Hutan memiliki fungsi ekologis yang tidak tergantikan. Namun ekspansi industri sawit di Indonesia telah mengubah sebagian kawasan ini menjadi perkebunan. Kerusakan selama beberapa dekade ini coba diatasi dengan strategi jangka panjang bernama Jangka Benah.
Dwiko Budi Permadi Ph D, dosen Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, yang terlibat dalam penyusunan skema ini berkeyakinan hutan harus dikembalikan fungsinya. Namun upaya itu tidak bisa cepat karena akan melahirkan konflik dengan pekebun. Pengembalian kawasan ini penting, karena prinsipnya hutan bukan area penghasil minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO).
“Yang dibebani untuk produksi CPO adalah areal lain di luar kawasan hutan, yang sudah tertentu, yang sekarang jumlahnya sekitar 16 juta hektare. Itulah yang dibebani untuk menjadi tulang punggung CPO, dan pembangunan perkebunan di luar kehutanan,” kata Dwiko, dalam diskusi Jangka Benah, Fakultas Kehutanan UGM, Senin (29/11).
Menurut penelitian Fakultas Kehutanan UGM, pada 2018 hutan yang sudah telanjur menjadi kebun sawit di Indonesia mencapai 2,8 juta hektare. Dari jumlah itu, 65 persen dikelola oleh korporasi dan 35 persen oleh masyarakat atau pekebun.
Kick off strategi Jangka Benah telah dilangsungkan pada 18 Desember 2019 di Provinsi Kalimantan Tengah dan Jambi. Strategi Jangka Benah (SJB) merupakan upaya memulihkan fungsi kebun sawit rakyat monokultur menjadi kebun sawit campur dengan teknik agroforestry tertentu disertai dengan komitmen kelembagaan dengan para pihak.
Fakultas Kehutanan UGM membidani konsep Jangka Benah bersama Yayasan Kehati. Serangkaian penelitian digelar pada 2018-2019 di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah dan Kabupaten Tebo, Jambi. Pada 18 Desember 2019, program ini diresmikan di kawasan Seruyan Hilir, Kalimantan Tengah, di mana masyarakat setempat telah membuka kebun sawit di kawasan hutan pemerintah.
Jangka Benah adalah gagasan tentang agroforestry. Skema selama 25 tahun diterapkan dengan penanaman kembali pohon-pohon produksi, baik buah maupun kayu, di sekitar tanaman sawit. Dalam jangka panjang, sawit hanya akan menjadi bagian dari hutan itu sendiri, dan kawasan yang hilang akan kembali berfungsi sebagai hutan.
“Jika di situ ada produk sawitnya, ya hanya produk pendukung saja, yang tidak utama, yang nanti akan diselesaikan secara bertahap,” lanjut Dwiko.
Jika berjalan baik, dalam jangka 25 tahun kawasan itu akan dipenuhi tanaman campuran dan menjadi bagian dari ekosistem hutam kembali. Pekebun akan tetap menerima manfaat dari hutan itu, karena konsep ini sesuai dengan keputusan pemerintah tentang Kehutanan Sosial.
“Ini mudah diadopsi masyarakat. Yang paling susah mengajak di level korporasi, karena mereka menganggap tanaman selain sawit itu sebagai gulma dan menurunkan produktivitas. Padahal penelitian membuktikan tidak,” tambahnya.
Jangka Benah juga menekan potensi konflik. Jika penegakan hukum dilakukan seketika, banyak petani yang harus kehilangan tanaman sawit mereka. Padahal, kebun itu mungkin dibangun dengan dana pinjaman. Sementara Jangka Benah memberi waktu bagi petani untuk menyesuaikan diri dengan tetap memelihara sawit, tetapi tidak boleh menanam sawit baru di lahan hutan. Konsep ini, menurut Dwiko, adalah memecahkan masalah pekebun dan masalah lingkungan bersama-sama.
Empat Strategi Jangka Benah
Kepala Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Wilayah Sumatera, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Apri Dwi Sumarah, menyebut skema ini sudah disosialisasikan untuk pekebun sawit di wilayah Sumatera.
Pemerintah juga sudah mengeluarkan Peraturan Menteri LHK No 9/2021 terkait empat strategi Jangka Benah. Menurut aturan tersebut, Jangka Benah gagasan UGM dan Yayasan Kehati, diadopsi sebagai salah satu rencana dalam program Perhutanan Sosial. Program ini memberi peluang kepada masyarakat mengelola hutan milik negara atau milik adat secara lestari.
“Ditanam minimal seratus batang per hektare, maksimal satu tahun setelah mendapatkan persetujuan Perhutanan Sosial. Disesuaikan dengan kondisi tapak. Di sana cocoknya apa, misalnya jengkol, jelutung, alpukat atau durian,” papar Apri, terkait strategi kedua.
Strategi ketiga adalah agroforestry yang dilaksanakan sesuai kondisi masing-masing daerah. Karena itu penerapannya di setiap provinsi atau kawasan akan berbeda, sesuai kondisi biofisik dan sosial.
“Tetapi tujuannya sama, untuk memperbaiki ekologi kawasan hutan, dengan sistem agroforestry akan terjadi multistrata atau multikultur untuk tanamannya,” tambah Apri.
Strategi keempat adalah aturan tidak diperbolehkan adanya peremajaan tanaman sawit selama masa Jangka Benah berlaku.
Masa program Jangka Benah disesuaikan dengan hutan di mana kebun sawit itu berada. Kebun sawit yang ada di kawasan hutan produksi diberi waktu hingga 25 tahun usia tanaman sawit. Artinya jika tanaman sawit di hutan telah berusia 10 tahun, pekebun masih memiliki waktu 15 tahun untuk menuju agroforestry.
Di kawasan hutan lindung atau hutan konservasi, Jangka Benah dilakukan dalam jangka waktu 15 tahun sejak masa tanam sawit. Jika dua batasan waktu itu telah terpenuhi, maka tanaman sawit harus dibongkar dan sepenuhnya ditanaman pohon hutan.
“Tahap pertama mengubah kebun sawit yang monokultur menjadi kebun campur. Tahap keduanya, meningkatkan struktur dan fungsi ekosistem kebun campur agar menyerupai hutan alami,” papar Apri.
Pekebun Kecil Perlu Perlindungan
Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto, melihat masih ada beberapa hal yang perlu diperjelas dalam strategi Jangka Benah ini. Misalnya, soal klaim bahwa penanaman pohon di sekitar sawit tidak mengganggu produktivitasnya. Menurut Mansuetus, peneliti perguruan tinggi bidang pertanian perlu diajak berkoordinasi.
“Karena, kalau ada tanaman lain selain sawit dalam satu hamparan itu dianggap hama tanaman. Misalnya ada pohon segala macam, itu akan mengganggu produktivitas,” kata Darto.
Darto juga memberi masukan terkait luasan dari tiap lahan kebun yang dikelola di satu kawasan hutan. Dia mengusulkan, untuk setiap kebun seluas 8 hektare ke atas, harus mengikuti skema Jangka Benah. Sementara, lahan yang luasnya di bawah itu, dapat dipertimbangkan. Perlu penilaian tersendiri dalam setiap kasusnya.
“Luasan lahan pekebun, kalau lebih dari 8 hektare itu untuk modalnya banyak, dan biasanya sudah menjadi bos kecil. Sementara yang kurang dari 8 hektare itu masih miskin. Biasanya masyarakat lokal. Mereka berdiam di sana sejak lama dan turun temurun. Mereka kerjakan langsung sawitnya, bukan buruh atau karyawan yang mengelola,” tambah Darto.
Dia juga menekankan, pemerintah harus lebih tegas kepada korporasi besar terkait Jangka Benah ini. Untuk kriteria luasan lahan di atas 25 hektare, kata Darto, semestinya korporasi harus bertanggungjawab. Luas lahan yang mereka alihgunakan menjadi kebun kelapa sawit sudah sangat besar.
“Bukan malah diputihkan, tapi tegakkan hukum bagi mereka,” pungkasnya. [ns/ab]