JAKARTA —
Walaupun nampaknya flu burung menghilang begitu saja, jenis baru virus penyakit itu ditemukan di Jawa. Dalam beberapa minggu terakhir ini, lebih dari 300.000 itik mati di pulau Jawa yang sangat padat penduduknya. Pemerintah kemudian membenarkan kematian yang diakibatkan oleh jenis baru virus H5N1 atau flu burung.
Dr. Rita M. Ridwan, Direktur Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan mengatakan pemerintah bekerja sama dengan kementerian-kementerian terkait untuk menyelidiki lebih jauh penyakit itu.
“Kami terus berkomunikasi untuk berbagi informasi, meneliti bersama virus itu di laboratorium, dan bahkan bekerja sama melakukan penyelidikan. Saya tahu tentang matinya sejumlah besar itik, terutama di peternakan itik yang dilakukan secara tradisional di Jawa Tengah dan Timur,” paparnya.
Penyelidikan itu akan dipusatkan pada wilayah-wilayah yang terkena virus itu, mencegah perebakannya, dan meneliti apakah jenis baru virus itu memang berawal di Indonesia.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Syukur Iwantoro, mengatakan virus yang menyerang itik kali ini berasal dari varian atau kelompok yang berbeda sebelumnya. Varian virus baru ini berkode 2.3.2, mirip virus flu burung yang berasal dari sejumlah negara seperti Vietnam, Tiongkok, Laos dan Thailand, ujar Syukur.
Bahaya virus tersebut saat ini, kata Syukur, menyebabkan kematian yang cukup tinggi pada unggas dibandingkan virus sebelumnya (kode 2.1). Ketika di tanya apakah virus ini beresiko tinggi untuk manusia, ia menyatakan belum bisa menjawab hal tersebut.
Para ahli, kata Syukur, saat ini sedang mendiskusikan bahwa kemungkinan virus ini ada di Indonesia disebabkan adanya mutasi gen sebelumnya atau adanya intervensi dari luar.
Selama ini, Indonesia mengimpor bibit itik dari Inggris, Perancis, Jerman dan sebagian dari Malaysia. Dengan adanya kasus virus flu burung 2.3.2 ini , pemerintah melakukan pengetatan persyaratan impor bibit itik itu .
Menurut Syukur, pihaknya terus melakukan upaya agar penyebaran virus tersebut tidak meluas.
"Langkah utama jika itu terjadi adalah pemusnahan terbatas. Kemudian untuk daerah sekitarnya kita intens melakukan penyemprotan. Lalu sosialisasi kepada masyarakat sehingga bersama-sama masyarakat kami untuk melakukan budidaya itik yang baik bersama-sama," ujarnya.
Guru Besar Universitas Udayana I Gusti Ngurah Kade Mahardika menyatakan varian virus baru berkode 2.3.2 yang ditemukan di itik saat ini hampir sama dengan virus flu burung yang ada di Indonesia sebelumnya.
Virus ini, kata Mahardika, tidak dengan mudah bisa menular dari unggas ke manusia dan juga tidak mudah menular antar manusia.
“Virus ini sama saja. Dari virus yang lamapun 2.1 dari yang lama kita punya, itu saya pernah pantau kematian pada itik, itu dengan gejala-gejala saraf, gejala-gejala kebutaan kepada mata. Dari dulu bisa menyerang itik terutama itik muda, jadi tidak ada yang beda. Virus ini bisa menularkan ke segala macam unggas, tidak hanya ke bebek, ayam tetapi juga ke yang lain. Dan juga tidak mudah menular dari unggas ke manusia dan tidak mudah menular antar manusia,” ujar Mahrdika.
Ketua Umum Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia Ade Zulkarnaen menyatakan saat ini kondisi para peternak itik di sejumlah daerah panik dengan adanya wabah virus baru Avian Influenza (H5NI) yang baru.
Menurut Ade, penyebaran virus ini sudah hampir merata di seluruh sentra itik mulai Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur hingga wilayah sepanjang pantai utara. Wilayah terparah akibat serangan virus Avian Influenza tersebut berada di Jawa Tengah, mulai Pati hingga Brebes.
Ade menambahkan, pihaknya juga meminta agar pemerintah memberikan kompensasi kepada para peternak yang itiknya mati akibat virus tersebut.
“Karena itik lokal masih ada tanggung jawab negara, kami mengharapkan pemerintah bisa membantu mereka-mereka yang mengalami kerugian akibat musibah ini. Bagaimana peternak-peternak yang melakukan pengembangan itik impor disini untuk menghentikan usahanya agar wabah ini tidak tersebar lebih luas lagi,” ujar Ade.
Saat ini, Kementerian Kesehatan telah mendesak semua pemerintahan lokal agar melaporkan kematian unggas dalam jumlah besar.
Tingkat kematian akibat flu burung di Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di dunia dan kebanyakan yang terkena virus itu meninggal dunia. Namun, menurut Dr. Ridwan masih belum jelas mengapa tingkat kematian itu begitu tinggi di Indonesia.
“Kami, para pakar dan peneliti masih berusaha menemukan jawabannya. Mengapa? Apakah karena orang Indonesia pergi ke klinik terlalu terlambat? Apakah karena virus itu sendiri begitu begitu mematikan. Atau sebab-sebab lainnya. Para peneliti kami masih berusaha menjawab semua ini,” paparnya lagi.
Dr. Ridwan mengatakan, tingkat kesehatan dasar yang rendah dan akses ke layanan kesehatan yang buruk mungkin merupakan faktor penyumbang.
Flu burung merajalela di Indonesia pada 2003, dan biasanya menular dari unggas ke manusia melalui sentuhan langsung.
Menurut Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO), dari 359 kematian terkait flu burung di seluruh dunia, 159 terjadi di Indonesia.
Dr. Rita M. Ridwan, Direktur Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan mengatakan pemerintah bekerja sama dengan kementerian-kementerian terkait untuk menyelidiki lebih jauh penyakit itu.
“Kami terus berkomunikasi untuk berbagi informasi, meneliti bersama virus itu di laboratorium, dan bahkan bekerja sama melakukan penyelidikan. Saya tahu tentang matinya sejumlah besar itik, terutama di peternakan itik yang dilakukan secara tradisional di Jawa Tengah dan Timur,” paparnya.
Penyelidikan itu akan dipusatkan pada wilayah-wilayah yang terkena virus itu, mencegah perebakannya, dan meneliti apakah jenis baru virus itu memang berawal di Indonesia.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Syukur Iwantoro, mengatakan virus yang menyerang itik kali ini berasal dari varian atau kelompok yang berbeda sebelumnya. Varian virus baru ini berkode 2.3.2, mirip virus flu burung yang berasal dari sejumlah negara seperti Vietnam, Tiongkok, Laos dan Thailand, ujar Syukur.
Bahaya virus tersebut saat ini, kata Syukur, menyebabkan kematian yang cukup tinggi pada unggas dibandingkan virus sebelumnya (kode 2.1). Ketika di tanya apakah virus ini beresiko tinggi untuk manusia, ia menyatakan belum bisa menjawab hal tersebut.
Para ahli, kata Syukur, saat ini sedang mendiskusikan bahwa kemungkinan virus ini ada di Indonesia disebabkan adanya mutasi gen sebelumnya atau adanya intervensi dari luar.
Selama ini, Indonesia mengimpor bibit itik dari Inggris, Perancis, Jerman dan sebagian dari Malaysia. Dengan adanya kasus virus flu burung 2.3.2 ini , pemerintah melakukan pengetatan persyaratan impor bibit itik itu .
Menurut Syukur, pihaknya terus melakukan upaya agar penyebaran virus tersebut tidak meluas.
"Langkah utama jika itu terjadi adalah pemusnahan terbatas. Kemudian untuk daerah sekitarnya kita intens melakukan penyemprotan. Lalu sosialisasi kepada masyarakat sehingga bersama-sama masyarakat kami untuk melakukan budidaya itik yang baik bersama-sama," ujarnya.
Guru Besar Universitas Udayana I Gusti Ngurah Kade Mahardika menyatakan varian virus baru berkode 2.3.2 yang ditemukan di itik saat ini hampir sama dengan virus flu burung yang ada di Indonesia sebelumnya.
Virus ini, kata Mahardika, tidak dengan mudah bisa menular dari unggas ke manusia dan juga tidak mudah menular antar manusia.
“Virus ini sama saja. Dari virus yang lamapun 2.1 dari yang lama kita punya, itu saya pernah pantau kematian pada itik, itu dengan gejala-gejala saraf, gejala-gejala kebutaan kepada mata. Dari dulu bisa menyerang itik terutama itik muda, jadi tidak ada yang beda. Virus ini bisa menularkan ke segala macam unggas, tidak hanya ke bebek, ayam tetapi juga ke yang lain. Dan juga tidak mudah menular dari unggas ke manusia dan tidak mudah menular antar manusia,” ujar Mahrdika.
Ketua Umum Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia Ade Zulkarnaen menyatakan saat ini kondisi para peternak itik di sejumlah daerah panik dengan adanya wabah virus baru Avian Influenza (H5NI) yang baru.
Menurut Ade, penyebaran virus ini sudah hampir merata di seluruh sentra itik mulai Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur hingga wilayah sepanjang pantai utara. Wilayah terparah akibat serangan virus Avian Influenza tersebut berada di Jawa Tengah, mulai Pati hingga Brebes.
Ade menambahkan, pihaknya juga meminta agar pemerintah memberikan kompensasi kepada para peternak yang itiknya mati akibat virus tersebut.
“Karena itik lokal masih ada tanggung jawab negara, kami mengharapkan pemerintah bisa membantu mereka-mereka yang mengalami kerugian akibat musibah ini. Bagaimana peternak-peternak yang melakukan pengembangan itik impor disini untuk menghentikan usahanya agar wabah ini tidak tersebar lebih luas lagi,” ujar Ade.
Saat ini, Kementerian Kesehatan telah mendesak semua pemerintahan lokal agar melaporkan kematian unggas dalam jumlah besar.
Tingkat kematian akibat flu burung di Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di dunia dan kebanyakan yang terkena virus itu meninggal dunia. Namun, menurut Dr. Ridwan masih belum jelas mengapa tingkat kematian itu begitu tinggi di Indonesia.
“Kami, para pakar dan peneliti masih berusaha menemukan jawabannya. Mengapa? Apakah karena orang Indonesia pergi ke klinik terlalu terlambat? Apakah karena virus itu sendiri begitu begitu mematikan. Atau sebab-sebab lainnya. Para peneliti kami masih berusaha menjawab semua ini,” paparnya lagi.
Dr. Ridwan mengatakan, tingkat kesehatan dasar yang rendah dan akses ke layanan kesehatan yang buruk mungkin merupakan faktor penyumbang.
Flu burung merajalela di Indonesia pada 2003, dan biasanya menular dari unggas ke manusia melalui sentuhan langsung.
Menurut Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO), dari 359 kematian terkait flu burung di seluruh dunia, 159 terjadi di Indonesia.