost (red.hantu). Dia lihat kok roti jalan sendiri,” tambahnya.
Seni Menata Roti
Sebagai distributor, Geliga juga harus bisa memprediksi jumlah pesanan roti yang diperlukan dan mengatur strategi penataan roti di setiap toko agar bisa menarik perhatian pembeli, dan menghindari adanya roti yang kadaluarsa. Untuk itu ia pun harus mempelajari pola gaya belanja warga di Amerika
“Mereka biasanya (mengambil) yang paling depan, terus (mengambil) di tempat yang paling gampang. Mereka jarang yang mau nunduk atau ambil yang dari atas,” kata Geliga.
“Yang baru itu kita taruh di bawah, sama taruh di atas. Nanti hari berikutnya kita rotasikan,” jelasnya.
Tantangan lainnya adalah jika salju besar melanda. Tidak hanya harus bisa mengendarai truk di jalanan bersalju, tetapi ia juga harus siap untuk melakukan pesanan dengan jumlah yang berlipat ganda, agar tidak kekurangan produk jika truk tidak bisa sampai tepat waktu.
Bisnis Sambil Beramal
Hingga kini, melalui bisnisnya, Geliga bisa membuka lapangan pekerjaan bagi 5 karyawan, yang setiap harinya mulai bekerja sejak sekitar pukul 3 atau 5 pagi. Salah satunya, Abdain Witjaksono yang berasal dari Lombok dan sudah 3 tahun terakhir ini bekerja untuk Geliga.
“Bosnya Geliga kayak (keluarga)-lah, semuanya lancar saja, senang saja kerjaannya,” kata Abden.
Hampir setiap harinya, Abdain berkendara hingga hampir 65 km saat mengerjakan rutenya, untuk mendistribusikan kukis ke toko-toko di negara bagian Maryland.
“Sebetulnya kerjaan enggak susah ya, kalau ini masalah manajemen berdagang ya istilahnya, kita mencoba berkomunikasi dengan manajernya, manajer lapangan di toko itu gitu kan. Makin banyak komunikasi dengan mereka mungkin kita akan dikasih tempat gitu untuk menaruh barang-barang ini,” jelas Abdain.
Tidak hanya bisa membuka lapangan pekerjaan, satu hal yang disukai oleh Geliga dalam menjalankan bisnisnya ini adalah adanya kesempatan beramal. Ada kalanya produk roti yang sudah hampir habis masa jualnya harus ia tarik dari rak yang ada di toko, dan diganti yang baru. Produk roti dan kukis ini lantas ia donasikan kepada yang membutuhkan.
“Kita donasikan ke gereja, kita donasikan ke food bank, ke community-community dan kita juga kadang-kadang donasikan ke grup-grup pengajian kita yang ada di komunitas kita, dan grup arisan kita juga.”
Salah satu organisasi yang kerap menerima donasi dari Geliga adalah Sakinah, yang merupakan wadah untuk sedekah dan menimba ilmu bagi warga Muslim yang tinggal di negra bagian Virginia, Maryland, dan Washington, D.C.
“Beliau sering mendonasikan atau membawa kue-kue kukis, spesial kukis dan roti. Dan itu jumlahnya nggak terhitung ya. Beliau cuman nge-drop aja sebanyak mungkin, kemudian dari anggota ada yang bawa yang berkeinginan,” cerita Rini, perwakilan dari Sakinah.
“Otomatis happy ya, karena banyak yang bawa anak kecil juga, punya keluarga, jadi itu save money juga ya,” tambah Rini.
Dengan total sekitar 35 toko yang ada di jalur distribusi miliknya, ke depan Geliga berencana mengembangkan bisnisnya, dengan menambah rute, yang menurutnya kini sulit untuk dicari.
“Jadi masing-masing yang punya hak distributor itu kalau bisa dipegang terus,” ujarnya.
“Jadi rata-rata itu yang punya rute turun temurun dari kakeknya, ke anaknya, ke cucunya. Jadi semua rute itu udah dipegang orang-orang tertentulah,” tambahnya.
Data terkini dari Badan Sensus Amerika dan Survei Konsumen Nasional Simmons menunjukkan peningkatan jumlah orang yang mengonsumsi roti sejak tahun 2020 hingga tahun 2024 di Amerika.
Statistik itu mengungkap sebanyak 326.91 juta warga Amerika mengkonsumsi roti pada tahun 2020 dan diperkirakan meningkat hingga 335.49 juta pada tahun 2024.
Data yang sama juga menunjukkan bahwa jumlah warga Amerika yang mengonsumsi kukis siap saji meningkat dari 245 juta warga orang pada tahun 2020 menjadi 251.38 juta warga pada tahun 2024. [di/dw]
Forum