Ujung jubah para penari darwis yang berputar-putar dalam simfoni warna disko, merayakan penyair mistik sufi Rumi di sebuah pusat kebudayaan di Konya, Turki tengah.
Peziarah, turis, penggemar meditasi, dan orang-orang yang penasaran berkumpul di kota Anatolia yang luas, tempat Rumi – atau Mevlana begitu ia dikenal di Turki – menghabiskan sebagian besar hidupnya setelah diusir dari wilayah yang ini dikenal sebagai Afghanistan, pada abad ke-12 oleh bangsa penjajah Mongol.
Shukufe Seferi, seorang pemandu wisata dari Iran, berbicara tentang Rumi.
“Dia adalah karakter yang sangat terkenal, penyair yang terkenal. Puisi-puisinya, saya kira, sangat spiritual bagi orang Iran. Tidak hanya bagi orang Iran sebenarnya, tetapi bagi semua orang di seluruh dunia, menurut saya,” kata dia.
Tulisan-tulisan Rumi perlahan menyebar jauh ke luar Asia Tengah dan diakui dunia Barat. Legenda pop Madonna, mengadaptasi salah satu puisi Rumi. Sementara Beyonce, menamai putrinya dengan nama penyair ini.
Nuri Simsekler, pakar sastra Persia di Universitas Selcuk Konya, Turki, mengatakan,“Karya Rumi telah diterjemahkan ke hampir semua bahasa, dan di Amerika Serikat saja lebih, dari 250 buku didedikasikan untuknya”.
Rumi berbicara kepada semua manusia, menceritakan kepada kita tentang diri kita sendiri, lanjut Simsekler, tentang popularitas Rumi yang bertahan hingga tujuh abad setelah kematiannya.
Tarian Ritual
Ritual “sema”, yang menghormati warisan Rumi, dilakukan oleh para penari darwis yang mengenakan topi tinggi berwarna coklat muda, dengan tangan terentang yang anggun, berputar-putar mengikuti suatu ritme.
Ordo ini didirikan setelah kematian Rumi oleh putra dan keturunannya.
Diiringi suara seruling buluh dan rebana, sang penari darwis melepas jubah hitam panjangnya untuk menari, namun tetap mengenakan topi silindernya. Topi itu, yang disebut “sikke”, melambangkan batu nisan yang suatu saat akan berdiri di atas kuburnya.
Kemudian tarian dimulai. Mengulurkan tangan kanannya ke arah langit dan tangan kirinya ke tanah, penari darwis yang berputar itu menghadirkan tautan di antara keduanya.
“Rumi adalah orang pertama di dunia yang kematiannya tidak ditangisi melainkan dirayakan,” kata Simsekler.
Dari jendela kantornya, Esin Celebi Bayru dapat melihat dengan jelas kubah berwarna biru kehijauan yang berada di puncak makam leluhurnya yang termasyhur.
Kerumunan besar orang dari Turki dan Iran, di mana sang penyair juga merupakan ikon nasional, juga dari Inggris dan Singapura, diperkirakan merayakan “Malam Pernikahan” Rumi yang ke-750 di makamnya.
Peringatan besar kematiannya adalah kesempatan untuk membuatnya lebih dikenal, kata Celebi Bayru, keturunan generasi ke-22 dari penyair sufi tersebut.
“Jika dia masih hidup, dia pasti akan mengatakan hal-hal yang sangat indah. Namun bagi saya bagian terpenting atau salah satu ucapan terpenting adalah bahwa segala bentuk cinta adalah jembatan menuju cinta Ilahi,” kata Celebri Bayru.
Dia dan saudara laki-lakinya ikut mengetuai Yayasan Internasional Mevlana, yang didirikan pada 1996 di Konya untuk melestarikan warisan Rumi.
“Di masa perang seperti ini, kata-kata Mevlana bagaikan cahaya bagi kami,” kata dia mengenai banyaknya seruan toleransi dan perdamaian. “Orang-orang datang ke sini dari seluruh dunia,” tambahnya.
Doa atau Meditasi
Celebi Bayru mengatakan, dia baru-baru ini diundang untuk memberi ceramah di berbagai tempat yang jauh, seperti Hawaii, Australia, India dan Pakistan.
Setiap tahun, dia juga menerima naskah film, dan berharap suatu hari nanti bisa melihat film biografi Rumi diangkat ke layar lebar.
Di berbagai sudut kota Konya, suvenir bergambar Rumi dan penari darwis memenuhi kios-kios.
Ironisnya, guru tasawuf paling terkenal, yang mengajarkan toleransi dengan kata-kata “datang, datanglah, siapa pun Anda, pengembara, pemuja, pecinta kepergian”, justru dihormati di kota dengan salah satu tradisi Sunni paling konservatif di Turki.
Di depan makam besarnya yang bernuansa hijau dan emas, seorang peziarah Sunni yang pemarah mengumpat ketika para pengikut Rumi duduk di tanah, dengan mata tertutup, dan jari-jari menunjuk ke langit.
“Ini bukan tempat untuk bermeditasi, ini untuk berdoa,” keluh jamaah Sunni itu.
Kejadian itu hanya membuat Syekh Mehmet Fatih Citlak tersenyum. Dengan hiasan kepala yang dilapisi pita hijau sepanjang 20 meter, ia memimpin “sema” yang lebih spiritual di Pusat Studi dan Penelitian Irfan di Konya, di mana doa diselingi dengan musik dan nyanyian.
“Kami tidak hanya berputar-putar sepanjang hari,” kata Syekh itu sambil tertawa, yang baru-baru ini diundang untuk tampil di Universitas Oxford oleh departemen sejarah seni di perguruan tinggi itu.
“Tetapi selama kami tetap berpegang pada disiplin kami, kami tidak mempermasalahkan masyarakat,” tambahnya, seraya mengatakan bahwa “antara seni dan cinta, Mevlana menawarkan kami, sebuah jalan ketiga.
“Semua orang menafsirkannya dengan cara mereka sendiri,” katanya.
“Tetapi jika dia dipahami dengan lebih baik, apakah dunia akan seperti sekarang ini?” ujar dia lagi setengah menggugat, dan mengaitkan syair-syair Rumi dengan situasi perang yang melanda dunia. [ns/em]
Forum