Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengatakan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia diduga memiliki konflik kepentingan dan berpotensi melakukan praktik korupsi dalam pencabutan ribuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan penetapan tarif bagi perusahaan tambang yang ingin memperbarui izin usaha.
Pasalnya, menurut JATAM, Bahlil punya kewenangan sebagai pejabat sekaligus pengusaha yang memiliki saham di sejumlah perusahaan tambang.
Koordinator Nasional, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melky Nahar, mengatakan dilantiknya Bahlil sebagai Menteri Investasi tidak terlepas dari keterlibatannya sebagai tim pemenangan dan salah satu penyandang dana pasangan Presiden dan Wakil Presiden saat ini, Joko Widodo dan Ma’ruf Amin, pada pemilu 2019 lalu.
Praktik politik kekuasaan ini, kata Melky, menjadi bukti bahwa pemerintahan di Indonesia dikendalikan oleh pemilik modal.
“Sebetulnya sedang menunjukkan betapa kekuasaan politik kita hari ini memang benar-benar dikendalikan oleh para cukong itu sendiri. Sebagiannya justru menjadi bagian terpenting dari Kabinet Indonesia Maju. Sebagian besar lainnya ada di parlemen, dan semuanya tidak sedang bekerja untuk bagaimana menyelamatkan ruang hidup warga yang tersisa, tapi semua justru sedang bekerja melayani kepentingan diri dan kelompok, dan dengan mudah mengotak-atik regulasi dan kebijakan seturut dengan kepentingan mereka sendiri," kata Melky.
Dugaan pemanfaatan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau kelompok ini, menurut Melky, terkait dengan politik balas jasa Presiden Jokowi. Kewenangan besar kepada Bahlil diberikan oleh Presiden Jokowi untuk mengelola dan mengatur urusan pertambangan. Khususnya melalui Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Percepatan Investasi, Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 2022 tentang Satgas Penataan Lahan dan Penataan Investasi, serta Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Lahan bagi Penataan Investasi.
“Bentuk keterlibatan Pak Jokowi yang secara legal, dalam tanda kutip, ya tentu saja melalui tiga regulasi yang dikeluarkan, yang kalau kita baca secara keseluruhan, semuanya memberikan kuasa, memberikan mandat kepada Menteri Bahlil untuk menata, mengelola, atau mengatur terkait dengan urusan pertambangan yang ada di Indonesia," tutur Melky.
Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum JATAM Nasional, mengatakan praktik korupsi politik yang melibatkan perusahaan tambang dengan pejabat berwenang, terbukti merugikan negara dalam jumlah yang besar. Selain kerusakan lingkungan yang terjadi, potensi kerugian keuangan negara dinilai cukup besar akibat dugaan permainan dan penerapan tarif perizinan yang diduga masuk ke kantong pribadi.
“Kalau bicara soal berapa sih kerugian negara, saya kira dari tindakan yang model demikian, menurut kami di JATAM itu besar sekali. Dalam artian apa, karena perilaku pencabutan izinnya tebang pilih, rakyat menderita. Kerusakan lingkungan terus terjadi, hampir di seluruh kepulauan, kenapa? Karena Bahlil tebang pilih. Ini yang izinnya dicabut hampir tidak adanya dengan konflik. Hampir tidak ada hubungannya dengan penderitaan rakyat selama ini yang diadvokasi oleh masyarakat sipil. Pulau-pulau kecil terus dikorbankan, kerusakan lingkungan nanti seluruhnya juga akan ditanggung oleh Negara," kata Muhammad Jamil.
Terkait dengan kewenangan yang diberikan Presiden Jokowi kepada Menteri Investasi Bahlil melalui Keppres dan Perpres, Jamil menyoroti adanya dugaan pelanggaran peraturan perundangan terkait kewenangan mencabut dan mengeluarkan izin usaha pertambangan yang bertentangan dengan undang-undang di atasnya.
“Kalau kita cek di Undang-Undang Minerba, sebetulnya Pasal 119 sangat jelas menerangkan soal itu, bahwa yang dapat melakukan pencabutan izin adalah menteri. Menteri yang dimaksud adalah menteri yang mengurusi pertambangan, siapa dia? adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Tapi kemudian, tiba-tiba pada tahun 2021, Menteri Bahlil mencabut ratusan izin tambang," kata Jamil.
Dosen dan Ketua Laboratorium Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya), Dr. Suhartati, S.H., M.Hum., menyoroti adanya konflik kepentingan terkait pemberian kewenangan oleh Presiden kepada Menteri Investasi. Hal itu karena adanya pertentangan antara kewenangan penerbitan dan pencabutan izin yang diatur dalam Keppres maupun Perpres, dengan undang-undang atau peraturan yang lebih tinggi serta berpotensi memunculkan praktik korupsi.
“Nanti akan di-trace (dilacak) apakah ada konflik kepentingan atau tidak. Adakah perilaku koruptif, penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat tertentu yang kebetulan menjadi pemegang saham dari perusahaan yang berkepentingan dengan jabatan, dan adakah perbuatan itu berpotensi merugikan keuangan negara," kata Suhartati.
Masyarakat sipil, lanjut Suhartati, dapat mengajukan pengujian melalui mekanisme Mahkamah Agung, terhadap peraturan perundang-undangan yang dinilai memiliki potensi konflik kepentingan di dalamnya. Produk hukum yang dihasilkan, imbuhnya, jangan sampai memunculkan oknum pejabat maupun kelompok yang diuntungkan, dengan menyalahgunakan kewenangan yang dimiliki. [pr/ft]
Forum