Mandeknya proses pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) di DPR menimbulkan kegelisahan semua pihak. Betapa tidak, korban kasus kekerasan seksual seringkali tidak mendapatkan keadilan dalam proses penyidikan, dan sebagian bahkan dikriminalisasi, karena belum adanya payung hukum yang bisa sepenuhnya melindungi para korban tersebut.
Ludwina Inge Nurtjahyo dari Fakultas Hukum UI mengatakan dari tahun 90-an, Indonesia memang belum punya UU khusus tentang kekerasan terhadap perempuan. Menurutnya di Indonesia ada beberapa peraturan atau UU yang sebenarnya bisa melindungi perempuan terutama korban kekerasan seksual, namun sayangnya hingga saat ini UU tersebut justru tidak diimplementasikan dengan baik.
"Indonesia sudah banyak sekali mempunyai peraturan yang keren, yang baik, yang sebetulnya kalau itu diterapkan, kemudian itu akan berguna dalam konteks melindungi perempuan. Tetapi kita tidak hanya berbicara soal substansi hukum, UU perlu untuk disosialisasikan, digerakkan, dipahami, ditegakkan, nah proses inilah di kita yang masih belum berjalan," ungkap Inge.
Dalam diskusi publik “Pentingnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual” di Perwari, Jakarta, Jumat (30/11), Inge menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena beberapa faktor, antara lain: minimnya pengetahuan dan ketidakpahaman korban akan proses hukum yang harus dijalani. Seperti apa yang harus dilakukan ketika mengalami kekerasan atau pelecehan seksual, kemana harus mengadu dan sebagainya.
Penanganan Korban Kekerasan Seksual Kerap Dianggap Bukan Prioritas
Belum lagi para korban harus menghadapi budaya hukum yang telah mengakar di aparat penegak hukum dengan perspektif bahwa kasus seperti ini bukanlah prioritas. Dalam prakteknya, kata Inge banyak aparat penegak hukum tidak memiliki pemahaman bagaimana melakukan proses penyidikan kasus kekerasan seksual seperti, banyak aparat penegak hukum yang cederung rasis, melakukan intimidasi, bias kelas, bias gender, kurang berempati, kurang pengetahuan akan produk hukum baru dan lain-lain.
Oleh karena itu menurutnya selain perlu segeranya pengesahan RUU PK-S itu, perlu pula segera dibentuk layanan hotline service, shelter atau rumah aman yang anggarannya diambil dari dana pembangunan. Juga pelatihan bagi aparat penegak hukum pada level pemula sehingga mereka mempunyai pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana melakukan proses penyidikan dalam kasus kekerasan seksual.
9 Bentuk Kekerasan Seksual Perlu Masuk dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Dalam kesempatan yang sama, Ratna Batara Munti dari Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) mengingatkan urgensi RUU PK-S ini. Menurutnya, seandainya Indonesia mempunyai RUU ini sejak dari dulu, maka kasus-kasus yang viral seperti kasus Baiq Nuril dan lain-lain tidak akan terjadi.
"Kita harus punya RUU penghapusan kekerasan seksual. Karena kalau kita memang sudah punya UU baik, tidak akan terjadi kasus-kasus seperti itu . Bisa korban di proses, bisa tidak ada vonis yang justru mengkriminalkan korban. Ini kan berarti ada apa dengan aturan sekarang," kata Ratna.
Ratna pun mendorong, sembilan jenis bentuk kekerasan seksual yang sudah ada di dalam draft UU DPR itu agar dimasukkan dan diatur dalam RUU PK-S ini yaitu perkosaan, perbudakan seksual, Pemaksaan pelacuran, Penyiksaan seksual, Pemaksaan kontrasepsi, Pemaksaan aborsi, Pemaksaan perkawinan, Pelecehan seksual dan Eksploitasi seksual. Dia berharap dalam pembahasannya nanti, hal tersebut tidak di kurang-kurangkan atau bahkan dihilangkan.
Banyak Anggota DPR Ditengarai Punya Pemahaman Salah tentang RUU PK-S
Sementara itu, anggota panja RUU PK-S komisi VIII DPR RI Diah Pitaloka mengatakan mandeknya proses pengesahan RUU PK-S ini karena masih banyaknya anggota dewan yang menganggap bahayanya RUU tersebut karena berpotensi seperti melegalkan perzinahan, LGBT dan sebagainya.
"Ketika dibuka di komisi 8 awalnya masih orang pendeketannya masih normatif, tapi makin lama memang perspektifnya mulai kelihatan untuk yang setuju dan tidak setuju. Kemudian banyak masukan yang masuk ke dalam ruang kerja kita di DPR. Mostly itu memang menganggap UU ini berbahaya. Karena wah ini intervensi privatisasi urusan seksualitas pribadi , atau ada yang melihat oh UU ini nanti yaitu lah melegalkan perzinahan, LGBT," papar Dian.
Maka dari itulah, sampai sekarang proses pembahasan RUU PK-S ini masih ada dalam tahap rapat dengar pendapat dan tidak kunjung sampai ke tahap pembahasan draft di komisi VIII DPR RI. Menurutnya, dengan banyaknya perspektif terkait RUU ini, sudah seharusnya segera dilakukan pembahasan draft UU tersebut ke setiap pasalnya.
Dia berharap pada sisa periode kepengurusan DPR yang tinggal sedikit ini, RUU PK-S bisa segera disahkan. Karena kalau tidak, proses RUU PK-S ini harus mengulang dari awal di periode DPR baru nanti yang prosesnya sangatlah panjang. [gi/em]