Bupati Banyumas Achmad Husein memegang cangkul untuk turut membongkar kembali makam korban virus corona yang ditolak warga. Selama dua hari, 1 dan 2 April 2020, lokasi pemakaman bahkan harus dipindah sampai empat kali.
Melalui akun media sosialnya, Achmad Husein meminta maaf atas semua kejadian ini. Dia mengatakan, Rabu (1/4), kejadian itu mungkin karena kurangnya edukasi mengenai virus corona kepada masyarakat.
Achmad Husein sudah berkali-kali memberi pengertian bahwa bahaya penularan jauh lebih besar bersumber dari orang hidup, dibandingkan yang sudah meninggal.
“Sebab orang hidup bisa bicara, bisa batuk dan bisa bersin. Sedangkan orang mati tidak bisa sama sekali. Padahal sumber penularan itu adalah dari bicara, dari batuk dan dari bersin,” kata Achmad Husein.
Para penderita virus corona masih mengalami stigmatisasi, bahkan ketika ada yang meninggal. Seperti halnya dengan penolakan pemakaman korban virus corona di Banyumas, Jawa Tengah tersebut.
Dalam kasus di Banyumas akhirnya pemakaman bisa dilaksanakan di tanah milik pemerintah, yang jauh dari perkampungan. Selain di Banyumas, penolakan juga terjadi di Makassar dan Gowa, Sulawesi Selatan.
Menurut data nasional, hingga Jumat (3/4) sore, di Indonesia tercatat 1.986 kasus positif, termasuk 181 kematian. DKI Jakarta masih mencatat korban tertinggi, diikuti Jawa Barat dan Banten.
Sisi Kemanusiaan
Ketua Umum PP Muhamadiyah Haedar Nashir dalam pernyataan tertulis yang disampaikan di Yogyakarta, Kamis (2/4), meminta masyarakat untuk tidak menolak pemakaman jenazah korban virus corona.
"Jika pemerintah dan para pihak telah menetapkan kuburan bagi jenazah COVID-19 sesuai protokol, tidak sebaiknya warga masyarakat menolak penguburan. Apalagi sampai meminta jenazah yang sudah dimakamkan dibongkar kembali dan dipindahkan,” kata Haedar.
Dia menilai penolakan warga mungkin karena kepanikan berlebihan dan belum mengerti. Oleh karena itu, dia meminta aparat dan pemuka agama untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat.
Masyarakat, imbuh Haedar, seharusnya berempati dan membantu korban meninggal akibat virus corona dan keluarganya. "Sikap berlebihan justru tidak menunjukkan keluhuran budi dan solidaritas sosial yang selama ini jadi kebanggaan bangsa Indonesia,” ujarnya.
Pengamanan Pemakaman Maksimal
Di Yogyakarta, meski belum muncul kasus penolakan warga, pemakaman korban bukan proses yang mudah. Tim Reaksi Cepat (TRC) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY diberi tugas tambahan untuk membantu rumah sakit dalam proses pemakaman jenazah korban virus corona.
Apalagi proses pemakaman jenazah korban virus corona butuh persiapan khusus. Dengan personel terlatih, TRC BPBD dapat meyakinkan masyarakat bahwa jenazah tidak berbahaya dan proses pemakaman dilakukan dengan prosedur keamanan maksimal.
Danang Syamsurizal dari Sekretariat Posko Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid 19 DIY meminta masyarakat untuk tidak khawatir terkait pemakaman pasien virus corona karena akan ditangani sesuai standar keamanan.
“Dilakukan dekontaminasi, dimandikan, dibungkus, dan dipeti kemudian dimakamkan. Sehingga masyarakat jangan terlalu was-was berlebihan karena kita sudah melakukan prosedurnya. Mohon kami dibantu untuk itu,” kata Danang dalam pernyataan resmi pada Rabu (1/4) petang.
Mungkin pemakaman korban virus corona juga terkesan menakutkan karena para petugas mengenakan alat pelindung diri (APD) lengkap. Namun Danang memastikan, pemakaian APD untuk keamanan semua pihak.
Setiap jenazah korban virus corona yang sudah dimasukkan ke peti dan dimakamkan, Danang menegaskan, sudah tidak menjadi ancaman.
Jenazah Dipastikan Aman
Dr. Lipur Riyantiningtyas dari Instalasi Kedokteran Forensik di RSUP dr.Sardjito Yogyakarta, mengatakan setiap jenazah pasien dalam pengawasan (PDP) atau yang sudah dinyatakan positif virus corona, yang akan dimakamkan sudah aman. Prosedur keamanan sudah dimulai sejak korban dinyatakan meninggal di bangsal hingga dibawa ke kamar jenazah.
“Jadi pada saat di bangsal, petugas kita dari kamar jenazah datang, itu sudah membawa peralatan untuk melakukan disinfektan terhadap jenazah tersebut,” kata Lipur.
Lipur menjelaskan jenazah korban akan didisinfektan berkali-kali. Semua lubang dan setiap luka pada tubuh korban akan ditutup dengan kapas yang sudah direndam dalam disinfektan. Setelah itu, jenazah kembali didisinfektan dan dibungkus plastik. Setelah dibungkus plastik, jenazah akan kembali disemprotkan cairan disinfektan.
“Baru kemudian jenazah akan dimasukkan di dalam kantong jenazah, kemudian kantong jenazah itupun akan didisinfektan. Baru setelah itu akan dimasukkan dalam brankar dan dibawa ke kamar jenazah,” lanjut Lipur.
Sesampai di kamar jenazah, jenazah biasanya dikeluarkan dari brankar. Keluarga bisa meminta jenazah dibungkus sesuai agama masing-masing. Misalnya, dengan kain kafan apabila jenazah beragama Islam atau mengenakan pakaian lengkap seperti jas untuk penganut Kristen dan Katolik.
Setelah selesai, jenazah akan kembali dibungkus dengan plastik dan dimasukkan ke kantong jenazah. Kemudian dilakukan proses pembungkusan secara teliti dengan menggunakan alat. Tujuannya agar tidak ada sama sekali cairan yang bisa keluar. Disinfektan disemprotkan lagi sebelum dan sesudah dimasukkan ke dalam peti jenazah. Celah tutup peti diberi silikon, ditutup dan dipaku, disemprot lagi sebelum masuk ambulans atau mobil jenazah.
Jenazah yang keluar dari rumah sakit, kata Lipur, sudah dipastikan telah menjalani prosedur sesuai standar Kementerian Kesehatan dan Orgaizasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO).
Lipur menjelaskan para petugas pemakaman harus menggunakan APD bukan untuk melindungi diri dari jenazah. Namun agar tidak membahayakan personel lain dan lingkungan sekitar. Seusai pemakaman, petugas harus melepas seluruh pelindung diri, mandi dan berganti pakaian baru. [ns/ft]