Bulan ini, muncul dua laporan baru yang menyorot ancaman program senjata nuklir Korea Utara. Sementara itu, Gedung Putih melanjutkan rencananya untuk melangsungkan pertemuan kedua antara Presiden Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un. Sejumlah pakar memperingatkan, KTT mendatang tersebut harus membuahkan hasil yang lebih berarti dibandingkan yang pertama. Koresponden Gedung Putih Patsy Widakuswara melaporkan.
Ancaman program senjata nuklir Korea Utara nyata seperti sebelumnya. Sebuah laporan baru yang dikeluarkan oleh Pusat Kajian Strategis dan Internasional (CSIS) menyorot Sino-ri, sebuah fasilitas nuklir yang terletak sekitar 200 kilometer arah utara dari kawasan demiliterisasi dengan Korea Selatan, dan salah satu dari 20 pangkalan misil yang dirahasiakan Pyongyang.
Lisa Collins adalah salah satu penulis laporan itu. "Laporan ini menunjukkan bahwa program misil balistik Korea Utara dan program senjata nuklirnya jauh lebih kompleks dan lebih besar dari yang mungkin diketahui oleh publik. Laporan ini mendukung, atau pada dasarnya mengukuhkan, temuan-temuan yang diungkapkan oleh laporan mengenai pertahanan misil pemerintah AS yang baru dirilis pekan lalu.”
Pada 18 Januari lalu, Gedung Putih mengumumkan, Presiden Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un akan kembali bertemu bulan depan.
“Kim Jong-un mengharapkan pertemuan itu dan begitupun saya, Kita telah mencapai banyak kemajuan yang belum dilaporkan oleh media,” jelasnya.
Namun banyak pakar tidak yakin bahwa kemajuan telah dicapai sejak kedua pemimpin itu bertemu di Singapura, Juni lalu.
Scott Snyder dari Council On Foreign Relations, lembaga kajian yang memfokuskan diri pada kebijakan luar negeri dan hubungan internasional AS, mengatakan, "Secara kasat mata ada kesepahaman yang meningkat, tapi tidak ada isinya. Jadi kita perlu mencari proses yang memungkinkan apa yang tersirat sesuai dengan apa yang tersurat.”
KTT pertama mendapat banyak sorotan namun hanya menghasilkan pernyataan-pernyataan tidak spesifik mengenai usaha mewujudkan denuklirisasi. Banyak pakar mengatakan, KTT kedua harus menghasilkan, sedikitnya, proses yang bisa diverifikasi menuju denuklirisasi dan peredaan ketegangan.
Lisa Collins dari CSIS mengatakan,"Jika kita berada dalam situasi yang ideal, Amerika Serikat perlu memperoleh daftar seluruh lokasi uji senjata nuklir Korea Utara, seluruh lokasi di mana mereka memproduksi bahan-bahan nuklir untuk senjata-senjata itu, fasilitas-fasilitas produksi misil balistik mereka, dan pangkalan-pangkalan misil nuklir Korea Utara.”
Ini berarti program pengawasan yang luas, yang ditolak oleh Korea Utara karena khawatir akan menjadi sasaran yang rapuh serangan militer AS. Pyongyang juga ingin sanksi-sanksi dilonggarkan, sesuatu yang tidak ingin dilakukan oleh Washington.
Scott Snyder dari Council of Foreign Relations mengungkapkan, “Jika itu terjadi, pada dasarnya kita seperti mengatakan, tidak apa-apa
Kim Jong-un menjadi Kim Jong-un. Ia akan diterima sebagai pemimpin negara bersenjatakan nuklir di dunia, dan negara-negara lain akan menganggap itu sebagai isyarat bahwa mereka bisa berhubungan dengan Korea Utara.”
Ini berarti Korea Utara akan diterima sebagai sebuah kekuatan nuklir setelah negara itu mundur pada tahun 2003 dari Perjanjian Nonproliferasi Nuklir tahun 1968. Para pakar khawatir, negara-negara lain juga akan tertarik untuk mengembangkan senjata nuklir.
Menurut media Korea Utara, Kim mengatakan, ia mempercayai cara berpikir positif Trump. Gedung Putih mengatakan KTT kedua dijadwalkan berlangsung akhir Februari. [ab/lt]