Jepang memutuskan untuk memperluas dukungan bagi pasukan AS ketika kedua negara mengadakan pembicaraan tingkat tinggi pada hari Jumat (7/1) mengenai ketegangan dengan China dan Korea Utara.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengumumkan kedua negara telah menandatangani perpanjangan lima tahun paket dukungan yang disediakan oleh Jepang untuk menampung sekitar 50.000 tentara AS di wilayahnya.
Perjanjian baru ini “akan menginvestasikan sumber daya yang lebih besar untuk memperdalam kesiapan militer dan interoperabilitas kami,” kata Blinken pada pembukaan pembicaraan virtual empat arah antara menteri luar negeri dan menteri pertahanan kedua negara.
Tokyo membayar biaya keberadaaan pasukan AS di negara itu. Perjanjian sebelumnya akan berakhir pada Maret 2021, tetapi diperpanjang selama satu tahun pada saat terjadi perubahan pemerintahan di Washington.
Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin, yang baru-baru ini mengakhiri isolasi mandirinya setelah terkena COVID-19 dengan gejala ringan, mengatakan, kedua negara mengembangkan peran dan misi yang mencerminkan kemampuan Jepang yang berkembang untuk berkontribusi pada perdamaian dan stabilitas regional.
Jepang melepaskan haknya untuk berperang setelah Perang Dunia II dan sejak itu mengembangkan aliansi erat dengan Washington, yang terikat perjanjian untuk mempertahankan ekonomi terbesar ketiga di dunia itu.
Menurut Kementerian Luar Negeri Jepang, paket lima tahun yang terbaru akan bernilai $1,8 miliar per tahun fiskal, meningkat sekitar lima persen.
Paket itu disepakati di tengah meningkatnya ketegangan dengan China, yang semakin menunjukkan keagresifannya terhadap Taiwan. Taiwan memiliki hubungan dekat dengan Washington dan Tokyo tetapi Beijing menganggapnya sebagai provinsi yang menunggu reunifikasi.
"Tindakan provokatif Beijing terus meningkatkan ketegangan di Selat Taiwan dan di Laut China Timur dan Selatan," kata Blinken.
Blinken juga menggambarkan program misil Korea Utara sebagai "ancaman berkelanjutan" setelah Pyongyang lagi-lagi menguji coba misil balistiknya baru-baru ini.
Pernyataan bersama yang dikeluarkan setelah pembicaraan itu mengungkapkan bahwa kedua negara sangat prihatin tentang pelanggaran HAM di wilayah Xinjiang dan Hong Kong, dan menyerukan terciptanya perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan. [ab/lt]