Berdasarkan penelusuran sejumlah jurnalis dari berbagai daerah ditemukan sejumlah fakta menarik mengenai penyalahgunaan dana bantuan sosial terutama oleh calon legislatif incumbent. Hasil penelusuran ini dipaparkan dalam sebuah acara di Jakarta, Rabu sore (5/02/2014).
Sindhu Dharmawan, menemukan fakta, di Jawa Timur, sebuah lembaga swadaya masyarakat mengaku diminta pemotongan 50% atas dana bantuan sosial sebesar 100 juta rupiah yang diterima dari Kementerian Tenaga Kerja.
Lain halnya di Bali, Rofiqi Hasan, Jurnalis Tempo menginvestigasi adanya pembagian dana bansos oleh anggota DPR RI yang kembali mencalonkan diri pada pemilu.
Penyalahgunaan itu menimbulkan persaingan yang tidak sehat antara caleg incumbent dan caleg yang baru akan maju. Salah seorang calon legislatif dari Partai Nasional Demokrat, Daerah Pemilihan Bekasi Jawa Barat, Yunanto Hariandja mengatakan. “Mereka menggunakan dana APBN dan ini merupakan money politic. Terus terang saya cemburu dengan cara-cara yang mereka lakukan, tidak fair. Kalau mau bersaing mari bersaing dengan cara yang fair. Seharusnya masa reses tidak boleh berdampingan dengan saat kampanye.”
Menanggapi penyalahgunaan dana bantuan sosial jelang Pemilu 2014 oleh Calon incumbent, Direktur Eksekutif Institute for Strategic Initiatives, Luky Djani mengatakan, “Penggunaan dana publik, merupakan representasi dari model relasi antara pemilih dan politikus. Dan politikus incumbent cenderung menggunakan dana publik untuk tujuan pemenangannya. Singkatnya karena mereka punya akses untuk menggunakan dana publik sementara partai politik dan kandidat lain tidak mempunyai sumber daya yang cukup.”
Sementara itu Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan penggunaan dana bantuan sosial untuk pemenangan politik bukanlah hal yang baru. Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Abdullah Dahlan mengatakan politisasi dana bansos itu terjadi ketika digunakan untuk membangun popularitas dengan program yang populis. Penyebarannya juga dilakukan pada kelompok strategis yang memiliki basis massa besar.
Abdullah mengatakan, “Di momentum politik, bansos akan menjadi persoalan. Di beberapa daerah pilkada hampir rata-rata serapan mencapai 80-90 dana habis.”
Abdullah Dahlan juga meminta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) ikut mengawal penyaluran dana bansos terutama di kementerian dimana menterinya berasal dari Partai Politik.
Berdasarkan hasil kajian ICW, di APBN 2013 total belanja bantuan sosial yang dianggarkan kementerian-kementerian berjumlah 69 triliun rupiah. Belanja bansos dalam kementerian mencapai 4% dari seluruh total belanja APBN 2013 yang mencapai 1683 Triliun rupiah. Jumlah ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2012 yang hanya sebesar 40 triliun rupiah.
Peningkatan paling signifikan terdapat pada kementerian di mana menterinya menjadi caleg pemilu 2014, seperti Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian Kehutanan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal.
Sindhu Dharmawan, menemukan fakta, di Jawa Timur, sebuah lembaga swadaya masyarakat mengaku diminta pemotongan 50% atas dana bantuan sosial sebesar 100 juta rupiah yang diterima dari Kementerian Tenaga Kerja.
Lain halnya di Bali, Rofiqi Hasan, Jurnalis Tempo menginvestigasi adanya pembagian dana bansos oleh anggota DPR RI yang kembali mencalonkan diri pada pemilu.
Penyalahgunaan itu menimbulkan persaingan yang tidak sehat antara caleg incumbent dan caleg yang baru akan maju. Salah seorang calon legislatif dari Partai Nasional Demokrat, Daerah Pemilihan Bekasi Jawa Barat, Yunanto Hariandja mengatakan. “Mereka menggunakan dana APBN dan ini merupakan money politic. Terus terang saya cemburu dengan cara-cara yang mereka lakukan, tidak fair. Kalau mau bersaing mari bersaing dengan cara yang fair. Seharusnya masa reses tidak boleh berdampingan dengan saat kampanye.”
Menanggapi penyalahgunaan dana bantuan sosial jelang Pemilu 2014 oleh Calon incumbent, Direktur Eksekutif Institute for Strategic Initiatives, Luky Djani mengatakan, “Penggunaan dana publik, merupakan representasi dari model relasi antara pemilih dan politikus. Dan politikus incumbent cenderung menggunakan dana publik untuk tujuan pemenangannya. Singkatnya karena mereka punya akses untuk menggunakan dana publik sementara partai politik dan kandidat lain tidak mempunyai sumber daya yang cukup.”
Sementara itu Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan penggunaan dana bantuan sosial untuk pemenangan politik bukanlah hal yang baru. Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Abdullah Dahlan mengatakan politisasi dana bansos itu terjadi ketika digunakan untuk membangun popularitas dengan program yang populis. Penyebarannya juga dilakukan pada kelompok strategis yang memiliki basis massa besar.
Abdullah mengatakan, “Di momentum politik, bansos akan menjadi persoalan. Di beberapa daerah pilkada hampir rata-rata serapan mencapai 80-90 dana habis.”
Abdullah Dahlan juga meminta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) ikut mengawal penyaluran dana bansos terutama di kementerian dimana menterinya berasal dari Partai Politik.
Berdasarkan hasil kajian ICW, di APBN 2013 total belanja bantuan sosial yang dianggarkan kementerian-kementerian berjumlah 69 triliun rupiah. Belanja bansos dalam kementerian mencapai 4% dari seluruh total belanja APBN 2013 yang mencapai 1683 Triliun rupiah. Jumlah ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2012 yang hanya sebesar 40 triliun rupiah.
Peningkatan paling signifikan terdapat pada kementerian di mana menterinya menjadi caleg pemilu 2014, seperti Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian Kehutanan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal.